Sana merasa lapar mala mini. Ia menatap jam di nakas. Sudah hamper tengah malam. Ia asik membaca sejak tadi dan tiba-tiba saja merasa lapar. Sudah sangat lama rasanya ia tidak makan mie instan.
Sana memutuskan untuk keluar dari kamar setelah berdebat dengan dirinya sendiri selama sepuluh menit. Jadi disinilah ia, sedang memasak mie instan sambil ditemani lagu adele yang berasal dari ponselnya.
Saat ia ingin meraih mangkut, ia terkejut ketika Tzuyu memasuki dapur. Tzuyu juga tidak kalah terkejutnya. Pria itu memegangi gelas kosong di tangannya.
Sana merapat ke kompor dan memegang spatula erat-erat ditangannya. Matanya menatap takut Tzuyu yang membeku di depannya.
"Aku... aku hanya ingin mengambil air minum." Ujar Tzuyu pelan dan membuka kulkas lalu menuang air ke gelasnya. Ia buru-buru melakukan itu dan berniat pergi, tapi suara Sana menghentikannya.
"Terima kasih."
Tzuyu menoleh.
"Untuk novel-novel itu, terima kasih. Juga bunganya." Suara Sana nyaris berbisik.
Tzuyu mengangguk dan segera pergi dari sana. Ia tidak tahu Sana sedang berda di dapur dan tidak berniat membuat wanita itu ketakutan seperti ini. Ia memasuki kamar dan termenung disana. Rasanya dadanya terasa sakit saat melihat sorot ketakutan itu di wajah Sana. Sampai kapan wanita itu akan menatapnya seperti itu.
Sana menatap punggung Tzuyu menjauh, meski hanya sesaat, Sana bias melihat tubuh Tzuyu yang sedikit lebih kurus dari yang diingatnya. Apa pria itu makan dengan teratur?
Sambil memakan mienya, Sana terus memikirkan Tzuyu. Pria itu terlihat sedih, sorot matanya sendu, tidak lagi tajam dan dingin seperti awal pernikahan mereka. Sana ingin sekali bicara dengan Tzuyu, tapi ia juga takut.
Tapi ada setitik rindu yang sering kali menyusup dalam hatinya. Sering kali ia berharap Tzuyu akan muncul di depan pintu kamarnya dan mengantarkan sendiri novel-novel itu padanya, tapi ia juga tahu, ia pasti akan ketakutan jika pria itu muncul dihadapannya.
Sana mendesah pelan
Sampai kapan mereka akan seperti ini?
Keesokan harinya Sana duduk di atas kursi dan menatap omelet di piringnya. Termenung.
"Kenapa? Nyonya tidak suka?"
Sana menoleh lalu menggeleng.
"Apa Kak Tzuyu sudah pergi?"
"Belum, biasanya sebentar lagi baru Tuan akan turun."
Sana mengangguk.
"Selama ini, apa dia sarapan dirumah, Bi?"
"Ya, Tuan sudah dua bulan ini sarapan dirumag."
"Lalu bagaimna makan malamnya?" Sana bertanya ragu.
"Setelah Nyonya selesai makan, Tuan akan makan."
"Sendirian."
"Ya."
"Dan dia juga sarapan Sendirian?"
"Ya."
"Bibi bias panggil dia diata?"
Bibi Umji menatap Sana lekat.
"Nyonya yakin?"
"Ya." Tapi nada suaranya terdengar ragu.
"Rasanya pasri didak enak sarapan sendirian. Jadi tolong panggilkan dia untuk sarapan bersama."
"Biar saya yang panggil." Yuju bergerak lebih dulu sebelu Bibi Umji sempat menjawab.
Dan tidak lama kemudian Tzuyu memasuki dapur dengan langkah ragu. Sana hanya diam dan memulai makan sarapannya dengan kepala tertundul, sedangkan Tzuyu duduk diseberangmya, dan mulai mengoles roti dengan selai coklat kesukaanya. Keduanya makan dalam diam dan dalam suasana canngung, Bibi Umji tidak beranjak dari tempatnya karena ia tahu, Sana butuh teman untuk merasa nyaman.