22

449 59 43
                                    

"Oma!"

Yoona tersentak kaget saat suara yang menggemaskan memanggilnya, juga mengguncang-guncang tangannya.

"Oma!"

"Iya, Sayang. Kenapa?" Yoona menunduk, menatap anak perempuan kecil berumur empat tahun, yang memiliki mata bulat dan jernih dan juga wajah yang cantik.

"Oma, kita kesini ngapain sih?" Putri kecil itu, Chou Min-Ju menatap omanya dengan bosan.

"Kita akan ketemu dengan seseorang."

"Siapa? Temannya Oma?"

Yoona menatap Minju lekat, lalu tersenyum sambil mengangguk.

"Iya, temannya Oma."

"Tapi kita udah lama disini. Aku ngantuk."

"Tunggu sebentar lagi ya. Sebentar lagi teman Oma pasti datang." Yoona mengambil kotak bekal dari dalam tasnya"

"mau ini?"

"Yeay, omelet." Minju duduk di samping Yoona dan memangku kotak bekal itu, ia mengambil sendok kecil disana dan mulai menyuap makanannya.

Yoona yang menatap itu tersenyum lembut, mengusap rambut Minju yang lembut dan wangi. Matanya terus mengawasi pintu utama lobi hotel Chou yang berada di Busan. Sejak satu jam yang lalu, ia sudah menanti, tapi orang yang ia nantikan tidak kunjung datang.

"Jika saatnya tiba, bawa anakku pada ayahnya, agar anakku bisa mengenal ayahnya. Mama mau berjanji padaku?"

Kalimat itu kembali teringat oleh Yoona. Dan ia rasa ini waktu yang tepat. Minju sudah berusia empat tahun, waktu yang sudah cukup lama. Sudah seharusnya Minju bertemu dengan ayahnya.

Minju sudah menghabiskan omeletnya, dan kini gadis kecil itu tengah sibuk memerhatikan orang yang lalu lalang keluar masuk lobi hotel mewah itu. Yoona mulai merasa resah. Sepertinya orang yang ia tunggu tidak akan datang.

Yoona menghela napas, menatap Minju yang tengah memerhatikan sebuah lukisan, anak itu sangat tertarik pada seni dan musik. Seperti ibunya. Mengingat Sana membuat mata Yoona kembali memerah. Yoona mengerjap, menghalau airmata yang hendak turun. Sudah cukup, ia tidak akan menangisi takdir lagi.

Tuhan sudah melakukan hal yang terbaik. Dan sebagai manusia, kita hanya perlu mengikuti permainan takdir. Sekuat apapun kita mencoba membuat seseorang bertahan di dunia ini, jika Tuhan lebih menyayanginya, maka Tuhan akan mengambilnya. Dan kita harus merelakannya.

Yoona berdiri sambil menggendong Minju, hendak pergi dari lobi itu karena merasa sudah cukup lama menunggu, tepat saat itu matanya menatap seseorang memasuki lobi. Pria itu tinggi, wajahnya dingin tanpa ekspresi, dan melangkah dengan langkah yang lebar tapi tidak tergesa. Semua orang tanpa menunduk hormat padanya, tapi ia hanya memandang lurus ke depan. Kaki Yoona terasa goyah, tapi ia paksakan dirinya untuk melangkah.

"Pak Tzuyu." Yoona memanggilnya.

Pria itu berhenti melangkah, menoleh ke belakang, lalu memutar tubuhnya saat matanya menatap Minju yang tengah memainkan selendang Yoona.

Pria itu terpaku, tubuhnya membeku, kedua matanya menatap lekat Minju yang sama sekali tidak menyadari bahwa ada yang memerhatikannya karena ia terlalu asik dengan dunianya sendiri. Kaki pria itu mendekat ragu, mulutnya terbuka, hendak mengatakan sesuatu, tapi kembali tertutup.

Tepat ketika ia berdiri menjulang di depan Yoona, bibirnya yang bergetar memanggil sebuah nama.

"Sana."

*****

Tzuyu memerhatikan Minju yang tertidur nyenyak di pangkuan Yoona. Sejak mereka memasuki ruang kerja ini, pria itu hanya diam, masih tidak mampu mengatakan apapun.

ᴊᴜꜱᴛ ᴀ ʀᴇᴘʟᴀᴄᴇᴍᴇɴᴛ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang