40. RUMAH SAKIT

1.5K 36 1
                                    

Keluarga dari pasien yang tengah terbaring di brankar itu akhirnya tiba di rumah sakit, setelah menghabiskan perjalanan berjam-jam untuk segera bergegas datang.

"Adrez" panggil seorang pria berumur yang jika di liat dari wajahnya tidak mencerminkan umur beliau, serta tampak masih gagahnya menggunakan setelan kemeja.

Sang menantu menyorotkan mata sendunya pada sang mertua "Pih, maafin Adrez, Pih. Adrez gagal jagain Adara"sesal laki-laki itu sadar akan salahnya.

Terlihat dari sudut bibir menantunya yang robek, Deni menangkap itu pasti ulah dari anak sulungnya yang sudah lebih dulu bertindak. Deni menghela napas pelan seraya mengontrol emosi "Papih tau kecelakaan itu adalah takdir"ucap beliau dengan nada cukup tenang.

Menjeda sebentar sembari berubah mimik lebih serius kali ini "Tapi semua pasti ada alasannya bukan? Bisa di jelaskan? awal mula, kenapa kejadian ini bisa terjadi?"tanya beliau menekan seolah menuntut penjelasan itu.

Tanpa mau adanya yang di tutup-tutupi Adrez memilih berterus terang "Adara ngira aku selingkuh, Pih"

Raut terkejut tercetak jelas dengan dahi yang berkerut "Kenapa putri Papih bisa berpikiran seperti itu?"tanya Deni mengernyit bingung.

Leon yang sudah tau cerita mulanya memilih tutup mulut saja, membiarkan Adrez yang menjelaskan semuanya, karna yakin pemuda yang seumuran dengannya itu akan mengatakan kejadian yang sebenarnya. Ia tau Adrez bukan tipe orang yang pengecut.

"Adara liat foto Adrez sama cewek di kamar hotel" laki-laki itu lantak menjawab meski tubuhnya sudah berkeringat dingin. Debaran jantungnya pun sudah tidak karuan.

"Kalian?-"

Segera menggeleng tegas, Adrez membantah "Aku gamungkin lakuin hal bejat itu, Pih!! Adara salah paham, dan aku akan berusaha cari bukti buat bikin Adara percaya lagi sama aku"

"Gue kecewa sama lo, Bang"celetuk Bryan, remaja itu juga barada di ruangan. Jelas sekali tengah menelan kekecewaan terhadap apa yang di alami oleh sang kakak.

"Dek"tegur Leon pada adek bungsunya. Mengusap kasar pipinya yang basah, Bryan mendekat pada sang kakak dan kini ia berada di pelukan si sulung untuk meredam dan menyalurkan perasaan cemasnya.

Deni tidak mengatakan apapun lagi setelah mendengar itu, jelas sekali guratan marah dan kecewa yang terpampang dari ekspresi wajah beliau. Sedangkan Reyna tidak hentinya menangis melihat musibah yang menimpa putrinya dan memaparkan raut sedih yang cukup menyayat, ketika putrinya yang belum membuka matanya kembali setelah di sarankan dokter agar berisitirahat.

Atmosfer tampak masih menegang meski tidak ada lagi yang mengeluarkan suara di dalam ruangan. Jemari lentik yang terpasang infus itu perlahan bergerak, melihat hal itu laki-laki yang berstatus suami dari pasien tergesit mendekat pada sang istri.

"Sayang"

Reyna yang memang berdiri lebih dekat di sebelah brankar menyadari adanya pergerakan "Kamu udah sadar? ini mamih, sayang" lirih Reyna menahan filu.

Bergantian setelah jemari itu, kini matanya perlahan terbuka hingga tampak sempurna melihat. Adrez membantu sang istri untuk duduk bersandar dan bersyukurnya kali ini Adara tidak menolak.

"Mamih?" ulang Adara memastikan jika memang benar itu adalah orang tuanya. Meski ia sendiri tidak yakin dengan itu.

"Iyaa, sayang. ini mamih sama papih" Deni tergesit berdiri di samping Reyna menyahut.

Adara menelisik dari matanya dan otaknya menelaah semua orang yang berdiri di sini. Berusaha mengingat, setidaknya salah satu dari mereka namun itu sia-sia kepalanya terlalu berat untuk berpikir.

A Life After The MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang