Part 8 (Kenyataan)

4.7K 319 29
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.

Bila ini mimpi rasanya Peat ingin sesegera mungkin untuk terbangun, ia bingung sendiri bagaimana menjalani hidupnya mulai sekarang, apa bisa ia menyembunyikannya? ia sangat takut bila orang tuanya tau lalu marah dan kecewa padanya, ia juga takut orang-orang mungkin saja merendahkannya, ia takut teman-temannya memandangnya buruk, ia takut kuliahnya tak akan berjalan seperti biasa lagi, sedangkan Fort sama sekali tak bisa diharapkan. Bila sudah terjadi seperti ini maka dialah yang paling dirugikan. Semua orang akan menyalahkan dan merendahkannya tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi.

Semalaman Peat sama sekali tak bisa memejamkan matanya, entah  mengapa ia malah jadi secegeng ini, mungkin karena ia begitu ketakutan. Setiap detik ia bernafas ia malah merasakan kegelisahan. Tetapi ia tak mau sendirian, ia tak ingin menanggungnya sendiri, ia tak akan sanggup. Kaki putihnya menaiki tangga demi tangga menuju atap beton universitas unggulan itu hingga ia tiba ditujuannya, ia melihat Fort sudah menunggunya disana

"ada apa? kenapa kau malah mengajakku bertemu diatas sini? tanpa teman? mau bertarung satu lawan satu sekarang?" tanya Fort ketika Peat berjalan kearahnya, angin sore menerpa wajah putuh Peat yang kini menyerahkan secarik kertas pemeriksaannya kemarin ke pada Fort, walau bingung Fort mengambilnya saja, ia tak bergeming membacanya, ia sangat terkejut hingga ia tak bisa berkedip

"aku hamil"

"hah ?"

"kenapa?" tanya Peat dingin sudah menduga reaksi Fort

"ini seriusan?"

"kau pikir wajahku sedang bercanda sekarang?" tanya balik Peat

"tapi kita hanya melakukannya sekali"

"tapi itu kenyataannya! karena kau hanya mengunakan selangkanganmu, kau menghancurkan hidupku" sedih Peat

"kau yang duluan memperkosaku"

"tapi kau dalam kedaan sadar total! kau malah mengunakan kesempatan" balas Peat tak terima

"kau tau? kita masih kuliah, usianya masih berjalan tiga bulankan? masih bisa di aborsi"

plakkk

"Akh" Fort menyentuh pipi kirinya yang ditampar keras oleh Peat, sampai sudut bibirnya kini lecet. sebenarnya Fort juga bingung, mereka masih kuliah, dia tidak siap apapun

"aborsi? kau kira gampang melakukannya seperti yang kau ucapkan? kita sudah melakukan dosa besar sekali yang sulit untuk diampuni, dan sekarang kau memintaku membuat dosa besar kedua kalinya? kau memintaku untuk membunuh anak sendiri?" tanya Peat dengan mata yang sudah meneterkan air mata sakit hatinya, entah mengapa kata-kata Fort membuatnya sangat sakit seperti ini

"lalu apa? kau ingin aku melakukan apa hah? menikahmu? bertanggung jawab? apa kau masih bisa berpikir waras? aku masih kuliah, orang tuaku mungkin saja tak akan setuju, aku masih memiliki kekasihku sendiri" balas Fort membuat Peat makin frustasi dalam pertengkaran ini

"setidaknya ikutlah berpikir jalan keluarnya" ucap Peat dengan suara bergetar karena sudah menangis kebingungan dan juga sakit hati karena dialah yang paling hancur disini

"aku sudah memberimu saran, dan itu diperutmu, jadi uruslah sendiri" ucap Fort mengembalikan surat keterangan dokter itu, meninggalkan Peat yang terduduk dilantai beton atap universitas itu sambil menangis ketakutan akan kelanjutan hidupnya.

.

Fort mengambil tasnya dengan kesal dari kelas membuat Boss dan teman-temannya bingung karena Fort tiba-tiba saja bolos. Sebenarnya Fort sudah sangat pusing karena habis bertengkar hebat dengan Peat tadi, ia juga bingung akan nasipnya. Bukannya ia ingin jahat, tapi ia benar-benar belum siap dengan keadaan dan kenyataan ini, ia tak bisa berfikir jernih dan ia butuh waktu. Ia juga kesal kenapa mulutnya bisa bicara sejahat itu tadi, mungkin karena ia juga ketakutan sama seperti Peat.

Sedangakan Peat kembali berdiri sambil meremas kesal surat keterangan dokter ditangannya, walau tetap saja air mata tak bisa berhenti mengalir dari mata indahnya itu. Sebenarnya ia tau sia-sia saja memberi tau Fort, tapi ia tak mau menanggungnya sendirian. Setidaknya Fort harus tau.

.

.

.

#Skip#

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

#Skip#

setelah hari itu, Peat berusaha menjalani hari-harinya walau sambil menyembunyikan keadaannya diam-diam dari orang tua juga teman-temannya, untuk saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan. Tetapi tentu saja perasaannya tak bisa tenang, setiap ia benafas ia hanya merasakan rasa takut ketahuan atau setiap ia memejamkan mata dimalam hari ia hanya memikirkan nasipnya dimasa depan, ia tak pernah bisa tidur dengan tenang. Wajahnya sudah tak secerah dulu, kini hanya wajah pucat juga wajah dengan sorot mata kesedihan. Sebenarnya Fort dalam keadaan yang sama, ia juga tak tenang, bagaimanapun dia sudah menghamili anak orang. Ia juga bingung harus berbuat seperti apa. Disisi lain ia juga sudah memiliki kekasih dan orang tuanya pasti memakinya habis-babisan.

Peat menarik kunci mobilnya dari sakunya, hari sudah mulai gelap dan memutuskan untuk pulang setelah selesai rapat dengan organisasi fakultas, tapi ia belum makan apapun karena tak nafsu makan lagi, dia kurang istirahat, dan ia nampak stres berlebihan. 

Sakit, itu yang ia rasakan sampai ia harus menunduk memegang area perutnya yang sakit teramat sangat, ia ingin beteriak meminta tolong namun suaranya seolah tak mampu lagi ia keluarkan, bahkan untuk menjerit mengutarakan betapa sakitnya ia sudah tak sanggup lagi. Ia mencoba bernafas dan terus menunduk memengang perutnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang badan mobil untuk menumpuhkan badannya. Ia bisa merasakan darah berlahan mengalir menuruni kedua pahanya membuat noda dicelananya.

Fort yang juga baru selasai dengan acara klub fakultasnya berjalan kearah parkir tapi ia malah terkejut melihat peat tak jauh dari tempatnya sedang menunduk bertumpuh pada badan mobil agar tak jatuh dilantai 

"kenapa dia?" heran Fort ia berusaha tak peduli tetapi ia tak bisa, ia menghela nafas berat dan mendekat kearah Peat

"sial!!" dia malah mengumpat panik saat melihat darah dan makin mempercepat larinya kearah Peat yang kini terjatuh pingsan tepat saat dia menangkapnya, wajah peat sangat pucat seolah tanpa aliran darah lagi. Fort tak tau apa yang ia pikirkan, ia malah mengendong Peat dengan perasaan panik yang luar biasa masuk kedalam mobilnya, ia harus segera membawanya kerumah sakit dulu.

.

.

.

Tbc

Berikan Vote :')

Hate Or Love? (FortPeat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang