Ini chapter 06

164 8 0
                                    

Malam itu, Ajeng sedang ingin melukis dan akhirnya memutuskan untuk membawa peralatan melukisnya ke atas loteng rumahnya. Di temani angin sepoi-sepoi yang terasa dingin namun nyaman, Ajeng menata semua peralatan melukisnya dengan penuh hati-hati. Hal terakhir yang Ajeng lakukan adalah meraih sebuah bangku mini yang ia kemudian letakkan menghadap ke kanvas besar.

Langit malam yang cerah dan penuh akan bintang, membuat Ajeng menemukan inspirasi untuk melukis sesuatu yang indah. Keindahan malam ini wajib untuk di abadikan entah itu lewat sebuah photo atau dalam bentuk sebuah lukisan dan Ajeng memilih untuk melukisnya bahkan walaupun itu membutuhkan usaha lebih keras.

Ajeng menyukai dan mencintai kegiatan melukis sejak dia masih kecil dan tidak pernah merasa terbebani untuk melakukannya, malahan Ajeng merasa sangat tenang ketika tangannya mulai menggoreskan kuas di atas kanvas, seolah-olah setiap goresan yang ia ciptakan dengan kuas tersebut adalah luapan dari berbagai macam keresahan yang hatinya rasakan. Dan ketika selesai keresahan itu telah menghilang.

Pernah sekali Ajeng mendengar bahwa setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menenangkan diri sendiri dan inilah cara Ajeng.

Memangnya saat ini apa yang membuat Ajeng resah sehingga dia harus melukis untuk menenangkan dirinya?

Tidak lain dan tidak bukan adalah karena Alan yang mengantarkan dirinya pulang tadi siang. Ketakutan Ajeng menjadi kenyataan. Beberapa tetangga melihat Ajeng melihatnya tadi dan mulai membicarakannya.

Siapa itu?
Pacarnya?
Wah, anak zama sekarang semakin berani saja, tidak ada sopan santunnya.

Kira-kira seperti itulah dan hal itu sampai ke telinga kedua orangtuanya. Saat makan malam beberapa menit yang lalu, Ajeng ditanya terkait Alan dan dengan jelas Ajeng mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki hubungan apapun dengan Alan. Untuk itu, Ajeng diberi nasihat, kalau memang tidak punya hubungan apa-apa, akan lebih baik Alan tidak perlu mengantarkan Ajeng pulang ke rumah lagi. Takutnya tetangga semakin parah asumsinya.

Dengan lesu Ajeng mengangguk mengiyakan. Dia juga berjanji bahwa yang tadi itu adalah kali terakhir Alan mengantarnya pulang ke rumah. Lain kali tidak lagi.

Benar-benar melelahkan apabila harus memenuhi keinginan oranglain yang mana tidak kita inginkan, padahal apa yang Alan lakukan bukanlah sebuah masalah tapi karena pemikiran tetangga yang begitu primitif, membuat Ajeng harus menyuruh Alan berhenti melakukanya.

Nasib tinggal di kampung ya seperti ini. Mereka yang berbeda jenis kelamin dan tidak memiliki hubungan darah atau status pernikahan jelas tidak boleh terlihat bersama di tempat umum karena akan memunculkan pemikiran negatif banyak orang. Ajeng, benar-benar berharap dapat meninggalkan tempat tinggalnya ini dan pindah ke kota di mana warga sekitar tidak akan terlalu ribut mengurusi urusan oranglain.

><

Di larang untuk pulang bersama bukan berarti Ajeng lantas menjauhi Alan di sekolah ataupun tidak lagi membalas pesan-pesan yang dikirimkannya karena seperti yang Ajeng inginkan, dia tidak mau hubungan pertemanannya dengan Alan yang baru sebentar hancur begitu saja. Selain itu, karena memang Ajeng merasa tidak perlu untuk menjauhi Alan hanya karena oranglain mengatakan ia harus seperti itu. Memang, ayah atau ibu tidak ada yang bilang Ajeng harus menjauhi Alan, tapi mereka berharap Ajeng melakukannya tanpa disuruh melihat cara bagaimana mereka menyampaikannya. Supaya apa? Supaya citra Ajeng sebagai anak baik-baik tidak ternoda. Ya begitulah.

Ajeng dan Alan setelah kejadian itu malahan semakin dekat. Intensitas pertemuan mereka kian sering dan semakin lama, awalnya hanya saling sapa apabila bertemu di kantin lalu Alan mulai bergabung makan dengan Ajeng, dan Milka. Kemudian suatu hari Alan mengajak Ajeng makan berdua saja karena katanya Alan kurang  nyaman dengan Milka. Milka tidak protes sedikitpun ketika Ajeng meninggalkannya untuk makan bersama Alan, karena dia bisa makan dengan kakaknya Mika, hanya saja, Milka merasa bingung dengan hubungan Ajeng dan Alan. Mereka terlihat dekat tapi di saat yang bersamaan terlihat jauh juga. Milka bingung untuk menjelaskannya.

Suatu hari, ketika kelas sedang kosong, Milka langsung mengungkapkan kebingungannya tersebut. "Kamu tuh sama Alan pacaran atau enggak sih?"

Itu pertanyaan yang tiba-tiba dan Ajeng heran kenapa Milka menanyakannya. "Ah… enggak kok. Kita temenan aja."

"Tapi kalian seperti orang yang sedang pacaran. Makan bareng… terus ngobrol dan keliatan akrab sekali."

"Kan kalau orang temenan kayak aku sama kamu pastilah ngobrolnya keliatan akrab."

"Alan gak pernah ngomong dia suka sama kamu atau apa gitu?" tanya Milka yang sudah kelewat penasaran dan Ajeng tertawa kecil.

"Kamu pikir Alan suka sama aku, gitu?"

"Kalau enggak terus kenapa dia deketin kamu?"

Tiba-tiba Ajeng mengingat deklarasi Alan suatu hari yang ingin mendekatinya. Ajeng tentu mengerti maksudnya bukan untuk sekedar mendekati lalu berteman saja. Alan ingin hubungan yang serius, hanya saja Ajeng tidak pernah menganggapnya serius.

"Dia mungkin cuma penasaran aja sama aku," kata Ajeng yang menjelaskan kenapa selama beberapa hari ini dia tidak pernah menganggap serius pendekatan Alan.

"Nah… berarti dia belum pernah bilang suka atau cinta sama kamu," kata Milka yang kemudian menjentikkan jarinya. "Nanti kamu akan tahu dia serius ketika sudah menyatakan perasaannya sama kamu. Saat itu tiba… kamu jangan langsung buru-buru menerima Alan. Kamu harus pikirkan baik-baik perasaanmu sendiri gimana dama dia supaya…."

"Aku kayaknya suka sama Alan."

"Apa? Secepat ini?" Milka tidak percaya mendengarnya.

"Kenapa enggak. Alan itu baik tahu… ganteng pula." Ajeng terkekeh setelah mengakhiri ucapannya dan Milka memutar bola matanya malas.

"Baik dan ganteng itu tidak cukup untuk menjalani sebuah hubungan. Kamu harus benar-benar tahu masa lalu, latar belakang keluarga, sikapnya yang sebenarnya dan lain sebagainya supaya…."

Sekali lagi Ajeng memotong ucapan Milka. "Ya ampun aku gak bakalan nikah sama Alan sampai harus cari tahu semua itu."

Tidak perduli dengan apapun yang Ajeng katakan, Milka kembali berbicara. "Bodo amat intinya aku cuma gak mau kamu nyesel nantinya. Kamu harus pacaran dengan orang yang baik sama kamu nanti. Itu aja."

Bahkan walaupun Milka tahu nanti sang kakak akan patah hati berat apabila Ajeng berpacaran dengan oranglain, tapi setidaknya Milka tahu bahwa dia akan sedikit senang mengetahui Ajeng dengan orang yang tepat. Lagipula hanya berpacaran kan… di masa depan nanti siapa tahu Ajeng takdirnya menikah dengan Mika, jadi abang Milka itu tidak akan terlaku sedih.

"Terimakasih ya sudah mau perduli banget sama aku." Ajeng meraih lengan Milka dan memeluknya dengan manja. "Kamu memang sahabat terbaikku."

"Sama-sama… tapi bisa gak sih gak usah peluk-peluk. Aku gak suka."

Milka memang anti bersentuhan dengan oranglain, Ajeng tidak heran melihat reaksinya. Walaupun begitu, Ajeng masih tetap menyayangi Milka begitupun sebaliknya.

><
Milka anti physical touch wkwkw😭

Kamu bilang, kamu cinta sama akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang