Hari itu, orang tua Ajeng dan Alan telah menentukan segala hal. Mulai dari tanggal pernikahan, tempat pernikahan dan bahkan apa yang akan Ajeng dan Alan lakukan setelah menikah telah ditetapkan. Ajeng dan Alan, terima saja keputusan yang telah di buat tersebut.
Bagi Ajeng pribadi, tidak ada masalah. Malah, Ajeng merasa tenang dan senang karena segala macam hal yang berkaitan dengan pernikahan ternyata lebih mudah dari yang ia bayangkan sebelumnya. Tapi rasa senangnya itu langsung luntur saat Ajeng melihat raut masam Alan yang tidak seharusnya ada.
Ajeng memperhatikan Alan, Ajeng memperhatikan bagaimana Alan tidak bisa duduk tenang saat diskusi berlangsung namun tidak ada yang mempedulikannya. Lalu begitu semuanya telah selesai Alan jadi pendiam.
Hubungan mereka yang sudah cukup lama, membuat Ajeng mulai mempelajari sikap dan perilaku Alan. Apabila ada yang salah, dia terkesan mendiamkan orang lain. Itulah mengapa tidak sulit bagi Ajeng mengetahui Alan berperilaku beda dari biasanya.
Berbeda di sini, adalah seperti Alan yang ketika di tanya oleh Ajeng biasanya menjawab dengan satu kalimat panjang, sekarang, apabila di tanya terkait sesuatu maka jawabannya pasti singkat sekali. Dalam ruang chatting pun sama, Alan menanggapi begitu singkat, bahkan kadang pesan yang Ajeng kirimkan tidak lagi ia balas, hanya dibaca saja.
Bukankah hal ini aneh?
Dalam benaknya, muncul beberapa tebakan yang bisa jadi alasan Alan berubah menjadi pendiam. Alan ingin tempat pernikahan mereka dilangsungkan di tempat pilihannya, karena kan biasanya orang-orang memiliki tempat idaman masing-masing di mana mereka hendak menyelenggarakan pernikahan. Tebakan lainnya yaitu Alan ingin pernikahannya di perlambat atau dipercepat. Hanya itu saja yang masuk akal bagi Ajeng saat ini. Jika bukan kedua hal tadi, maka Ajeng terpaksa harus menunggu Alan menjelaskan dengan sendirinya alasan dia berubah.
Tapi menunggu tidak pernah menjadi sesuatu hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Terlebih menunggu sesuatu yang tidak pasti. Alan belum tentu mau memberitahu Ajeng alasannya seperti itu, bagaimana jika dia memilih bungkam sampai mereka menikah dan sikapnya dingin kepada Ajeng terus menerus?
Memikirkan hal tersebut membuat Ajeng bergidik ngeri, dia tidak mau hubungannya dan Alan di masa depan seperti itu. Ajeng menginginkan hubungan dan keluarga yang hangat bersama Alan. Maka untuk itu, Ajeng akhirnya bertanya pada Alan tentang kenapa dia berubah.
"Ada sesuatu yang gak kamu sukai dengan persiapan pernikahannya?"
Alan menggeleng.
"Aku atau orang tuamu ngelakuin hal yang salah?"
Alan lagi-lagi menggeleng.
"Terus kenapa kamu jadi kayak gini? Aku bukan peramal Lan, kalau kamu punya masalah, aku gak bisa langsung tahu. Jadi lebih baik kamu tahu yang sebenarnya daripada makin lama masalahnya semakin besar kalau kamu tanggung sendirian."
Sebenarnya sangat berat bagi Alan untuk mengatakan apa yang tengah menganggu pikirannya, dan hal itu terlihat jelas di wajahnya, tapi apa yang Ajeng katakan benar adanya.
"Aku kayaknya gak siap untuk nikah."
"Sumpah Lan, bercandamu gak lucu."
"Aku serius," tegas Alan. "Kamu juga kayaknya belum siap buat nikah."
Hati Ajeng seolah teriris mendengarnya. Alan meragukannya dan dia secara jelas mengakui ketidakmampuannya untuk menikahi Ajeng, bahkan setelah semua yang terjadi. Seharusnya, Ajeng marah besar, tapi tidak, alih-alih marah, Ajeng malah menunjukkan sisi terlemah dirinya yang sangat jarang terlihat. Bisa jadi karena Ajeng terlalu sedih mendengar ucapan Alan yang menurutnya sangat tidak pantas untuk dikatakan setelah semuanya.
"Jadi, kamu maunya kita gimana? Kamu mau aku gugurin kandunganku seperti yang Mamamu bilang?" tanyanya lemah lembut. Saat Ajeng melihat Alan menggeleng cepat, diam-diam Ajeng menghela nafas lega.
"Aku cuma gak yakin kita bisa menjalani pernikahan dengan baik. Aku takut kita gak kuat nanggung semua beban yang ada nantinya," kata Alan jujur.
Entah bagaimana Alan mendapatkan pikiran itu, tapi bagi Ajeng hal tersebut tidak lagi penting sekarang karena nasi telah menjadi bubur. Ajeng telah hamil dan jika bukan menikah maka Ajeng tidak tahu jalan lain untuk menyelesaikan masalahnya.
"Aku gak tahu apa yang akan terjadi di masa depan dan masalah apa yang mungkin aja bakal muncul. Tapi Lan, kita tetap harus menikah karena kalau enggak, masalah lebih besar pasti harus kita hadapi."
"Jadi, maksud kamu kita harus memaksakan diri gitu?"
"Apapun itu namanya. Ini udah jadi konsekuensi dari perbuatan kita."
Gumpatan Alan terdengar sesaat kemudian, Alan frustrasi. Keadaannya tak jauh berbeda dengan keadaan Ajeng saat mengetahui dirinya hamil. Alan bahkan sampai tidak bisa diam dan mondar mandir kesana kemari. Begitu dia tenang sebentar, dari mulutnya malah terlontar kalimat tajam.
"Tahu gitu kemarin waktu kita berhubungan pake kondom… kamu juga, kenapa sih gak bisa pake KB atau minum pil pencegah kehamilan? Kan kalau gitu seenggaknya kita bisa menghindari hal kayak gini."
"Gimana caranya Lan, kan aku belum nikah dan gak mungkin dapatin pil atau pake KB sebelum menikah di kampung ini."
Alan lagi-lagi menggumpat. "Karena ini gue gak sudi tinggal di kampung. Bangsat emang!"
Keadaan yang keruh seperti saat ini bisa semakin parah jika Ajeng membalas kalimat Alan dengan mengatakan 'Siapa suruh ngajakin aku berhubungan seksual' atau ' Makanya kamu harus bisa tahan nafsu kamu' yang mana, kalimat-kalimat ini secara tidak langsung menunjukkan peran terbesar Alan sebagai penyebab semua masalah yang harus mereka hadapi. Oh tapi tidak, hati Ajeng terlalu lembut sehingga dia tidak mungkin mau mengatakan hal itu pada Alan yang sangat ia cintai. Malahan, Ajeng ingin segera menenangkan Alan dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang baik.
"Mamamu benar waktu bilang masa depanku bisa hancur, dan kamu juga benar bahwa mungkin kita belum siap, tapi semuanya udah terlanjur Lan. Kita gak ada pilihan lain selain menjalani pernikahan ini," kata Ajeng. "Dan lagi kan, sesuai perjanjian yang dibuat keluarga kita, kamu bisa tetap lanjut kuliah setelah kita menikah, dan tetap berinteraksi dengan teman-teman barumu. Tentang pernikahan kita… aku yakin, kalau kita belajar terus bareng-bareng, masalah apapun yang datang nantinya pasti akan bisa terlewati."
Apa yang Ajeng katakan tidak lantas Alan dengarkan begitu saja, butuh waktu beberapa saat bagi cowok itu untuk meresapinya dan begitu dia tahu dan yakin bahwa Ajeng benar, Alan langsung memeluk Ajeng dan berterima kasih padanya.
Ajeng senang Alan sudah kembali seperti semula berkat dirinya. Kini, harapan Ajeng adalah agar Alan tidak berulah lagi dan mereka bisa menjalani hidup sama persis seperti kalimat yang ia ucapkan barusan.
>>>
Sebagai author, jujur saya capek dengan hubungan Ajeng dan Alan😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku
Teen FictionTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...