Setelah melangsungkan pernikahan di KUA, Ajeng dan Alan seharusnya langsung pindah ke Jakarta, tapi karena beberapa data yang harus di urus di sekolah untuk proses masuk kuliah Alan nanti, maka pasangan pengantin baru itu tetap tinggal di kampung, tepatnya di rumah nenek Alan.
Walaupun masih berada di kampung yang sama, namun tetap saja Ajeng merasa tempat tinggal barunya untuk sementara sangatlah berbeda dengan rumah orang tuanya. Terlebih karena menurut Ajeng, Nenek Alan itu bersikap acuh tak acuh padanya, seolah Ajeng ini hanyalah sebuah pajangan yang tidak perlu diajak bercengkrama atau semacamnya. Sekalinya berinteraksi, waktunya sangat sebentar.
"Harusnya kamu gak kaget sih nenekku begitu. Waktu itu kan dia juga udah bilang kalau kita seharusnya putus aja, eh tapi kita malah nikah, ya dia pastilah emosi sama kamu dan aku," begitu kata Alan ketika Ajeng mengungkapkan rasa tidak enak hatinya terkait dengan nenek.
"Tapi kan dia seharusnya gak begitu. Karena kan aku udah jadi anggota keluarganya."
"Yaudah lah, gak penting juga gimana sikap nenek ke kamu atau ke aku, setelah pindah ke Jakarta, kita gak akan menghadapi nenekku lagi."
"Ya tapi…."
"Ajeng, kita gak perlu lagi ngomongin tentang nenek. Gak penting…" perkataan Alan lantas membuat Ajeng akhirnya hanya bisa menelan mentah-mentah keluhannya lebih lanjut. "Aku sekarang mau pergi dulu. Oke, sayang?"
"Mau kemana? Udah malam lho?"
"Mau malam atau siang sama aja bagi aku. Aku mau ketemu sama Dodit, Roni, bentar lagi kita udah pindah, jadi ya aku harus pamitan sama mereka."
"Oh." Tiba-tiba saja Ajeng termenung, dia langsung teringat oleh Mika dan Milka yang sampai hari ini belum ia beritahu tentang pernikahannya dan juga belum Ajeng beritahu tentang kepindahannya nanti ke Jakarta. Ajeng ingin sekali berpamitan dengan mereka secara langsung, tapi sepertinya akan sulit karena Alan pasti melarang.
"Ajeng, kamu gak papa kan?" tanya Alan sambil mengelus puncak kepala Ajeng, tatkala, menyadari Ajeng yang bungkam tiba-tiba.
Begitu Ajeng tersadar, dia gelagapan menjawab Alan. "Gak… gak papa kok." Ajeng berdehem dan mengalihkan pembicaraan. "Ini kamu mau berangkat sekarang?"
"Iya."
"Yaudah kalau gitu aku antar keluar ya?"
Tidak banyak protes, Alan mengiyakan dan bersama-sama mereka keluar dari kamar dan menuju pintu keluar rumah tepat di saat nenek keluar dari dapur dan melihat mereka. Secara spontan, wanita tua itu bertanya, "Mau kemana kalian?"
Pertanyaan yang singkat itu membuat Ajeng langsung tegang entah kenapa, padahal apa yang Nenek Alan tanyakan hanyalah pertanyaan biasa. Sedangkan Alan yang sepertinya sudah terbiasa dengan sikap neneknya, santai dan dialah yang kemudian menjawab.
"Aku yang mau keluar nek. Ketemu teman sebentar."
"Tidak, tidak. Tidak boleh. Sudah malam…"
"Tapi nek, biasanya kan aku juga sering keluar malam sebelum ini."
"Oh ya betul itu! Tapi itu sebelum kamu bikin nenek malu dengan kelakuan gak bermoralmu itu!" kata nenek dengan tegasnya. Ketika Alan dilihatnya masih bisa-bisanya hendak menjawab, nenek kembali berbicara, dan kali ini dengan volume suara lebih tinggi. "Dengarkan nenek Alan! Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau setelah di Jakarta nanti, tapi selama masih tinggal di sini, nenek mohon jangan melakukan hal yang akan menambah beban hidup nenek!"
"Sebentar doang nek. Ayolah."
"Mau sebentar atau tidak sama saja, tetangga sekitar akan mikir macam-macam kalau kamu keluar malam. Mereka akan mikir nenek gak becus buat ngurus kamu di sini."
"Peduli amat nek sama omongan tetangga. Nenek tahu sendiri kan kalau pendapat orang lain itu gak akan ada habisnya."
"Masa bodo kalau kamu gak peduli dengan omongan tetangga atau orang lain, tapi nenek peduli. Jadi, selama kamu tinggal di sini, kamu harus patuh sama apapun yang nenek katakan karena begitu kamu pindah ke Jakarta, yang akan kena getahnya, adalah nenek bukan kamu atau istrimu itu!" Nenek Alan menunjuk Ajeng dengan galaknya, Ajeng takut sekali dibuatnya. "Sekarang masuk kamar dan jangan lakukan hal tolol apapun lagi yang akan memperparah masalah."
"Tapi nek…."
"Masuk Alan … bawa istrimu itu ikut masuk sebelum nenek tendang kalian satu persatu!"
Ajeng menarik-narik lengan Alan dan berbisik padanya, meminta agar mereka masuk saja ke dalam kamar karena takutnya jika mereka tetap di sini, nenek akan semakin emosi. Ajeng tidak ingin kebencian nenek padanya semakin menumpuk, sudah cukup dia mempermalukan nenek dan membuat wanita tua itu dalam masalah.
Akhirnya pasangan suami istri yang baru saja menikah itu kembali ke kamar. Walaupun sudah berada di ruangan yang berbeda, namun ternyata kemarahan nenek belum reda. Ajeng dan Alan masih dapat mendengar keluhannya, gumpatannya dan segala macam kata yang ia ucapkan dalam rangka meluapkan kekesalannya terhadap Alan dan Ajeng.
"Tolol! Tolol! Belum cukup jadi biang kerok berbagai macam kenakalan eh malah ngehamilin anak orang. Itu cewe juga tolol, mau-maunya diajak ngen*** sebelum menikah! Bikin malu! Gak berguna mereka itu! Masa depan busuk kayak comberan. Sial sekali harus terikat dengan mereka…."
Baik Ajeng maupun Alan sudah mendengar banyak pergunjingan orang-orang tentang mereka, itu sangat menganggu tentu saja, dan mereka bertanya-tanya sebagai akibat dari rasa malu yang nenek rasakan, pantaskah dia mengatakan hal jahat seperti itu secara terang-terangan?
><
Seharusnya chapter ini dulu baru chapter 40😭🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku
Teen FictionTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...