Matanya memicing dan kepalanya mendongak ke atas menatap sebuah pohon dan sesuatu yang menarik perhatian di atas pohon itu.
Tiba-tiba Alan muncul dan berdiri tepat disampingnya. Alan tersenyum senang menikmati raut wajah terkejut yang Ajeng tunjukkan. Alan merasa bangga karena telah membuat Ajeng terpesona dengan apa yang ditunjukkannya ini.
"Bagus gak?"
Ajeng membalas tatapan Alan, tapi dia tidak menjawab, Ajeng hanya mengangguk polos. Pertanyaan yang sepertinya sudah sangat jelas. Tentu saja itu bagus. Ajeng baru pertama kali melihatnya seumur-umur.
"Ayo naik." Alan menarik tangan Ajeng, tapi gadis itu buru-buru menahannya. "Kenapa? Gak mau?"
"Memangnya kita bisa naik kesana? Kita gak akan jatuh?"
Alan menghembuskan napasnya dan menjelaskan dengan pelan. "Tenang aja, rumah pohon itu aman. Aku sudah berkali-kali baik kesana dan baik-baik akan kan, sampai sekarang?"
Memang Alan sekarang baik-baik saja, tapi bagaimana kalau tiba-tiba terjadi masalah ada tangga atau rumah pohon itu ketika Ajeng berada di dalamnya dan mereka terjatuh dari ketinggian? Bukankah itu sangat mengerikan? Karena kemungkinan besar Ajeng akan geger otak atau patah tulang dan mungkin paling parah meninggal dunia. Ajeng tidak mau hal sampai terjadi. Dia masih mau hidup di muka bumi ini lebih lama. Dia masih memiliki beberapa impian yang ingin ia wujudkan. Jadi lebih baik cari aman saja.
"Aku takut. Kita di bawah aja ya?" pintanya pada Alan yang tentu saja tidak mau menurut.
"Aku bawa kamu kesini bukan buat piknik di atas tanah, tapi mau kamu lihat pemandangan yang cantik dari atas pohon itu. Jadi ayo. Apapun yang kamu takutin gak akan kejadian atau…."
"Atau apa?"
"Atau aku akan menganggap kamu gak menghargai pengorbananku buat bikin rumah pohon itu."
"K-kamu bikin sendiri… rumah pohon itu?"
"Iyalah. Memangnya siapa lagi yang mau bikin kalau bukan aku?"
Ini benar-benar luar biasa. Ajeng tidak menyangka Alan melakukan hal sebesar itu untuk dirinya, dan dia malah di bawah sini menolak untuk naik karena takut.
"Jadi, gimana?"
Menekan rasa takutnya sendiri, akhirnya Ajeng mengangguk. Alan pun tersenyum dan kemudian membimbing Ajeng menuju batang pohon di mana sebuah tangga yang terbuat dari papan dan diikat tali terulur. Alan naik ke tangga itu lalu disusul oleh Ajeng yang kelihatan sangat takut. Sesekali dia berhenti untuk menarik napas panjang dan menormalkan irama jantungnya yang berdetak kencang karena takut yang berlebih. Alan menunggunya ketika Ajeng menaiki tangga satu persatu. Dan walaupun cukup lama, akhirnya mereka sampai juga di rumah pohon tersebut.
Ajeng menutup matanya dengan rapat karena terlalu takut untuk melihat di mana kirinya berada. Ajeng bahkan sampai gemetar. Untung saja Alan tidak membiarkan Ajeng dengan ketakutannya sendirian. Segera, Alan mengelus-elus pundak Ajeng dan mengucapkan kalimat-kalimat penenang untuknya sehingga kemudian pelan-pelan Ajeng mau membuka matanya dan menatap pemandangan indah yang terhampar di depannya.
Sawah, gunung, pepohonan, rumah warga, dan jalanan terlihat dari atas sana. Semuanya terlihat kecil dan lebih seperti lukisan dari sana. Ajeng terpukau dibuatnya. Belum pernah Ajeng melihat keindahan daratan dari ketinggian seperti ini dan tanpa sadar, dia mendekatkan dirinya ke pinggir rumah pohon untuk melihat lebih jelas keindahan tersebut.
"Pemandangannya cantik kan?"
"Iya… dan aku suka banget."
Rasa suka itu terlihat jelas di wajah Ajeng. Siapapun dapat melihatnya dan Alan lagi-lagi merasakan sebuah euphoria kebahagiaan karena dialah yang membawa Ajeng ke tempat ini.
Alan duduk bersila di samping Ajeng yang kemudian ikut duduk dan bersama mereka memandang pemandangan indah tersebut. Lalu Alan mulai bercerita kalau dulu dia sering ke tempat ini bersama kakeknya sewaktu sang kakek masih hidup. Kakeknya lah yang dulu membuat rumah pohon ini. Tadi itu Alan bohong. Jadi dia pun meminta maaf dan Ajeng memaklumi.
"Dulu… sama kakek aku gak cuma diajakin naik pohon doang, aku juga diajarin gimana caranya manjat pohon, mancing ikan di sungai, terus kadang nemenin kakek di sawah."
"Oh ya?" Ajeng antusias mendengarnya, tapi kemudian merasa bingung. "Tapi kok kita gak pernah ketemu ya sebelum ini."
Untuk itu Alan pun tidak tahu jawabannya. Sebelum di sekolah, Alan tidak pernah merasa pernah bertemu Ajeng begitupun sebaliknya. "Mungkin karena kita emang gak pernah ketemu. Walaupun nenekku dan kamu satu kampung tapi jarak rumah kalian kan gak dekat jadi ya gak aneh kalau kita gak pernah ketemu. Kalaupun kita pernah ketemu pasti kita udah lupa soalnya terakhir kali aku kesini pas umur tujuh tahun."
"Ya ampun lama banget… selama itu kamu gak pernah kangen pengen ketemu kakek nenekmu apa?"
"Kangenlah, mereka juga kangen, biasanya kakek sama nenek yang ke Jakarta buat ketemu sama aku."
Ajeng sering sekali menemukan perkara yang sama dengan apa yang Alan alami, di mana ketika dewasa atau setelah menikah seorang anak jarang mengunjungi orangtuanya karena terlalu sibuk bekerja, sehingga biasanya orangtua lah yang harus berinisiatif menemui mereka. Dan hal ini menjadi semacam pelajaran bagi Ajeng, di masa depan nanti, jika dirinya memiliki kesempatan untuk tinggal jauh dari orangtuanya, dia akan sering-sering mengunjungi mereka di kampung ini.
"Kalau boleh tahu alasan kamu pindah ke kampung ini karena apa?"
"Memangnya kenapa… gak boleh ya aku pindah ke kampung ini?" Alan bertanya dengan bercanda.
"Bukan itu maksudku… maksudku, kan di Jakarta fasilitas dan kualitas belajarnya lebih bagus, terus kenapa gitu lho kamu pindah kesini? Kalau aku jadi kamu, aku gak mau pindah dari kota besar yang punya segalanya ke kampung yang sempit seperti ini."
Terkekeh Alan dibuatnya.
Dulu, juga Alan sudah mengatakan bahwa dirinya tidak mau pindah kemari, tapi papanya memaksa. Alan tidak bisa menolak."Mungkin karena papa pengen aku jauh dari pergaulan bebas," jawaban itulah yang kemudian Alan berikan untuk menutupi jawaban sebenarnya dari alasan kepindahannya ke kampung ini. Walau mereka sudah dekat, Alan belum siap untuk membeberkan alasannya pindah kepada Ajeng. Mungkin nanti ia akan melakukannya.
Lama setelah itu, mereka sama-sama diam dalam pikiran masing-masing hingga kemudian, Alan meraih tangan Ajeng untuk ia genggam. Mata Ajeng melotot tanda kaget dengan perlakuan yang ia dapatkan dan, jantungnya… jadi berdebar-debar.
"Kamu pernah pacaran?"
"E-enggak," jawab Ajeng dengan suara serak.
"Tapi kamu tahu kan banyak yang suka sama kamu?"
Kali ini Ajeng tidak tahu harus menjawab apa, dia takut di sangka terlalu pede apabila mengiyakan namun takut juga di sangka sok polos apabila berlagak sok tidak tahu.
"Dan kamu pasti tahu kan kalau aku suka sama kamu?"
Sekali lagi Ajeng tidak menjawab, Alan sepertinya tidak masalah jika Ajeng tidak mau menjawab. Dia hanya ingin basa basi sebelum akhirnya menyampaikan niatnya yang sebenarnya.
"Kamu juga tahu apa yang mau aku omongin saat ini, Ajeng?"
Untuk yang satu ini Ajrng tidak bisa mengelak dan mengangguk pada akhirnya. Dia juga berkata, "Iya, aku tahu, tapi kayaknya aku belum bisa deh Alan."
"Kenapa?"
"Karena kita baru kenal… kita… perlu mengenali satu sama lain lebih jauh. Iya kan?"
Alan mengangguk. Walaupun begitu, wajahnya yang kelihatan langsung lesu membuat Ajeng merasa tidak enak hati. Ketika Ajeng meminta maaf, Alan bilang tidak apa-apa. Alan tahu perasaannya pada Ajeng adalah nyata dan valid, tapi seperti yang Ajeng katakan bahwa mereka harus saling mengenal terlebih dahulu. Alan tidak mau memaksa, dia hanya meyakinkan diri bahwa suatu hari nanti, dia akan bisa menjadikan Ajeng miliknya. Hanya tinggal menunggu waktu saja.
><
Well, hubungan mereka mulai berkembang ke arah yang lebih serius dan dari sinilah masalah akan muncul satu persatu. Dan ya, selamat hari raya idul Adha 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku
Novela JuvenilTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...