"Gimana menurutmu tentang kutek ku yang baru ini, bagus kan?"
Tepat di depan wajah Ajeng, Milka memamerkan jari-jari tangannya yang telah ia warnai dengan cat kuku berwarna merah terang. Ajeng sejujurnya kurang suka dengan warna yang sangat terang seperti cat kuku Milka itu, tetapi dia tidak bisa mengatakan dirinya tidak menyukainya, karena ya Milka pasti akan marah mendengarnya.
"Iya, bagus," katanya, dengan lihai memasang ekspresi wajah dan memperdengarkan nada suara yang tulus sehingga Milka tidak akan curiga. Sebenarnya tidak begitu bagus kedengarannya tapi karena Milka sangat butuh pujian untuk kuteknya maka dia menganggap Ajeng bersungguh-sungguh.
"Ah Ajeng… terimakasih pujiannya… kamu orang pertama yang muji kutek ku. Bang Mika, ibu, ayah, pada ngejelekin. Padahal ini tuh kamu tahu aku buatnya sendiri. Mengikuti persis yang ada di YouTube."
Spontan saja Ajeng bersyukur karena telah memuji Milka. Setidaknya jika jari kuku Milka itu memang tidak terlalu bagus maka usahanya patut untuk di apresiasi. Begitulah pikir Ajeng.
"Kamu mau tidak kalau kukumu ku kasih kutek kayak gini?"
"Enggak, enggak… gak perlu. Aku lebih suka jariku polos aja," kata Ajeng cepat-cepat, wajahnya terlihat panik karena takut Milka akan memaksanya.
"Yah… kenapa? Katamu kutekku bagus…" bahu Milka merosot, wajahnya juga keliatan lesu karena penolakan Ajeng.
"Bagus untuk kamu, tapi untukku enggak. Jadi… gak usah ya?" Bagai berbicara dengan seorang bayi, Ajeng mengucapkan kata demi kata dengan penuh lemah lembut agar Milka mau mengerti dan menurutinya. Kalau tidak seperti itu maka biasanya Milka akan terus memaksa dan tidak akan berhenti sampai keinginannya terpenuhi.
"Yaudah lah, kalau gitu gimana kalau kita belajar make up aja? Pasti kamu bakal cocok deh nanti, gimana?"
Make up itu lebih parah daripada kutek, dan Ajeng tidak mau. Lebih tepatnya belum siap untuk memolesi wajahnya dengan berbagai macam produk kecantikan. Apalagi jika harus dengan Milka yang mana belum selihai itu dalam melakukannya. Ajeng menggeleng kencang dan menolaknya.
"Ya ampun Ajeng kenapa sih kamu gak mau? Kan kita belajar bareng? Masalah cantik atau enggaknya itu urusan belakangan."
Tetap Ajeng menolak, dan tetap membujuk.
"Ayolah Ajeng… lagipula kan di sini gak orang. Orangtuamu lagi kondangan dan akan balik mungkin tiga jam lagi, jadi kita punya waktu banyak untuk bereksperimen."
"Gak mau! Aku gak mau bereksperimen sama wajahku sendiri! Kita kan gak tahu apa-apa tentang make up Mil. Kalau ada hal buruk terjadi sama mukamu atau mukaku gimana?"
"Tenang aja… nanti kita ikutin semua instruksi dari video YouTube aja, pasti aman kok."
Ajeng akui Milka adalah tipikal orang yang memanfaatkan internet dengan sangat baik, seperti YouTube, tapi masalahnya adalah tidak semua video YouTube dapat di percaya. Bagaimana jika mereka memilih video yang hanya keliatannya saja baik namun ketika dipraktekkan mengakibatkan hal buruk? Walaupun hanya sedikit orang yang mengalami hal seperti itu, tapi Ajeng tetap saja tidak mau melakukannya. Lebih baik menghindari daripada mengobati, bukan?
"Aku tetap gak mau!" tegas Ajeng, apapun yang selanjutnya akan Milka katakan dirinya tidak akan terpengaruh.
"Padahal nih ya… kalau kamu belajar make up, siapa tahu nanti Alan makin suka sama kamu."
"Huh?" Ajeng tidak menyangka Milka akan mengaitkan pembicaraan mereka kali ini dengan Alan, seolah-olah dengan begitu Ajeng akan luluh dengan mudah. "Jangan bawa-bawa Alan."
"Kenapa? Memangnya kamu gak mau Alan semakin suka sama kamu?"
"Ya aku mau cuma masa iya harus dengan make up untuk membuat Alan makin suka sama aku. Padahal kan selama ini, aku gak pakai makeup tapi dia tetap suka sama aku," kata Ajeng, mengutarakan pemikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku
Teen FictionTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...