Ada jeda beberapa hari bagi siswa siswi kelas dua belas setelah ujian akhir dan sebelum pengumuman kelulusan tiba. Bisa dibilang, masa-masa itu, Ajeng telah bebas dan tidak lagi terikat dengan berbagai macam hal-hal yang berkaitan dengan sekolah. Ajeng memiliki sangat banyak waktu luang yang entah bagaimana caranya akan ia habiskan.
Pada awalnya, Ajeng merasa senang karena bisa berleha-leha di rumah seharian, tapi lama kelamaan, dia mulai merasa bosan dan pada akhirnya tidak tahan lagi dengan kebosanan tersebut. Itulah kenapa, Ajeng dengan sukarela, menawarkan diri untuk membawakan makanan untuk ayahnya ke sawah. Dengan senang hati, Retno memberi izin dan berangkatlah Ajeng ke sawah.
Ajeng mengayuh sepedanya dengan lambat. Ajeng tidak mau cepat sampai ke sawah, dia ingin menikmati pemandangan di sekitarnya yang sangat indah dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Sudah lama dia tidak keluar rumah dan rasanya sangat luar biasa bisa kembali seperti itu. Seolah alam adalah habibat aslinya. Ajeng merasa bebas. Senyumnya mengembang ketika mengingat hampir semua masalahnya telah teratasi.
Tapi dia tidak bisa berlama-lama berada di jalanan ketika dia sampai di sawah besar yang terhubung dengan sawah milik keluarganya dan menjadi jalannya untuk menemui sang ayah. Dari sana, Ajeng tidak bisa mengayuh lagi sepedanya dan harus rela berjalan kaki di antara petak-petak sawah yang basah dan licin. Ajeng harus berhati-hati dalam melangkah atau dirinya akan terpeleset dan tercebur ke lumpur.
Ketika akhirnya Ajeng dapat melihat Rama, dia segera melambaikan tangannya tinggi dan berteriak sekeras yang ia bisa. "Ayah!" Tapi Rama tidak mendengarnya karena pria itu tidak berbalik badan untuk membalas lambaian Ajeng. Tidak heran memang, jarak Ajeng dengan sang ayah masih sangat jauh. Jadi Ajeng segera mempercepat langkahnya untuk menghampiri sang ayah yang ternyata tengah mengobrol dengan seorang pria yang kebetulan sawahnya berada tak jauh dari sawah Rama.
Ajeng sebenarnya ingin menunggu sampai dua pria itu selesai berbicara kemudian barulah dia akan menyapa, tapi tetangganya itu sudah lebih dulu melihatnya. "Eh, Ajeng..."
"Siang, om," Ajeng berjalan mendekat tepat ketika Rama berbalik badan. "Siang, Yah."
"Tumben kamu kesini?" tanya Rama.
"Bosan di rumah gak ngapa-ngapain. Jadi aku mikir lebih baik kesini."
Rama manggut-manggut.
"Oh... Ajeng ini sudah lulus ya sekarang?" Pria yang bernama Mamat bertanya.
"Belum om, masih menunggu pengumuman."
"Ah pasti lulus, tenang saja," kata Pak Mamat yakin, seolah dialah yang menentukan kelulusan bagi para siswa di sekolah Ajeng. Mendengar hal itu, Ajeng hanya tersenyum, anggap saja begitu. Lagipula tidak akan ada bedanya bagi Ajeng lulus atau tidak.
"Setelah pengumuman nanti, nak Ajeng mau kuliah di mana? Di Jakarta juga seperti anaknya Bu Hesti?"
Bu Hesti memiliki seorang anak yang kebetulan seangkatan dengan Ajeng, Ajeng pun mengenal anak Bu Hesti tersebut dan juga tahu bahwa setelah lulus anak Bu Hesti itu akan melanjutkan pendidikannya di Jakarta. "Enggak om. Saya gak bakal kuliah."
"Lho, kenapa toh?!"
Mata Ajeng melirik ayahnya yang ternyata tengah menatapnya balik. Ajeng kira Rama akan memberikan kode untuk Ajeng tutup mulut saja alih-alih menjawab pertanyaan Pak Mamat, tapi Rama tidak melakukan hal seperti itu, malahan Rama mengangkat kedua alisnya seolah dia juga tengah menunggu jawaban dari Ajeng.
"Saya ... mau nikah om," setelah itu Ajeng langsung menunduk. Dia terlalu malu untuk mengetahui reaksi dari Rama dan Pak Mamat sebagai tanggapan untuk kalimatnya barusan.
"Oalah... gitu toh."
Pak Mamat hanya mengangguk dan tidak ada lagi pertanyaan. Menikah di usia muda seperti Ajeng di kampung ini bukanlah hal yang mengejutkan, jadi Pak Mamat mengerti. Lagipula, bagi orang seperti Pak Mamat, menikah muda dianggap lebih baik daripada terus-terusan pacaran tanpa kepastian dan akhirnya malah putus. Menikah juga dianggap lebih baik karena bisa menghindarkan kedua belah pihak dari hal-hal yang bisa membuat malu seperti hamil di luar nikah. Kalau sudah menikah kan beda, pasangan tersebut bisa melakukan apapun yang mereka inginkan tanpa takut dosa atau malu karena sudah sah di mata agama dan hukum.
Beberapa saat kemudian, Pak Mamat pun pergi. Ajeng hendak mengajak ayahnya makan bersama ketika dia melihat senyuman tipis sang ayah yang cukup membuatnya heran.
"Kenapa yah, kok senyum-senyum?"
"Ayah cuma gak nyangka kamu bakal jawab begitu tadi, ayah pikir kamu bakal cari alasan lain."
"Memangnya gak boleh Ajeng menjawab seperti itu tadi?" tanya Ajeng takut-takut.
"Boleh, seenggaknya dengan begitu ayah jadi tahu kalau kamu serius mau menikah dan gak cuma main-main."
Ajeng jadi ikut-ikutan tersenyum. Baginya, pemikiran sang ayah lucu karena sejak awal, Ajeng tidak sedikitpun bercanda ingin menikah dengan Alan. Malahan, akan sangat aneh namanya kalau Ajeng tidak mau menikah dengan Alan, mengingat saat ini dirinya sedang hamil.
>>>>
Sementara itu, Retno di rumah, tengah sibuk mencari gunting kesana kemari untuk ia gunakan. Sudah dari tadi dia mencari tapi gunting tersebut tak kunjung ketemu. Padahal biasanya gunting itu dengan mudah terlihat ketika tidak sedang dibutuhkan, namun kini, saat sedang diperlukan, malah menghilang entah kemana.
Retno telah memeriksa hampir semua ruangan di rumahnya, tapi gunting itu tidak juga ia temukan. Tadi, seharusnya Retno bertanya pada Ajeng sebelum gadis itu pergi, siapa tahu Ajeng tahu tentang keberadaan gunting itu. Tapi sekarang sudah terlambat, Retno harus mencari gunting itu sendirian.
"Apa di kamar Ajeng ya?" Retno bertanya-tanya karena hanya kamar Ajeng lah yang belum dia periksa. "Tapi kan Ajeng tidak suka kalau ada orang yang masuk ke kamarnya sembarangan." Hal ini benar sekali, dan Retno merasa risih hendak memasuki ruang pribadi anaknya tersebut apalagi ketika Ajeng sedang tidak ada di rumah. Ah, tapi kan lihat-lihat sebentar saja, kalau guntingnya tidak ada keluar lagi, pikir Retno yang pada akhirnya masuk ke kamar Ajeng.
Seperti biasa, kamar Ajeng bersih dan rapi, tidak ada benda atau barang-barang yang berserakan di lantai, lantainya juga bersinar tertimpa cahaya matahari dari jendela yang terbuka pertanda bahwa lantai tersebut rajin di sapu dan di pel. Buku-buku dan pakaian, semuanya berada di tempatnya masing-masing. Retno merasa bangga karena ajaran pada putrinya untuk menjaga kebersihan sejak kecil bertahan hingga sekarang.
Retno mencari gunting di meja belajar Ajeng, laci meja belajar dan lemari kecil tempat Ajeng menyimpan beberapa barang-barangnya, tapi ternyata ia tidak menemukan gunting di sana. Maka beranjak lah Retno ke lemari pakaian Ajeng dengan harapan dia akan menemukan gunting di sana, kalau tidak, Retno benar-benar akan merasa sangat pusing tujuh keliling karena bingung harus mencari kemana lagi gunting itu.
Beruntungnya, gunting yang Retno cari-cari ternyata ada di dalam lemari Ajeng, tepat di atas tumpukan pakaian yang terlipat. Lemari telah hendak Retno tutup kembali ketika tiba-tiba saja, Retno melihat sebuah kantong yang familiar baginya terjepit di antara pakaian Ajeng, seolah, kantong itu tengah disembunyikan.
Kantong tersebut berwarna putih dan memiliki logo khas apotek tempat biasanya Retno membeli obat. Retno berpikir, Ajeng menyembunyikan kantong tersebut karena kantong itu berisi obat-obatan dan saat ini Ajeng ternyata sedang sakit, tapi dia tidak mau memberitahukan Retno, namun ternyata kantong itu bukannya berisi obat malah berisi hal lain yang mengejutkan dan benar-benar membuat Retno takut.
Tespek yang menunjukkan dua garis merah.
Untuk apa Ajeng memiliki benda ini?
Apakah dia hamil?Retno langsung menggelengkan kepalanya dan meyakinkan dirinya bahwa Ajeng tidak mungkin seperti itu. Ajeng anak baik. Dia tidak akan pernah melakukan hal di luar batas dan alhasil mengecewakan kedua orang tuanya. Lalu milik siapa tespek tersebut? Mungkin teman atau orang lain, tidak mungkin milik Ajeng. Ya, tidak mungkin. Retno meyakinkan dirinya sendiri bahkan walaupun hati kecilnya tidak bisa begitu.
>>>>>
Uhuk, ketahuan dah tuh•́ ‿ ,•̀
Betewe, kali ini saya tidak terlambat update nya ehe(◕દ◕)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku
Teen FictionTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...