Ini Chapter 43

78 2 4
                                    

Ajeng menekan  hijau di layar ponselnya dan untuk beberapa detik setelah itu, dia menahan napasnya, lantaran terlalu gugup. Begitu panggilannya di jawab, mata Ajeng melebar seolah tak menyangka orang yang di teleponnya akan mengangkatnya.

"Halo? Ini … Ajeng kan?"

Suara seorang wanita yang sudah lama Ajeng rindukan terdengar, membuatnya sadar dan pelan-pelan dia menghembuskan napasnya sebelum menyahut, "Iya, bu, ini Ajeng."

"Oh… ibu kirain siapa tadi yang nelpon. Ada apa toh kamu tumben-tumbenan nelpon?"

Alih-alih menjawab, Ajeng malah bertanya balik. "Gimana kabar ibu sama bapak di kampung, sehat-sehat kan? Penyakit Ibu gak pernah kumat kan?"

"Ibu sudah tua, jadi gak heran kalau jadi sering sakit-sakitan. Kalau bapakmu, dia alhamdulilah sehat terus kok. Masih rajin ke sawah hampir tiap hari."

Senyum Ajeng terbit mendengar ucapan Retno. Sudah sangat lama sejak terakhir kali Ajeng mendengar kabar tentang orang tuanya. Ajeng yang semula tak pernah jauh dari orang tuanya barang sehari, kini tinggal jauh untuk waktu yang akan sangat lama dan baru berbincang-bincang dengan ibunya setelah sekian lama.

"Kamu sendiri gimana keadaannya? Maafin ibu sama bapak ya, yang gak pernah nelpon kamu. Bahkan saat kamu pindah ke Jakarta kami gak nganter," kata Retno penuh penyesalan.

"Ajeng ngerti bu, waktu itu kan…" Ajeng tiba-tiba mengingat fakta bahwa dia tidak seharusnya membicarakan sesuatu yang membawa luka bagi dirinya sendiri dan orang tuanya di masa lalu. Yang lalu biarlah berlalu. Sebaiknya dia fokus saja pada tujuan utamanya menghubungi Ibunya. "Maaf, bu… sebenarnya alasan aku nelpon ibu karena…."

"Iya, karena apa?" tanya Retno sabar, ketika Ajeng mendadak berhenti bicara.

"Aku sebenarnya mau pinjam uang sama ibu dan bapak." Setelah mengungkapkan sebab musabab dirinya menelpon, Ajeng memejamkan matanya rapat-rapat, dan bibirnya, ia gigit kuat-kuat. Ajeng terlalu gugup dan malu. Walaupun dengan ibu kandungnya sendiri, Ajeng tetap saja tak dapat menahan perasaan tidak enak hati itu untuk muncul. 

"Kamu butuh berapa?"

"20 juta," jawab Ajeng dengan ragu. Lalu kedua matanya kembali memejam rapat-rapat, seolah-olah dengan begitu kalimatnya barusan berubah jadi lebih baik.

"Ya ampun Ajeng... buat apa?"

Jawaban untuk pertanyaan ini telah disiapkan karena Ajeng telah menduganya, jadi mudah baginya untuk menjawab, kendatipun, caranya menyahut kedengaran tidak percaya diri. "Sebenarnya uang itu untuk kebutuhan sehari-hari ku bu dan juga buat biaya bersalin ku nanti, tapi, Ajeng sudah bicara sama Alan dan dia janji akan segera mengganti uang itu sesegera mungkin. Tolong bu, bantu Ajeng, ya?"

Bohong, uang pinjaman itu nantinya apabila Ajeng dapatkan, akan ia gunakan untuk membayar hutang Alan pada rentenir yang tempo hari datang ke rumah. Dan walaupun Ajeng sadar bahwa uang dua puluh juta itu bukanlah jumlah yang sedikit dan bagi orang tuanya uang sebanyak itu akan sulit untuk di dapatkan, Ajeng tetapi meminta. Apabila kali ini Ajeng tidak mendapatkan pinjaman dari ibu dan bapaknya maka kemungkinan besar, Ajeng akan mengambil pinjaman di bank.

"Barusan ibu sedang memeriksa rekening…" Ajeng terkesiap mendengar suara Retno setelah lama diam. Jantungnya berdegup kencang menunggu kelanjutan ucapan Sang Ibu. "Ibu dan bapak punya uang segitu, bahkan lebih, tapi uang itu sebenarnya uang tabungan buatmu kuliah, sekarang ibu yang nanya balik ke kamu, kamu memangnya gak ada rencana buat kuliah tahun depan? Kalau enggak ya tidak apa-apa kalau kamu mau pakai uang ini sekarang."

Tahun depan? Kuliah? Saat itu berarti Ajeng sudah melahirkan dan bukankah terdengar sangat tidak mungkin untuk melakukan kegiatan lain selain mengurus si bayi ? Apabila ditanya Ajeng ingin kuliah atau tidak, maka jawaban Ajeng pasti mau, tapi keadaan lah yang tidak mengizinkan. Ajeng telah menyadari hal ini sejak lama, namun tetap saja sedih setiap kali mengingatnya.

"Aku gak ada rencana buat kuliah bu, jadi, uangnya mau kupake buat keperluan rumah tangga aja, gak papa kan bu?"

"Kalau kamu memang butuh ya nggak papa. Nanti uangnya ibu transfer ya?"

"Iya, bu, makasih ya."

"Selain untuk kuliahmu, uang itu ibu dan bapakmu tabung juga untuk kebutuhanmu yang mendesak. Mungkin sekarang lah waktu mendesak itu. Jadi kamu gak perlu berterima kasih, karena itu sejak lama memang sudah hakmu."

Seandainya Retno tahu bahwa uang itu nantinya bukan untuk keperluan mendesak Ajeng, tapi Alan, mungkin Retno tidak akan mengizinkan Ajeng menggunakannya. Tapi kini Ajeng telah menikah dengan Alan dan berdasarkan apa yang ia amati di lingkungannya dulu, masalah seorang suami juga telah menjadi masalah si istri begitu juga sebaliknya ketika mereka telah menikah, jadi hutang piutang Alan telah termasuk ke dalam hutang Ajeng juga, jadi Ajeng merasa perlu untuk membantu Alan membayar hutang tersebut, terlebih lagi setelah tahu alasan Alan meminjam uang karena biaya kuliah yang diberikan oleh sang ayah kurang. Tentu saja Ajeng tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya kepada Retno karena takut sang ibu akan memarahinya dan lagi, Ajeng juga tidak mau orang tuanya sampai mengetahui bahwa kehidupan rumah tangga anaknya tidak begitu baik dan mereka menyesal melepas Ajeng menikah dengan Alan.

Ajeng berjanji, kedepannya, orang tuanya di kampung hanya boleh tahu hal-hal baik tentang kehidupan putri mereka di Jakarta, hal-hal buruk tidak boleh sama sekali.

>>>

"Uang ini Lan, kamu gunakan untuk bayar hutan kamu ke rentenir. Setelah itu, aku mohon janji sama aku berhenti buat minjam uang sama lintah darat kayak mereka."

"Iya sayang. Aku janji ini terakhir kalinya aku minjam uang," janji Alan dengan mudahnya, matanya berbinar-binar menerima bungkus coklat berisi uang dari Ajeng. Sambil tersenyum senang, lelaki itu mengecek isi bungkus coklat itu, dan menghitung jumlah uang yang ada di dalamnya. Hasilnya, pas, uang yang Ajeng berikan sangat pas untuk membayar hutang Alan kepada rentenir.

"Makasih ya sayang, kamu udah mau nolongin aku. Aku senang banget. Dengan begitu, sekarang aku bisa hidup tenang tanpa perlu mikirin pinjaman lagi."

"Aku juga senang bisa bantu kamu," kata Ajeng.

Sepasang suami istri itu kemudian berpelukan dengan hangat. Bagi Alan, pelukan ini adalah sebuah tanda bahwa dia sangat amat bersyukur dengan bantuan yang Ajeng berikan untuknya sedangkan Ajeng, dengan pelukan ini berharap Alan akan benar-benar akan menepati janjinya dan tak mengingkarinya.

>>>
To be continued....

Kamu bilang, kamu cinta sama akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang