Tiga hari kemudian, Alan dan orang tuanya datang bertandang ke rumah Ajeng untuk membicarakan tentang anak-anak mereka yang telah menyebabkan masalah besar yang sulit untuk diatasi.
Sejak awal pertemuan, orang tua Ajeng bisa dibilang sangatlah dingin menanggapi segala macam basa basi orang tua Alan yang menurut Ajeng kelewat ramah. Orang tua Alan ini terlihat tidak sedang menghadapi masalah serius. Berbeda sekali dengan orang tua Ajeng yang terus menerus cemberut.
"Seharusnya kita semua bertemu di waktu dan tempat yang lebih baik, tapi karena ada masalah rumit maka hal tersebut tidak bisa terjadi." Itu adalah Tomo, Papa Alan yang senyumnya paling cerah di antara semua orang. "Masalah ini terjadi karena sepertinya saya dan mantan istri kurang dalam memberikan pendidikan moral pada Alan sehingga dia bisa mengajak Ajeng melakukan sesuatu yang amoral. Saya pribadi dan mantan istri meminta maaf untuk hal itu."
"Bagus kalau kalian sadar akan hal itu. Kami sebagai orang tua Ajeng, benar-benar tidak terima dengan apa yang menimpanya," Retno segera angkat bicara, kentara sekali masih emosi. "Kalau kami tinggal di kota besar seperti Jakarta mungkin hal ini tidak akan jadi masalah yang besar, tapi ini kampung, kami akan mendapat sanksi yang sangat berat kalau kehamilan Ajeng di ketahui oleh orang di sini. Itulah kenapa kami ingin kalian kemari agar kita bisa segera membahas tentang pernikahan mereka."
Orang tua Alan tidak langsung menanggapi, mereka saling melirik satu sama lain sebelum akhirnya Tomo memberi isyarat dengan gerakan dagu agar sang mantan istrilah yang berbicara.
"Bu, saya tahu ini masalah serius, tapi sepertinya pernikahan bukan solusi deh," kata Liana, Mama Alan yang mana, pendapatnya mengejutkan semua orang kecuali Tomo.
"Maksudnya Ajeng dan Alan tidak perlu menikah terus Ajeng menanggung malu atas kehamilannya sendirian begitu?!" tanya Retno emosi.
"Bukan gitu bu, jangan terlalu cepat emosi dong, saya cuma mau bilang kalau anak-anak kita masih muda lho. Di usia sekarang ini mereka seharusnya kuliah dan mengejar cita-cita mereka. Pernikahan itu hal sulit kita dan sama-sama tahu, jadi kenapa kita membebani anak-anak kita dengan hal sulit dan tidak sesuai dengan usia mereka?"
Sebagai seorang ibu sekaligus istri, Retno tentu tahu maksud Liana, tapi jika bukan dengan pernikahan maka bagaimana masalah Ajeng ini akan terselesaikan?
Liana sepertinya dapat menangkap kebingungan yang Retno dan keluarganya rasakan gara-gara apa yang dikatakannya tadi itulah mengapa tanpa ditanya Liana dengan senang berbagi solusi yang dipikirnya dapat menyelesaikan masalah di keluarga mereka.
"Ajeng dan Alan tidak perlu menikah, mereka bisa tetap lanjut kuliah, berpacaran, dan menjalani kehidupan seperti anak-anak seusia mereka. Bagaimana caranya? Caranya adalah, Ajeng harus menggugurkan kandungannya."
Awalnya, jujur saja melihat bagaimana cara Liana yang tenang berbicara pada Retno, Ajeng cukup kagum padanya dan berpikir Mama Alan ini memiliki rencana lain yang sangat brilian untuk masalahnya, tapi setelah mendengar rencananya secara langsung, Ajeng segera menyesali rasa kagumnya.
Solusi macam apa itu?
Sementara yang lain masih terlalu syok, Ajeng sudah berbicara, "Tante mau saya jadi pembunuh dan ngebunuh anak saya sendiri?"
Istilah pembunuh terdengar tidak bisa diterima di telinga Liana, dia mengernyit dan berpikir bahwa dirinya hanya memberi saran terbaik, bukan apa yang Ajeng katakan maksudnya, tapi Liana juga tidak memiliki kata lain yang cocok untuk mendeskripsikan pengertian dari hal yang ia sarankan pada Ajeng.
"Ajeng, jangan terlalu berlebihan. Ini demi masa depanmu sendiri. Kamu katanya jago melukis kan? Kalau kamu hamil dan gak lanjut kuliah terus belajar tentang seni sebaik mungkin, bakat kamu bakal sia-sia. Kamu mau seperti itu?"
"Tanpa kuliah saya yakin saya bisa tetap mengembangkan bakat melukis saya, jadi pemikiran untuk menggugurkan kandungan saya sepertinya tidak perlu dilakukan."
Mama Alan itu menghela nafasnya, Liana sadar betul bahwa tekad Ajeng untuk menikah sudah bulat dan sulit untuk mempengaruhinya. "Kuliah itu penting untuk menunjang masa depanmu Ajeng, kalau kamu tidak mengugurkan kandunganmu kamu harus menikah dengan Alan dan kemudian sibuk mengurus Alan dan anak kalian nanti. Tante takut kamu menyesal nanti."
"Saya gak akan menyesal tante, saya jamin itu."
Tidak ada jalan lain lagi kalau begitu, Liana sadar akan hal tersebut. Dia akhirnya menyerah dan mengiyakan saja ide pernikahan Alan dan Ajeng dengan harapan bahwa di masa depan semuanya akan baik-baik saja bagi mereka.
>>>>
Lumayan tegang chapter ini tuh(╯︵╰,)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku
Teen FictionTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...