Retno menelepon Rama dan menyuruh sang suami dan anak mereka Ajeng untuk segera pulang ke rumah, katanya, ada hal penting yang perlu untuk dibicarakan. Dalam otaknya, Rama maupun Ajeng benar-benar tidak punya petunjuk tentang apa yang akan Retno bicarakan sehingga menyuruh mereka pulang cepat. Padahal saat itu, Ajeng dan Rama bahkan belum sempat makan siang.
Retno ada di ruang tamu begitu Ajeng dan Rama tiba di rumah. Wanita itu tengah melamun dan tidak sadar bahwa suami dan anaknya sudah ada di ruangan yang sama dengannya. Barulah ketika Rama mengelus pundaknya dan menyebut namanya, Retno tersadar dari lamunannya. Ia menghela nafas melihat suaminya.
"Kenapa, kok lesu begitu? Kamu lagi sakit?" tanya Rama.
Dalam diamnya Ajeng memperhatikan interaksi kedua orang tuanya dari sofa seberang mereka sambil bersandar. Saat Retno menggeleng dan alih-alih menjawab pertanyaan Rama, Retno malah menatap Ajeng yang tidak mengerti apa-apa.
"Kenapa bu? Ibu butuh bantuan Ajeng?" Sigap Ajeng bertanya.
"Tidak," kata Retno sendu. "Ibu mau nanya sesuatu sama kamu."
Ajeng menegakkan badannya, tahu bahwa apapun yang ingin Retno tanyakan pastilah hal penting. "Tanya aja bu."
Sebenarnya Retno takut sekali menanyakan hal itu pada Ajeng karena bisa saja dugaannya salah dan Ajeng tidak hamil, tapi jika tidak bertanya langsung pada Ajeng, maka bagaimana caranya Retno akan mengetahui alasan sebuah tespek ada di kamar Ajeng?
"Kamu hamil?"
Senyap. Pertanyaan Retno sangatlah tidak terduga. Rama termangu mendengarnya sedang Ajeng langsung syok, dalam waktu singkat dia sudah dibuat ketakutan setengah mati dan hal itu membuat jantungnya berdegup kencang sekali. Apa yang dia takutkan akhirnya terjadi.
"Bu aku…" begitu takutnya Ajeng hingga tangannya gemetar dan dia kesulitan menyelesaikan kalimatnya.
"Ibu menemukan tespek di kamar kamu? Tespek itu bukan punyamu kan?"
Ajeng memejamkan matanya rapat, menyesal karena tidak membuang tespek itu sesaat setelah ia gunakan dan Retno atau siapapun tidak akan bisa menemukannya. Lagipula, tespek tersebut tidak bisa lagi digunakan, tapi saat itu Ajeng terlalu pusing sehingga tidak bisa berpikir panjang. Dia tidak pernah menduga Retno akan masuk ke kamarnya dan entah bagaimana menemukan tespek itu.
"Sebenarnya tespek itu…." Ajeng sudah siap mengeluarkan kebohongannya namun dia tiba-tiba saja berpikir bahwa mungkin hari ini adalah saat yang paling tepat untuk memberitahu orang tuanya tentang kehamilannya. Jadi, alih-alih membual tentang alasan keberadaan tespek itu di kamarnya, Ajeng menarik napas yang panjang dan akhirnya mengatakan yang sebenarnya. "Iya, bu, aku yang pakai tespek itu dan sekarang aku sedang… hamil."
"Astaghfirullah, Ajeng."
Retno memejamkan matanya dengan rapat seolah dia tidak mampu menghadapi kenyataan berat yang kini ada di hadapannya. Dugaannya ternyata benar. Ajeng, putri tunggal yang telah ia rawat sejak kecil telah menghancurkan kepercayaannya dan di saat yang sama mencoreng kehormatan keluarganya. Kira-kira dosa apa yang telah dilakukannya sehingga Tuhan menghukumnya dengan cara seperti ini? Retno bertanya-tanya."Maafin Ajeng, bu, yah," kata Ajeng yang menunduk. "Ajeng tahu kalian kecewa, tapi semuanya sudah terlanjur dan tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menerima."
"Kamu pikir dengan begitu masalahnya ini jadi terselesaikan? Tentu tidak. Kamu sudah melukai harga diri kami Ajeng, dan begitu orang di luar rumah mengetahuinya, maka kami tidak akan punya muka lagi di depan mereka. Semuanya akan mencemooh keluarga kita. Semuanya akan berpikir kami gagal menjadi jadi orang tua dan semua itu gara-gara kamu!"
Sungguh menyakitkan bagi Ajeng mendengar luapan kemarahan sang ibu yang selama ini padahal tidak pernah menegur dengan suara keras untuk kesalahan apapun yang Ajeng perbuat. Lebih menyedihkan lagi karena seolah-olah yang melakukan kesalahan di sini hanyalah Ajeng seorang diri, pihak lain seperti Alan tidak disebut-sebut.
"Tapi bu …."
"Tapi apalagi Ajeng?!" Retno tidak habis pikir, putrinya itu masih bisa melawan setelah kesalahan yang dia lakukan terungkap. Seharusnya dia diam saja. Karena bukankah dia telah puas melakukan apapun yang dia inginkan? Maka sekarang dia harus juga siap mendengarkan segala keluh kesah Retno. "Kamu ini gak malu apa? Kelakuanmu ini sangat memalukan dan bisa-bisanya kamu dengan gampangnya tadi meminta kami untuk menerima? Seandainya yang kena getahnya hanya kamu sendirian tidak masalah, tapi nyatanya tidak seperti itu. Ibu dan ayah juga pasti kena akibatnya kalau begini keadaannya."
"J-jadi… Ajeng harus gimana bu?" tanya Ajeng terbata-bata. Pertahanannya sudah hampir tumbang, sedikit lagi dia disudutkan maka Ajeng tidak akan bisa menahan diri lagi dan dia akan menangis sejadi-jadinya.
Retno mendengus sebelum menjawab dengan ketus. "Kamu seharusnya tahu jawaban dari pertanyaanmu itu sebelum kamu melakukan hal memalukan itu."
Ajeng tidak mampu lagi menanggung rasa sakit di dadanya dan akhirnya menangis. Retno seharusnya tahu bahwa Ajeng pun tidak ingin melakukan hal yang memalukan tersebut dan mempermalukan keluarganya, tapi dia di paksa atas nama cinta dan tidak dapat menolaknya. Seharusnya Ajeng memberitahukan semua itu pada ayah dan ibunya saat itu juga, tapi tidak, dadanya terlalu sesak sehingga dia kesulitan untuk berbicara. Tangisnya tak ada henti-hentinya terdengar namun Retno atau Rama tak satupun yang merasa iba. Mereka memilih masuk ke kamar dan meninggalkan Ajeng menangis pilu sendirian di ruangan yang disebut sebagai ruang keluarga itu.
>>>>>
(。•́︿•̀。)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku
Teen FictionTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...