Ajeng meletakkan selebaran uang lima ribu rupiah di dalam sebuah kotak kecil kemudian memasukkan ke dalam tasnya pulpen yang baru saja ia beli di kantin kejujuran sekolahnya. Tidak ada seorangpun yang berjaga di kantin itu karena dari namanya saja, para siswa di harap dapat bersikap jujur ketika membeli sesuatu di kantin ini. Setelah ini, Ajeng akan langsung ke kelasnya dan bersiap untuk mata pelajaran jam pertama yang akan di mulai beberapa saat lagi. Ketika dia hendak keluar dari ruang kantin yang sepi, Ajeng bertemu dengan Mika yang sepertinya akan membeli sesuatu.
"Pagi Mika. Mau beli apa?"
"Pulpen," Mika menjawab sembari melangkah menuju rak di mana pulpen dan alat belajar lainnya berada. Dia mengambil sebuah pulpen lalu meletakkan uang yang sesuai dengan harga pulpen di tempat yang sama di mana tadi Ajeng meletakkan uangnya.
Begitu Mika selesai, Ajeng tersenyum puas karena itu artinya dia akan kembali ke kelas dengan seorang teman. Tidak sendirian saja. Dan memang itulah yang terjadi, Ajeng dan Mika berjalan keluar dari kantin sambil berbicara pada satu sama lain. Awalnya hanya tentang Milka yang mereka bicarakan lalu kemudian pembicaraan itu melenceng ke arah lain.
"Milka dimarahi ibu tadi malam," beritahu Mika yang mana sedikit membuat Ajeng terkejut.
"Lho... kenapa?"
"Gara-gara kelakuannya. Seperti biasa," sahut Mika. Kelakuan yang di maksud di sini adalah hal-hal yang dilakukan Milka yang tidak sesuai dengan peraturan keluarganya seperti mewarnai rambut. "Aku benar-benar pusing mikirin gimana caranya supaya dia mau berubah dan gak ikut-ikutan trend lagi. Seenggaknya jadi kayak kamu... tapi susah. Awalnya aku kasihan kalau dia marahin sama ibu, tapi lama kelamaan aku ikutan marah juga sama dia kalau terus-terusan begitu."
Pemikiran setiap orangtua di kampung ini sepertinya semuanya sama, dan biasanya pemikiran mereka-bahwa anak nakal itu yang suka mewarnai rambutnya dan semacamnya- akan menurun kepada anak mereka seperti ibu Mika kepada Mika. Ajeng tidak merasa heran, hanya saja, dia tidak menduga Mika akan menyampaikan hal ini secara terang-terangan kepadanya. Mungkinkah Mika berpikir Ajeng berada di pihaknya?
"Milka cuma penasaran saja."
"Dia ikut-ikutan. Sekarang mungkin baru ikut-ikutan mewarnai rambut, takutnya nanti dia juga ikut-ikutan hal buruk lain."
"Amit-amit," Ajeng spontan berucap, namun dalam hati dia tetap percaya bahwa sahabatnya itu tidak akan terjerumus hal negatif yang merugikan diri sendiri. "Kamu harus percaya sama dia Mik. Dan kamu jangan ikut ikut marah ke dia kayak ibumu. Kasih tahu dia pelan-pelan Mik."
"Iya, Ajeng. Makasih sudah mau dengerin ceritaku."
"Sama-sama. Itulah gunanya seorang sahabat... ya kan?"
Sebagai jawaban Mika memberikan Ajeng senyuman terbaiknya. Ya mereka bersahabat. Kadang-kadang Mika menyukai kata itu karena dengan begitu dirinya dan Ajeng bisa berbagi banyak cerita, tapi di lain waktu Mika membenci kata tersebut karena kata itu seolah menjadi benteng yang membatasi Mika untuk mendekati Ajeng lebih jauh.
"Ngomong-ngomong Ajeng... kamu sama si anak baru itu gimana? Masih temenan?" Mika sangat penasaran dengan hal satu ini. Sudah cukup lama dia mengawasi dan sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya pada Ajeng.
"Siapa maksudmu. Alan?"
"Ya itu."
Mika merasa enggan menyebutkan nama orang itu. Entah kenapa."Oh iya... kita masih temenan. Sekarang makin deket."
Mika tidak pernah mau mendengar kalimat terakhir Ajeng, tapi dia tidak mengatakannya. "Gimana menurutmu tentang dia?"
"Ya ampun dia baik banget tahu."
"Oiya? Dia gak pernah pengaruhin kamu hal-hal negatif kan?"
Dahi Ajeng berkerut dan dia pun menggeleng. "Ngomong apa sih kamu? Alan gak akan begitu lah."
"Baguslah kalau begitu." Mika mengangguk beberapa kali. "Tapi walaupun begitu... menurutku kamu jangan terlalu dekat sama dia."
"Kenapa?"
"Dia itu menurut informasi yang kudapat dipindahkan karena kelakuan nakalnya pas di Jakarta. Aku takut nantinya kamu dipengaruhi hal-hal negatif sama si anak baru itu."
Ajeng berhenti melangkah, begitu pun Mika. Mereka kini berdiri di tengah-tengah koridor dan memasuki pembicaraan yang serius.
"Kamu dapat informasi itu darimana? Siapapun yang ngasih kamu informasi itu pasti salah, karena Alan gak begitu."
"Kenapa kamu yakin banget dia gak seperti itu, padahal kamu baru kenal sama dia?"
"Karena..." Ajeng ingin menjawab dengan cepat pertanyaan dari Mika, tapi dia tidak tahu harus menjawab apa dan Mika melihat reaksi Ajeng yang satu ini.
"Kamu aja tahu alasannya. Dia itu baik di depanmu doang, di belakangmu dia gak sebaik itu."
Tiba-tiba saja napas Ajeng memburu dan jantungnya berdegup kencang. Ada perasaan tidak rela yang teramat sangat untuk menerima ucapan Mika. Entah itu benar atau tidak, pokoknya Ajeng tidak mau menerimanya. Karena Alan yang selama ini dekat dengannya sangat baik dan dibelakangnya harus seperti itu juga.
"Jangan ngomong sembarangan Mika. Gak baik kamu nuduh oranglain seperti itu. Kalau kamu ngomong begitu, seharusnya kamu harus punya bukti."
"Aku akan cari buktinya nanti. Tapi untuk sekarang kamu jauhin Alan dulu."
"Gak mau!" Volume suara Ajeng meninggi. Alis Mika
terangkat mendengarnya lantaran tak terbiasa dengan sikap Ajeng yang keras kepala. "Bahkan kalaupun Alan itu anak nakal seperti yang kamu bilang tadi, aku gak mau jauhin dia. Selama dia baik sama aku, aku gak akan pernah jauhin dia. Kamu jangan pengaruhi aku lagi untuk jauhin Alan, karena kamu gak punya hak apapun untuk melakukan itu. Ngerti?"Begitu Ajeng selesai dengan ucapannya, dia lantas pergi tanpa mendengarkan apa yang ingin Mika sampaikan. Lebih tepatnya, Ajeng tidak mau mendengarnya.
Sedangkan Mika, benar-benar terkejut dengan apa yang Ajeng katakan. Mika tidak pernah mengira sebegitu inginnya Ajeng untuk tetap dekat dengan Alan sehingga dia tidak mendengar apapun penjelasan Mika. Itu benar-benar seperti bukan Ajeng, karena Ajeng yang biasanya tidak akan membela oranglain dan melawan sahabatnya sendiri, apalagi orang itu baru saja dia kenal. Kecuali kalau Ajeng... menyukai Alan.
Mika memejamkan matanya rapat, dia membenci pikirannya sendiri.
><
Ajeng change up let's go!!!!!🤡
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu bilang, kamu cinta sama aku
Roman pour AdolescentsTW // 18+ physical violence, bullying, harsh word, drugs. "Ya Alan, aku cinta sama kamu, gimana caranya untuk membuktikan hal itu?" tanya Ajeng dengan berat hati pada akhirnya. "Seks." Ajeng tidak tahu apakah seharusnya ia menuruti keinginan Alan ma...