ZFD | CH-01

16.6K 1.4K 68
                                    

Semenjak pagi-pagi buta anak laki-laki hebat ini sudah bangun dan membersihkan rumah sederhana yang ditinggalinya.

Menyapu, mencuci piring, mencuci baju, jadwal pelajaran, mengerjakan PR, semua sudah Zai kerjakan.

Rumah sederhana yang tersembunyi dibelakang rumah megah keluarga Gustiwana.

Sejak tiga menit yang lalu, Zai terus menatap nasi dihadapannya tanpa pergerakan. Satu helaan nafas terdengar disunyinya rumah sederhana Zairo.

Jari telunjuknya menekan nasi itu. "Padahal baru kemarin minta nasinya, masak udah keras."

Padahal, Zai berniat membawa nasi kesekolah. Dan untuk lauknya, mungkin Zai akan membeli sosis atau dengan bakwan jualannya.

Zai ingin menghemat uang, Zai ingin membeli sepatu baru. Hanya ingin. Sepatu Zai masih bagus dan layak, hanya saja kemarin teman sekelasnya memamerkan sepatu baru, dan Zai juga menginginkannya. Tapi, jika Zai meminta uang lagi kepada ibu dan bapaknya diluar negri, ada rasa tak tega dihati seorang Zairo.

Membayangkan keringat menetes melewati pelipis kedua orang tuanya saja Zai merasa tak tega. Zai akan hidup mandiri sampai ibu dan bapaknya kembali ke Indonesia.

Itu yang Zai tau.

Otak Zai menemukan sebuah ide, laki-laki kecil itu berjalan menuju kamar mandi dan mengambil satu gayung air.

"Kalo dikasih air lagi bisa empuk, kan?"

Zai memindahkan nasi didalam Tupperware kedalam gayung. Mengaduknya dan membiarkan nasi itu terendam air.

Kedua kaki kecil Zairo mengayun kedalam kamar mandi. Mengambil ember kecil berisi satu baju, celana, dan satu dalaman yang baru saja ia cuci setelah mandi tadi.

Zai kembali mengayunkan kakinya keluar rumah untuk menjemur pakaiannya, dan mengambil pakaian dan seragamnya yang sudah kering.

***

Disisi lain dalam waktu yang sama, dikediaman megah Gustiwana, seorang anak laki-laki masih terlelap dibawah selimut tebalnya yang hangat.

'Gasta Anugrah Gustiwana' Si bungsu kesayangan seluruh keluarga. Mereka selalu memanjakan Gasta, overprotektif sudah pasti.

Gasta adalah anak yang lahir empat tahun lebih muda dari Zai.

"Sayang, bangun," Usapan lembut dipipi membuat Gasta sedikit terusik. Karla, wanita itu terkekeh melihat respon si bungsu.

Gasta memang memiliki kamar sendiri, tapi anak itu selalu saja tidur dikamar kedua orang tuanya. Katanya, pelukan Mommy dan Daddy terasa hangat.

"Adek nggak mau sekolah," Rengeknya.

"Katanya hari ini mau bawa bekel ayam krispi, enggak jadi?"

Gasta membuka sedikit matanya. "Jadi, tapi adek males mau sekolah."

"Jangan males, Mommy gendong ya?" Karla langsung mengangkat Gasta kegendongannya. Membawa anak kesayangannya kedalam kamar mandi untuk membersihkan wajahnya terlebih dahulu. Karla memang selalu memanjakan Gasta, Gasta tidak akan mandi sebelum sarapan. Karla takut putranya akan masuk angin jika belum mengisi perutnya.

Sembari membawa Gasta menuju ruang makan, sesekali Karla mengecup gemas pipi putranya. "Adek hari ini ada yang sakit?"

Menggeleng. "Enggak."

"Bagus," Menurunkan Gasta dikursi. "Sekarang adek makan yang banyak, jangan lupa vitaminnya juga."

"Adek nggak mau minum itu."

Zai and the final destiny [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang