ZFD | CH-02

13.3K 1.4K 64
                                    

Spontan Zai tersenyum lebar ketika sepeda yang ia kayuh memasuki pelantaran sekolah dasar. Zai memarkirkan sepeda miliknya disamping motor besar salah satu guru disana.

Sebenarnya Zairo pernah diberi peringatan, kalau tidak boleh memarkirkan spedanya disana. Tapi, Zai tetap bersikeras kalau sepeda miliknya harus terparkir bersama motor-motor yang lain. Bahkan Zai memohon hingga kedua mata bulatnya berkaca-kaca.

Tentu saja Zairo yang memenangkan perdebatan itu.

Sebelum memasuki kelas, kedua kaki kecilnya ia langkahkan kearah pos satpam terlebih dulu.

Seperti hari-hari biasa, Zai akan menghampiri Fadil--Satpam disekolahnya untuk disalimi.

Zai juga ingin menyalimi seseorang saat ia akan berangkat sekolah.

"Pagi, pak."

Fadil tersenyum membalas. "Pagi juga anak ganteng, udah sarapan?"

"Belum, tapi Zai bawa bekel kok."

"Nah, kebetulan," Mengangkat Zai agar duduk dikursi yang selalu ia tempati. "Bapak bawa makanan enak hari ini. Bapak suapi ya?"

"Bapak bawa apa emangnya?"

Meraih Tupperware, lalu menggeret kursi mendekat agar bisa ia duduki disamping Zairo.

"Coba tebak, ini makanan kesukaan kamu."

"Emang ada makanan yang Zai sukai? Zai suka semuanya kok pak."

Tersenyum. "Iya, bapak tau. Kan, Zairo anak yang baik ... Nggak pilih-pilih makanan."

"Orang Zai kalo makan nggak ada yang dipilih," Tertawa kencang seolah kata-kata yang ia ucapkan barusan ada sebuah lelucon.

Lain halnya dengan Fadil yang hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan.

"Sekarang berdoa dulu, bapak suapi."

Zai langsung melaksanakan perintah Fadil, namun tiba-tiba kedua matanya melebar senang usai melihat lauk yang dibawa Fadil.

"Ayam goreng!" Pekiknya senang. Ia sampai bertepuk tangan.

Terkekeh. "Enak, kan? Bapak kemarin baru gajian ... Jadi punya uang buat beliin kamu ayam."

"Makasih ya, pak," Memeluk tubuh berisi Fadil.

"Sama-sama," Mengusap kepala Zai. "Seneng boleh, tapi kok berdoanya nggak jadi cuma karna liat ayam?"

Menyengir lebar. Lalu Zai kembali berdoa sebelum makan dari awal lagi.

Fadil melapisi ayam goreng itu dengan plastik dibagian tulangnya. Agar Zai memegang sendiri, dan yang pasti agar telapak tangan Zai tidak penuh minyak nantinya.

"Ak... "

Zai langsung membuka mulutnya lebar-lebar, menerima suapan nasi dari Fadil secara langsung(tidak pakai sendok) dan dengan senang pula ia mengigit kecil ayam ditangannya.

"Enak, pak."

"Makan yang banyak."

Kedua laki-laki berbeda generasi itu tampak seperti ayah dan anak jika dilihat-lihat. Bertapa tlatennya seorang Fadil menyuapi Zai, membuat anak itu tertawa, perhatian kecil seperti, mengusap nasi disudut bibir Zairo.

Fadil jelas sudah berkeluarga, bahkan ia sudah memiliki dua cucu dari masing-masing anaknya. Kedua anaknya perempuan, sudah dibawa suami mereka masing-masing.

Melihat Zai, membuat Fadil seperti memiliki anak laki-laki. Ia tulus, sungguh. Ia tulus memberikan kasih sayang untuk anak kecil ini, juga berusaha memberikan apa yang ia punya dari hasil gajinya setiap bulan.

Zai and the final destiny [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang