ZFD | CH-18

12.4K 1.7K 135
                                    

"Nak, jangan terlalu iri sama kehidupan orang lain, ya?"

Sambil mengunyah, Zai membalas. "Kenapa?"

"Karna ... Adek begini aja ayah udah bangga banget, anak ayah kan paling hebat."

"Adek malu," Terkikik salah tingkah.

Alvan tertawa, kembali memasukkan nasi kedalam mulut Zai. "Adek, adek anak pinter, kan?"

"Pinter lah ... Kan adek mau kayak Om Julian."

Tersenyum. "Adek anak kuat?"

"Kuat! Kayak superhero yang bisa terbang tinggi."

"Adek harus tau kalo ayah sayang sama adek," Mengusap pipi Zai. "Ayah mau terimakasih karna lahirnya adek dunia ini. Jadi anak hebat, anak pinter, anak kuat, ya?"

Kedua mata Zai tampak terlapisi air. Meski otaknya sulit mencerna ucapan Alvan, tapi Zai merasa teerharu dan ingin menangis saja.

Zai turun dari kursi, memeluk Alvan dengan bibir bawahnya yang maju. "Adek sayang ayah," Suaranya terdengar menahan tangis.

Alvan meletakkan piring dimeja, membalas pelukan Zai tak kalah erat. Memejamkan kedua matanya menikmati setiap detik yang berjalan.

"Ayah seneng bisa jadi ayah kamu, nak."

Andai Zai terlahir memang menjadi anak kandungnya, Alvan akan memastikan Zai tetap bahagia hingga nafas terakhirnya. Mengupayakan agar Zai terus merasa bahagia dan beruntung karena telah dilahirkan kedunia.

Namun lagi-lagi Alvan seperti terjatuh ketanah, Zai bukanlah putranya. Meski Alvan memberikan kasih sayang sama besarnya seperti orang tua kandung Zai, mau diadu dari segi manapun Alvan akan tetap kalah.

Dimana katanya kalau darah lebih kental daripada air. Dan kenapa Zai harus menjadi anak majikannya?

***

"Piw ... Piw ... Piw," Suara itu terdengar semenjak Zai menghabiskan makanannya.

Berdiri anteng sambil menembaki rumput samping pos Alvan. Itu karena kakinya tengah sakit, coba saja kalau tidak. Pasti Zai sudah berlari kesana kemari hingga banjir keringat.

"Piuuuu, wush," Bibirnya mengerucut. "Pim piu piu piu."

Alvan mengawasi dari dalam pos. Sesekali ikut tertawa karena mendengar suara Zai yang tak henti-hentinya terdengar.

Bosan menembaki tanaman, Zai berjongkok mencabuti rumput hijau secara acak. Bibirnya terus bergerak, menggumam nyanyian khas anak-anak.

Zai mengarahkan ujung pistolnya kerumput, menyemprot asal kebawah. Suara lirih nyanyian khas anak-anak yang terdengar membuat Alvan terkekeh gemas.

"Sorong ke ... Kanan, sorong ke kiri ... Lalala la la la lala la ... La," Kembali mencabuti rumput. "Rumput hijau, warnanya hijau, hijau hijau apa ... Zai nggak tau, nanti tanya ayah," Katanya dengan irama.

Mendengar klakson mobil, Alvan bergegas membuka gerbang. Mobil yang selalu Zai banggakan kini mulai memasuki pelataran rumah Gustiwana.

Alvan kembali menutup gerbang. Ia menoleh kearah Zai yang tak melirik seperti biasanya, anak itu terlalu fokus mencabuti rumput dan memainkan pistol airnya.

Saat berjalan ke pos, Alvan berkata. "Dek, neduh, dek."

"Nggak mau," Bibirnya mencebik.

Alvan menggelengkan kepalanya, lalu memasuki pos dan melanjutkan kegiatannya, mengopi.

Zai and the final destiny [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang