Zai menonton kartun burung dilaptop Karlo hingga tidak tau waktu. Pakaian Zai masih sama sejak kemarin, bahkan Zai tidak akan sadar jika Karlo menyuapinya nasi. Sangking kagumnya melihat kartun yang berbeda kali ini.
Karlo juga hanya diam, membiarkan saja. Memang sengaja agar Zai sekalian menginap disini sesekali. Karlo mengerjakan tugas disamping Zai yang menyandar nyaman ditumpukan bantal. Juga, selimut tebal membungkus tubuh kecilnya.
Pintu terbuka. "Bang ... Eh!" Tadinya Raven hanya menyembulkan kepalanya saja, namun, saat melihat ada Zai, Raven langsung masuk tanpa meminta ijin terlebih dulu kepada si pemilik kamar.
Raven langsung naik keatas kasur dan memeluk tubuh Zai. "Kok disini?"
Entahlah, ada rasa bahagia yang memenuhi hatinya saat Zai berada dirumah ini.
Raven kembali memeluk Zai, melepasnya, lalu kembali memeluknya erat. Begitu berulang kali. Raven sangat senang, sungguh.
"Oh ... Bang, Mommy udah nyuruh makan."
"Turun dulu sana, sekalian adek dibawa."
Mencebik. "Dibawa. Barang kali ah."
"Digendong maksudnya. Kakinya lagi sakit katanya."
"Kok bisa?" Raven melempar laptop dipangkuan Zai, lalu membuka selimut. "Liat, mana yang sakit."
Mata Zai berkedip, menatap Raven. "Kok ada kak Ravel."
Raven merasa tak dianggap. Padahal, ia lebih baik dari Ravel. Tapi, kenapa Zai lebih mengingat nama 'Ravel' daripada 'Raven'.
"Abang Raven," Koreksinya. "Nggak ada nama Ravel, harus ingetnya Ra-ven aja ... Oke?"
Menggeleng. "Kak Ravel."
Jika dilihat, wajah Raven berubah menjadi sedikit suram. Karlo tertawa melihatnya. Apalagi Zai menatap Raven lugu, seolah tak terjadi apa-apa. Bahkan tak sadar kalau ucapannya membuat Raven cemburu.
Karlo menghentikan tawanya. "Udah udah, buruan turun ven, Zai diajak. Abang mau ganti baju bentar."
"Ayo, dek."
***
"Kenapa bisa jatuh? Kamu nggak hati-hati?"
Mendongak. "Kakak kepo."
"Dih," Bibir atas Raven naik. Menatap tak percaya ucapan anak yang tengah ia gandeng.
Keduanya berjalan pelan, Raven sebenarnya gatal sekali ingin menggendong Zai karena terlalu lama. Tapi, Zai menolak. Raven tak mau kalau nanti Zai rewel dan mengingat ingin pulang.
"Waw."
Kepala Raven langsung menunduk saat Zai menghentikan langkahnya dan bergumam takjub.
Zai mendongak. "Itu," Menunjuk figura besar didinding. Keduanya melewati tangga, disepanjang dinding terpajang foto-foto keluarga. Entah saat Julian dan Karla menikah, saat Karla hamil, atau, saat ulang tahun Gasta.
Dan kini, keduanya berdiri tepat didepan foto keluarganya. Kala itu, wisuda kelulusan sekolah menengah Karlo. Dan Gasta masih kecil. Tersenyum lebar kearah kamera digendongan Julian.
Mengangkat Zai kegendongannya. "Apa?"
Zai mencondongkan tubuhnya kedepan, Raven pun langsung melangkah mendekat.
Telapak kecil Zai berusaha menggapai permukaan kaca, lalu mengusapnya perlahan.
"Kakak juga punya foto keluarga?" Tanyanya dengan senyuman lebar, menatap Raven.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...