Jika siang hari dihabiskan untuk bekerja, maka malam harinya Julian habiskan untuk merenung.
Sejak satu jam lalu, Julian terus berdiam diri didepan teras. Sesekali kepalanya mengadah menatap langit yang tak dihiasi bintang.
Kata bagaimana terus terulang dikepalanya. Namun tetap sama seperti sebelumnya, Julian belum juga menemukan solusi yang tepat.
Hingga, tepukan dipaha membuat Julian menunduk. Zai, anak yang sedari tadi ia pikirkan kini berdiri dihadapannya. Julian sempat menahan nafas beberapa saat.
"Zai bawa uang," Kata anak itu sambil mengangkat kotak berisi uang. Uang yang selalu Zai sisihkan. Lalu Zai meletakkan kotak uangnya dipangkuan Julian.
Julian menerimanya, sekedar melegakan hati Zai. Julian menatap penuh tanya kearah putranya.
"Uang? Buat apa?"
"Balikin papa Zai," Sentak kecil Zai.
"Hm?" Julian tak mengerti. Untuk apa Zai memberinya banyak uang? Dan ternyata alasan Zai tidak pernah membeli makanan karena menyimpan uang itu. Dan Julian akui, ini cukup banyak.
Kedua mata Zai mulai berkaca-kaca. Menghentakkan kakinya sekali. "Balikin papa Zai," Jerit anak itu. "Balikin papa Zai, Zai udah punya uang banyak. Zai mau ketemu papa sama mama. Zai takut, om bohongin Zai."
Dengan gerakan cepat Julian meletakkan kotak berisi uang diatas meja kecil yang terletak disampingnya. Julian menarik Zai mendekat.
Namun saat akan memeluk tubuh putranya, kepalan kecil sang putra lebih dulu mengenai dadanya.
Zai menangis sambil memukuli Julian. Apapun, sekenanya.
"Om bohongin Zai, om jahat! Om bohongin Zai. Om nakal!"
Rasa sakit yang Julian rasakan bukanlah dari pukulan Zai, tapi dari hatinya. Ia merasa sakit saat putranya yang biasanya tampak ceria kini meluapkan semua emosinya.
"Zai benci sama om!" Teriakan kali ini membuyarkan lamunan Julian.
Julian langsung menahan pergelangan tangan Zai, lalu menarik Zai kepelukannya. Zai terus meronta-ronta tidak mau.
"Zai nggak mau dipeluk sama om jahat! Nggak mau. Ayaaah."
"Zai, Zai dengerin saya."
"Nggak mau! Pasti om mau bohong lagi sama Zai. Zai nggak punya papa, om jahat. Papa Zai ilang gara-gara om jahat," Kini bukan lagi teriakan emosi. Namun itu lebih menyakiti Julian. Suara lirih dibarengi dengan isakan.
Zai menutup matanya menggunakan lengannya. "Om jahat. Zai takut, kenapa om bohong. Kata Bu guru nggak boleh bohong om, nanti dosa. Tapi om bohongin Zai, katanya papa sama mama Zai mau pulang, tapi sekarang ilang. Zai sendiri, Zai nggak punya papa."
Julian menatap sendu putranya. Perlahan, ia menurunkan lengan Zai. Kini dengan jelas Julian melihat kedua mata sang putra yang tampak memerah.
"Zai udah bawa uang, Zai mau papa. Suruh pulang aja, om ... Zai nggak mau jajan lagi, Zai maunya papa. Zai enggak mau uang."
"Iya," Balas Julian berbisik. Tangan Julian terulur mengusap air mata dipipi Zai. "Iya, nak ... Iya."
"Jangan bohongin Zai, sini Zai sakit om," Menunjuk dadanya. Lalu kedua telapak tangan Zai menyatu, memohon didepan dada. "Balikin papa Zai. Zai nggak mau bobok sendiri terus."
Setetes air mata mengalir begitu saja dari pihak Julian. Putranya memohon, sangat.
"Ini papa," Hanya gerakan bibir saja.
"Balikin papa Zai, Zai takut kalo bobok sendiri terus," Zai duduk dibawah, lalu memeluk salah satu kaki Julian. "Nanti Zai cari uang yang banyak buat om, tapi sekarang om anterin Zai ketemu papa dulu. Ayo, om."
"Zai," Julian mengangkat tubuh Zai kepangkuannya. Anak itu masih manangis dan terus menatapnya. Kedua ibu jari Julian mengusap air mata Zai. "Zai mau ketemu papa?"
Mengangguk. "Mau."
Sejenak Julian menimang keputusan secara mendadak. Apakah ini saatnya Zai tau? Tapi bagaimana kedepannya?
"Ini," Menunjuk dirinya sendiri. "Papa Zai."
Kepala Zairo menggeleng pelan. "Bukan. Katanya papa Zai pergi keluar negeri, om mau bohongin Zai lagi?"
Zai paham maksud Julian, bohong kalau Zai tidak pernah memiliki pikiran bahwa Julian adalah papanya. Papa yang selalu ia idamkan.
Sengaja Zai sering menepis anggapan itu, Zai selalu berpikir bahwa itu tidak mungkin. Om Julian ini baik, keren, dan favoritnya. Tidak mungkin om Julian papanya. Jika iya, Zai pasti tidak akan berakhir dirumah sederhananya sendirian.
"Papa Zai juga, nak."
Kepala Zai kembali menggeleng, tangisannya kian mengeras. "Kalo om Julian papa Zai, kenapa Zai bobok sendiri? Om Julian rame-rame disini, tapi kok Zai sendiri?"
Pertanyaan yang sulit Julian jawab akhirnya keluar begitu saja dari bibir Zai. Tidak mungkin ia menjawab kalau alasan utamanya adalah kematian Ziya. Mau dilihat dari sudut manapun Zai tidak salah.
Semisalnya iya, Julian menjawab seperti itu. Bukankah Zai akan semakin membencinya? Pasti Zai akan kembali berasumsi bahwa kedua orang tuanya tidak sayang padanya.
"Om Julian bohong lagi sama Zai?" Nada suaranya sedih. "Zai minta maaf kalo nakal om, tapi jangan bohong sama Zai. Kata Bu guru nggak boleh bohong, dosa kalo bohong."
Julian menggeleng pelan, ia peluk tubuh Zai erat. Memberikan kecupan dikepala Zai bertubi-tubi. "Zai anak Papa. Papa Julian."
"Nggak mau! Jangan ngomong itu Zai nggak mau!" Telapak kecilnya membekap mulut Julian agar berhenti bicara. Zai tidak mau mendengar kenyataan yang membuatnya kecewa.
Menyingkirkan tangan Zai, lalu mengenggnya erat. "Maafin papa, papa minta maaf."
"Nggak mau, om ... Nggak mau."
Tidak ada kata yang tepat untuk diucapkan, Julian lebih memilih memeluk erat Zai sambil mengusap punggung sempit itu. Berkali-kali memberikan kecupan kecil dikepala putranya.
"Jangan bilang itu, Zai nggak mau," Katanya lagi. Zai kecewa, pasti. Ekspetasinya tentang Julian kini hancur, melebur menjadi abu. Ternyata om Julian yang selalu Zai banggakan kini adalah orang yang memberikan luka yang membekas.
"Nggak mau papa om Julian, nggak mau, om. Zai nggak mau punya papa."
Zai memukul dada Julian sekali dengan kepalannya, kedua matanya menutup sedikit.
"Jangan bilang itu," Lalu menguap lebar. Kedua matanya kini menutup sempurna. "Zai nggak mau punya papa."
Setelahnya sudah. Anak itu tertidur dipelukan papa kandungnya, meski dalam tidurnya Zai masih terisak.
Dasar Zai. Bukannya terus protes dan mencerca jawaban, malah ia yang dikalahkan oleh rasa kantuk.
Untuk beberapa saat Julian masih mengusap punggung Zai teratur. Sengaja menunggu sedikit lebih lama agar Zai benar-benar terlelap nyaman.
Entah, namun rasanya hal yang mengganjal selama ini hilang begitu saja saat ia mengatakan pada Zai kalau ia adalah papanya.
Meski respon Zai demikian, mungkin besok Julian akan kembali berbicara pada Zai saat Zai terbangun.
Mengecup pelipis Zai. "Zai anak papa, selamanya anak papa," Julian tersenyum saat menatap wajah putranya. Benar-benar seperti melihat dirinya sendiri.
Dari kejauhan Alvan menyaksikan semuanya, dari awal. Matanya masih terus menatap sepasang anak dan ayah yang kini sudah memasuki rumah.
Lalu, kepala Alvan menunduk. Sepertinya Zai sudah tau kebenarannya, lantas, apakah panggilan ayah dari mulut Zai akan kembali Alvan dengar esok hari? Bolehkah Alvan sedikit egois? Sungguh, rasa cintanya untuk Zai sama porsinya seperti seorang ayah ke putra kandungnya.
Alvan menyayangi Zai, mencintai anak dari majikannya dengan tulus.
***
🌷SELESAI🌷
Du dudu duduuuu(sambil kabur🏃).
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...