"Selamat pagi ayah," Zai menyapa riang kearah Alvan. Seragam merah putih sudah melekat ditubuh kecilnya, namun, rambut Zai tampak berantakan karena tidak disisir.
Alvan tersenyum. "Udah sarapan belum?"
Begitu sampai disamping Zai, Alvan langsung menyisir rambut tebal itu, menatanya agar rapi dan enak dipandang.
Lagi-lagi wajah Julian yang Alvan lihat dari Zai, apalagi saya jidatnya terlihat.
"Emm ... Belum. Zai mau sarapan sama bapak Fadil aja, biasanya bapak bawain Zai ayam goreng."
"Mau ayah anterin aja?"
Menggeleng. "Mau bawa sepeda aja."
"Tapi hati-hati, ya?"
"Siap! Zai berangkat ayah."
"Uang sakunya?"
"Zai bawa."
"Bener?" Tak satu dua kali Zai berbohong. Mengaku membawa, tapi tidak. Uangnya lebih dulu Zai masukkan kedalam kotak tabungan miliknya.
Cengiran lebar Zai berikan. "Enggak."
Mendengus. "Kalo nggak bawa nanti jajannya pake apa, nak? Bawa bekel nggak?"
"Enggak juga. Zai malu kalo harus kerumah Gasta, nanti Gasta nakalin Zai lagi. Bilang sama temen-temen kalo katanya Zai suka minta-minta nasi. Kan, adek malu yah."
"Gasta bilang gitu?" Menatap tak percaya. "Kapan?"
"Dulu, pas Zai minta sosisnya banyak. Kan abis, Gasta marah deh."
Alvan langsung memeluk tubuh kecil Zai sembari mengusap kepala bagian belakangnya. "Adek marah nggak sama Gasta?"
"Adek nggak marah, cuma malu aja. Sedikit. Gasta kan masih kecil ... Belum tau kalo itu salah. Iya kan ayah?" Mendongak menatap Alvan.
Tersenyum tipis. "Pinternya, anak ayah. Calon orang sukses."
Zai tersenyum senang begitu mendengar pujian yang Alvan lontarkan. Zai adalah tipe anak yang suka dipuji, semakin dipuji, semakin semangat pula untuk mewujudkan impiannya.
***
Setelah menyandarkan sepedanya pada motor besar milik salah satu guru, Zai langsung berlari menuju pos milik Fadil.
Senyuman lebar yang tadi menemani ayunan kaki Zai kini meluntur.
Ditatapnya pria lain dipos Fadil.
"Bapak Zai mana?" Kakinya kembali mengayun mendekati pria asing tersebut.
Rio--satpam muda itu pun membalas. "Bapak kamu pak Fadil?"
"Iya ... Dimana?"
"Kamu belum tau, pak Fadil kan lagi sakit. Jadi, saya yang gantiin."
"Bapak kok bisa sakit, om ... Sakit apa?" Pantas saja kemarin Sabtu Zai tidak melihatnya. Zai juga lupa untuk mampir ke pos, sangking senangnya diantar oleh Ravel.
"Saya nggak tau sakitnya apa."
Bahu Zai melemas. Ayam goreng hari ini tidak jadi.
Tanpa mengucapkan terimakasih ataupun basa basi yang lain, Zai langsung berjalan lesu kedalam gedung sekolah dasar itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...