Matahari sudah mulai terbit, namun Zai masih bergeming nyaman dibawah selimut tebal milik Karlo.
Disampingnya ada Raven dan Ravel yang ikut memejamkan mata dikamar Karlo.
Karlo tidak menyuruh dan mengijinkan, mereka yang memaksa dengan tak tau malunya.
"Bangun!" Karlo memukul pantat Raven dan Ravel secara bergantian. Tidak ada kelembutan, lagian untuk apa bersikap lembut pada dua adiknya yang ini?
Berdecak. "Bangun!" Pukulan yang Karlo layangkan semakin bertenaga. Merasa kesal karena Raven dan Ravel hanya menggeliat kecil.
"Akh! Sakit," Rengek Raven dalam pejamannya.
"Jangan buat gue teriak-teriak sampe ngebangunin Zai ya, cepetan bangun! Pindah kekamar kalian."
Raven memiringkan tubuhnya, memeluk Zai disebelahnya. Memberikan kecupan selamat pagi meski kedua matanya masih terpejam.
"Mau tidur lagi sama adek."
"Gue panggilin Daddy."
"Jangan lah."
"Makannya bangun! Sekalian kembaran lo dibangunin," Mengambil handuk. "Kalo gue keluar kamar mandi kalian berdua belum bangun, awas kalian. Awas."
Begitu suara pintu kamar mandi yang ditutup terdengar, Raven membuka sedikit matanya. Memastikan Karlo sudah tidak ada diruangan ini.
Menghela nafas sambil menatap langit-langit kamar. Kepala Raven menoleh kearah Zai yang masih lelap dalam tidurnya. Raven kembali memeluk Zai dan mengecupi pipi adiknya berkali-kali.
"Sayang adek."
***
"Selamat pagi," Karlo menyapa dengan senyuman.
"Pagi, Abang," Balas Karla. "Adek twins udah bangun?"
"Udah. Tadi malem tidur dikamar aku. Malesin banget tau mom."
Terkekeh. "Tapi muat, kan?"
"Ya muat," Kemudian menyesap teh manis buatan si ibu. "Zai masih tidur, jangan dibangunin dulu ya mom."
Karla menghentikan gerakannya, lalu mengangkat wajah agar dapat menatap si sulung. "Dia nggak sekolah?"
"Kakinya masih sakit. Jadi, biarin ajalah. Aku juga kasian kalo dipaksa."
Anggukan kepala yang Karla lakukan sebagai balasan. Ia juga merasa kasihan jika Zai harus mengayuh sepeda saat kedua lututnya tengah sakit.
Menatap sekitar. "Gasta mana, mom?"
Karla merasa aneh dengan ketiga putranya. Semenjak mereka mengenal Zai lebih dekat, ketiganya jarang memanggil Gasta 'adik'. Malah Zai yang sering mereka panggil demikian.
"Gasta--,"
"Mommy."
Tersenyum manis, Karla menunjuk sang suami yang tengah menggendong Gasta. Si bungsu sudah lengkap dengan seragamnya.
"Itu."
"Udah ada Abang," Ujar Julian.
"Iya."
"Raven sama Ravel mana?"
"Susah banget dibangunin, malah meluk-meluk Zai tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...