Begitu sampai dikelas, Zai langsung duduk dan menenggelamkan wajahnya dilipatan tangan. Membiarkan kresek ditangannya menggantung begitu saja.
Aqil dan Evin yang tengah bercanda dengan siswa lain pun langsung berjalan mendekati Zai.
"Zai," Evin langsung mendudukkan dirinya disamping Zai.
Mendengar suara sahabatnya, Zai langsung mengangkat wajah. Nafasnya tersengal-sengal, seperti akan menangis, namun sulit untuk keluar. Sangking sesaknya.
Dengan susah payah Zai berkata. "Zai ... Nggak punya mama papa ya?"
"Kenapa tanya gitu? Zai punya kok."
"Zai nggak punya, Evin ... Zai nggak punya mama sama papa. Mereka bohong, dosa, mereka bohongin Zai," Raungnya bak anak balita.
Zai hanya merasa penantiannya selama ini hanya akan berbuah kosong.
Evin langsung menarik Zai kepelukannya. Bak orang dewasa, Evin mengusap kepala bagian belakang Zai. Kedua mata Evin turut berkaca-kaca mendengar keluhan Zai, ia seperti memang diposisi Zai.
Kalau Aqil sudah duduk dibangku belakang. Ia merasa tak sanggup untuk menghadapi Zai yang seperti ini. Jadi, Aqil lebih memilik sok sibuk dengan buku bacaan.
"Zai sendirian, nggak punya papa."
Siswa dan siswi lain hanya menatap saja. Sengaja tak mendekati Zai, atau bertanya kenapa Zai menangis. Jika seseorang sedang menangis, dan dintanya 'kenapa' pasti tangisannya akan semakin kencang, kan?
"Kan ada aku, Zai nggak sendiri."
"Zai nggak punya papa, Zai sendirian ... Takut. Om Julian bohong, om Julian dosa bohongin Zai," Masih dengan tangisan, Zai terus mengatakan itu. "Om Julian nakal."
"Zai enggak sendiri, ada aku. Ada bang Fendra, mami, papi, sayang Zai."
Zai memeluk Evin, menangis tersedu-sedu hingga tanpa sadar air mata serta liurnya membasahi seragam Evin.
"Zai mau pulang, nggak mau sekolah."
***
Alvan memarkirkan motornya diparkiran sekolah Zai. Tadi, ia mendapatkan telfon jika Zai merajuk disekolah. Anak itu langsung keluar kelas begitu guru yang akan mengajar memasuki kelas, saat dibujuk pun Zai meronta tidak mau.
Zai tidak menangis, namun wajah sembabnya masih ada. Zai duduk lesehan didepan kelas dengan tangan yang ia lipat didepan dada, serta pandangan yang Zai buang kesamping. Wajahnya cemberut.
"Zai."
Guru yang tengah membujuk Zai menoleh, begitupun Zai.
Zai langsung berdiri dan memeluk perut Alvan. "Zai mau pulang."
"Hei ... Kenapa?"
Saat Alvan menyamakan tingginya, dengan jelas Zai melihat raut khawatir dari Alvan. Bibir Zai langsung melengkung ke bawah, matanya sudah dilapisi air.
"Pulang," Suaranya serak menahan tangis.
Mengangkat Zai kegendongannya, yang mana membuat Zai langsung melingkarkan tangannya dileher Alvan erat.
"Maaf ya, Bu."
Guru itu tersenyum. "Gapapa, pak. Namanya juga anak-anak."
"Kalo gitu saya pamit ya, Bu. Mari."
***
Jika biasanya suasana diperjalanan akan terasa ramai karena pertanyaan Zai terus menerus, kini sepanjang perjalanan menuju rumah diisi keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...