ZFD | CH-07

11.3K 1.3K 38
                                    

Ravel berjalan mendekati kasur, lantas menurunkan Zai disana. Tanpa sepatah kata Ravel berjalan mendekati lemari dan kardus yang penuh akan pakaian baru.

Zai merangkak menuju televisi, lalu memencetnya dan langsung menampilkan kartun disore hari. Zai kembali merangkak memojok kedinding, lalu menyandarkan badannya disana sembari memeluk boneka buaya besar miliknya.

Menatap pakaian satu persatu. Pakaian Zai bagus-bagus kok, tapi kenapa yang dipakai yang lusuh-lusuh saja?

Pandangan Ravel beralih kearah Zai yang masih terfokus pada televisi. Bahkan terkikik karena beberapa adengan dari kartu tersebut.

Ravel mengambil satu set pakaian tidur yang masih terlapisi plastik. Ini masih baru. Bahkan label harganya masih ada. Dan ini mahal.

"Zai. Sini, ganti baju."

Melirik Ravel, lalu merangkak mendekati Ravel tanpa bantahan.

"Kok baju baru," Protes Zai saat melihat Ravel yang tengah membuka plastik kemasan.

"Baju kamu itu bagus-bagus semua, tapi kenapa yang dipake jelek-jelek semua?"

Mengangkat tangannya ketika Ravel akan memasangkan kaos dalaman. "Zai mau simpen."

"Kenapa?" Memasangkan Zai celana.

"Nanti bajunya rusak."

Mengangkat sebelah alisnya. "Rusak ya tinggal beli lagi, dipake aja gapapa. Apa nggak suka modelnya?"

"Zai suka," Jawabnya. "Bajunya bagus-bagus, Zai nggak mau bajunya rusak."

Ravel menggelengkan kepalanya usai mendengar alasan Zai. Terlalu sayang dengan barang bagus sampai tidak tega untuk memakainya. Apa kalian sama seperti Zai?

Selesai memakaikan Zai pakaian baru, Ravel mengangkat tubuh kecil itu dan mendudukkannya ditengah-tengah kasur.

"Abang bawa sesuatu buat kamu."

Zai duduk manis sembari menatap setiap pergerakan Ravel. Spontan Zai tersenyum ketika melihat plastik yang Ravel bawa. Makanan, pikir Zai.

Zai langsung berdiri, melompat-lompat senang dengan kedua tangan yang mengepal lemah dan terangkat tinggi keudara. Mengisi langkah kaki Ravel yang mendekat.

"Kenapa?" Tanya Ravel sembari mendudukkan dirinya diatas kasur juga.

"Kakak bawa makanan?"

Menarik Zai agar duduk dipangkuannya. "Coba tebak, menurut adek ini apa?"

"Emm ... Kue?"

"Kue?" Ravel langsung tertawa kecil. Padahal dari gambarnya saja sudah terlihat.

"Bukan kue?"

Tersenyum. "Ini martabak ... Martabak telur."

"Telur goreng?"

"Martabak telur. Kamu nggak tau?"

"Telur goreng, Zai tau. Zai suka banget sama telur goreng buatan ibu, enak! Zai suka yang pinggirnya gosong. Kalo Zai gigit bunyi, kayak kerupuk," Menyengir lebar sembari mengamati kotak yang dibawa Ravel tadi.

Ravel diam. Menyisir rambut tebal sang adik kebelakang hingga memperlihatkan dahinya.

"Coba, adek yang buka."

Tentu. Zai dengan perasaan gembira memangku kotak berukuran tak terlalu besar itu, lalu membukanya. "Wanginya enak," Katanya sembari mendekatkan hidung kekotak.

"Enak, dong ... Dimakan. Buat adek semua."

"Buat Zai?"

Mengangguk. "Semua."

Zai and the final destiny [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang