"Zai."
Zai langsung menoleh kesumber suara saat mendengar suara yang tak asing memasuki telinga. Benar saja, disana ada Ferdi yang tengah melambaikan tangan sambil tersenyum kotak.
Zai langsung melompat dari pangkuan Alvan tanpa pikir panjang. "Om papi," Zai melompat kecil.
Kedua laki-laki berbeda umur itu masih dipisahkan oleh gerbang yang menjulang tinggi.
"Om papi mau main kerumah Zai?" Tanyanya kegirangan.
Ferdi tersenyum kearah Alvan yang baru saja membukakan gerbang. Lalu Ferdi berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Zai.
"Enggak nak."
Mendengar jawaban Ferdi, Zai langsung melunturkan senyumannya. Yang tadinya melompat penuh energi kini seolah terserap tanah.
Ferdi terkekeh melihat respon Zai, pria itu mencubit pipi Zai. "Katanya mau foto keluarga, nggak jadi nih?"
Kan, senyum Zai kembali usai mendengar itu.
"Foto bareng-bareng?"
"Bareng-bareng dong, nanti ada Evin juga."
"Zai mau Zai mau," Kedua tangannya terangkat tinggi ke udara. Senang sekali si anak hebat ini, begitu senangnya karena akan mempunyai foto untuk pertama kali dihidupnya. Atau, saat ia berumur dua belas tahun.
"Tapi Zai belum mandi, pak."
Ferdi langsung menjepit hidungnya. "Ih ... Jangan deket-deket papi, Zai bau."
"Ayah," Mendongak menatap kesal Alvan. Anak itu langsung memeluk kaki Alvan, ia sedih saat Ferdi berkata seperti itu. "Ayah kenapa ngomong."
Bagaimana kalau foto bareng-barengnya tidak jadi karena ia belum mandi?
"Kan adek emang belum mandi."
"Tapi adek mau foto bareng-bareng."
Melihat respon Zai yang tak sesuai ekspetasi, Ferdi menarik Zai agar menghadap kearahnya.
"Jangan sedih dong, kan papi cuma becanda."
Zai terus menatap kebawah. "Tapi Zai bau. Kalo bau nggak boleh ikut foto?"
"Boleh, nak, boleh. Kata siapa nggak boleh? Nanti kan bisa mandi dirumah papi, sama Abang Fendra."
Perlahan senyuman Zai merekah, mendekati Ferdi, lalu mengalungkan satu lengannya dileher yang lebih tua.
"Ayah, adek pergi dulu. Adek mau foto bareng-bareng. Ayah jangan sedih ya, disini sendiri. Nanti adek cepet pulang. Promise."
Dua pria dewasa yang mendengar jadi sedikit meleleh. Begitu manisnya anak ini.
"Iya, nanti tunjukin sama ayah, ya? Pasti keren."
"Iya! Pai-pai ayah."
***
Julian menutup pintu mobilnya sedikit keras. Sejenak ia menyandar pada mobil sambil memijat pelipisnya.
Helaan nafas terdengar. Setelah itu, Julian memutuskan untuk melangkahkan kakinya memasuki rumah.
Sayup-sayup Julian mendengar keempat putranya tengah berinteraksi diruang keluarga. Tampak hangat, namun cacat.
"Baru pulang, pa?" Si sulung yang bertanya.
"Iya. Mama mana?"
"Dikamar kayaknya, dari tadi Abang belum liat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...