Zai berjalan beriringan dengan Ravel, telapak tangan kecilnya mengenggam erat tangan Ravel.
Wajah jiplakan dari Julian itu memang masih terlihat sembab, tapi kini Zai sudah tersenyum lebar karena akan diajak naik motor.
"Abang mau ngambil motor dulu."
Mendengar itu, Zai langsung berlari kearah pos Alvan. Zai ingin mengatakan kalau hari ini ia akan naik motor bersama Ravel, salah satu anak dari Julian. Idolanya.
"Ayah," Zai melompat senang, sebelum Alvan berjongkok menyamakan tingginya dengan Zairo.
"Kenapa? Seneng banget kayaknya."
"Seneng! Zai mau naik motor sama kakak, Zai nggak bawa sepeda hari ini."
"Kakak?"
"Kakak Ravel," Menyengir.
Alvan mengangguk, lalu tersenyum. "Hari ini kok ganteng banget sih, anak ayah."
"Ayah," Zai langsung melingkarkan tangannya dileher Alvan. Dia malu.
Terkekeh. "Bener kok, anak ayah ganteng banget."
"Ayah, Zai nggak mau bawa bakwan lagi kesekolah," Nada suaranya terdengar sedih.
"Kenapa? Ada yang nakalin anak ayah?"
"Bukan, tapi bakwannya nggak enak."
"Kata siapa? Ayah makan enak-enak aja kok."
"Kata Zai," Menunjuk dirinya sendiri. "Kemarin aja Zai makan mau hok."
*Hok=muntah.
Tersenyum. "Udah enak kok, tapi Zai harus belajar lagi. Biar bakwannya makin enak."
"Ayah."
"Hm?"
"Kenapa hari ini ayah nggak panggil Zai adek? Ayah udah punya adek lain?"
Alvan tertawa kecil, mengapit gemas hidung Zai. "Ayah lupa, adek Zai ... Namanya juga manusia."
Tiba-tiba Zai menyender manja pada Alvan, membuat dahi pria itu mengkerut heran.
"Ayah."
"Apa, dek?"
"Jangan punya adek lain, ya?"
Bertepatan dengan itu sebuah motor matic terhenti didepan keduanya. Zai menoleh, lalu tersenyum lebar hingga menampilkan giginya.
"Kakak."
Ravel tersenyum. "Ayo."
"Ayah, adek mau berangkat sekolah."
Tersenyum, merapikan dasi sekolah Zai. "Udah bawa uang saku belum?"
"Belum, adek lupa."
Alvan merogoh saku bajunya, mengeluarkan satu lembar uang berwarna hijau. Lalu menyerahkannya pada Zai.
"Buat jajan."
Zai menerimanya dengan senang hati. Kaki kecilnya berjalan mendekati motor Ravel.
"Nggak salim sama ayah?"
"Kan, ayah harus bantuin adek naik motor dulu."
Alvan beranjak, suara kekehan terdengar merdu dari pria itu. "Coba usaha sendiri dulu, ayah jagain dari belakang."
"Nggak mau. Adek takut jatuh."
"Ngapain takut? Kan, dibelakang adek ada ayah. Ayah jagain dari belakang."
Mendengar manisnya interaksi antara satpam rumah dan adiknya membuat Ravel hanya diam. Harusnya, Julian. Terlalu lama memikirkan itu membuat Ravel tak sadar kalau Zai sudah duduk manis dijok belakang dan memeluk erat perutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...