"Zai ikut?"
"Ikut," Evin menjawab. "Mau nggak? Nanti aku bilangin Papi."
Zai tersenyum lebar hingga menampilkan giginya. "Mauuu," Kemudian menatap Aqil. "Aqil juga mau ikut?"
"Kalo aku enggak, aku kan udah punya keluarga sendiri."
"Zai juga punya keluarga sendiri, tapi Zai mau ikut foto sama keluarga Evin. Emang gapapa?"
"Iya. Kan, Zai buka keluarga kamu, Vin. Emang boleh?"
"Boleh kok," Memeluk Zai dari samping. "Zai aja udah manggil papi aku papi. Jadi, itu tandanya Zai keluarga aku juga."
"Iya juga. Zai udah manggil om Ferdi papi, berarti, Zai anaknya om Ferdi juga?"
"Nggak cuma om papi. Zai punya bapak Fadil, ayah Alvan, ibu Yuni, om papi, Tante mami, terus ... Kakak Ravel!"
"Itu Abang aku!" Suara teriakan itu mengalihkan perhatian Zai, Evin, dan Aqil.
Gasta, berjalan cepat mendekati ketiganya.
Membuang minuman yang dibawanya kesamping, Gasta kian mendekat kearah Zai.
"Abang Ravel itu Abang aku, bukan Abangnya kak Zai."
"Iya, terus kenapa?" Seolah tak tau keadaan, dengan santainya Zai terus memasukkan ciki kedalam mulutnya.
Jelas Gasta meradang melihatnya. "Jangan deketin Abang aku terus."
Sebelum menjawab, Zai mengambil susu kotak, lalu memberikannya kepada Evin agar ditusukkan.
Sebentar, sebentar, Zai haus.
Zai meminum susunya beberapa teguk. "Enak. Gasta mau minta?"
Gasta merebut susu kotak dari tangan Zai, lalu membantingnya kelantai. Tidak sampai disitu, Gasta menginjaknya hingga isinya keluar semua.
"Punya Zai," Zai langsung berdiri. Mendorong tubuh gempal Gasta sekuat tenaga, meski Gasta hanya terdorong beberapa langkah saja. "Nggak boleh jadi orang jahat, nanti nggak punya temen."
"Yang penting aku punya orang tua, nggak kayak kak Zai."
"Zai juga punya orang tua, ibu sama bapak Zai lagi cari uang buat Zai sekolah. Besok pulang."
Dada Zai naik turun, kedua mata bulatnya terlapisi air. Hatinya merasa sedih ketika ibu dan bapaknya diungkit. Zai tau, dan Zai yakin kalau ibu dan bapaknya akan pulang. Meski saat ini Zai harus menahan rasa rindu.
"Gasta jahat," Air mata Zai menetes.
Gasta diam. Menatap anak kurus didepannya ini. "Jangan ambil Abang aku," Setelah mengatakan itu, Gasta langsung pergi. Gasta menyempatkan mendorong tubuh kecil kakaknya hingga membentur kursi yang diduduki tadi.
Zai menutup mata menggunakan lengannya. Menangis karena rasa sakit dipunggung, dan hatinya.
Tangisan Zai kian mengeras saat merasakan pelukan dari Evin dan Aqil.
"Sakit," Adunya.
Evin mengusap air mata Zai. "Mana yang sakit? Kita ke UKS ya?"
Menggeleng. "Susu Zai," Jari telunjuk kecil itu menunjuk kotak susu yang sudah tidak berbentuk lagi. Dengan genangan air berwarna coklat.
"Ayo, kita beli lagi."
"Uang Zai habis," Tangisnya.
"Abang Evin beliin, ayo."
Perlahan, Zai mau diajak berdiri. Suara tangisan kecil dari Zai masih terdengar, namun Zai juga tidak menolak saat Evin mengulurkan satu kotak susu yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...