Setelah dua hari tidak masuk, hari ini Zai sudah bisa masuk sekolah. Lututnya juga tidak sesakit kemarin.
Kedua tangan Zai melingkar erat diperut Alvan. Julian menyuruh Alvan mengantarkan Zai, sesekali.
Alvan menunduk saat merasakan pelukan Zai mengerat. Tangan kirinya mengusap tangan yang melingkar diperutnya, terasa dingin.
"Kenapa nggak pake jaket tadi?"
"Apa ayah?"
"Kenapa tadi nggak pake jaket?" Suaranya sedikit lebih keras.
"Enggak mau, nggak enak."
"Tapi dingin, kan?"
"Kan bisa peluk ayah."
Terkekeh sembari memukul pelan punggung tangan Zai. "Anak kecil suka ngerayu."
***
"Yey ... Nyampe."
"Zai pelan-pelan," Anak itu turun dari motor tak sabaran. Setelah berhasil turun, Zai berdiri disamping Alvan dan menyengir menatap yang lebih tua.
Zai menyalimi tangan Alvan. "Adek berangkat ya ayah. Ayah harus hati-hati, bedoa biar selamat dijalan. Ayah jangan sedih, kalo udah pulang sekolah nanti adek temenin lagi. Ayah jangan sedih, ya?"
Melihat raut wajah Zai yang benar-benar khawatir terhadapnya membuat Alvan besar kepala. Ia merasa disayangi oleh Zai melebihi siapapun disekitarnya. Bolehkan Alvan berpikiran seperti itu?
"Ayah oke. Adek sekolah, yang pinter, jadi orang sukses. Siap?"
"Siap!"
"Sana masuk."
Zai langsung membalikkan badannya, melangkah kedepan beberapa langkah kemudian kembali menghentikan langkahnya.
Anak itu kembali menatap Alvan. "Pai-pai ayah, adek mau sekolah."
Mau tak mau Alvan juga melambaikan tangannya kearah Zai. Ia tak menjawab, namun ia tersenyum. Seolah mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.
Saat akan menjalankan lagi motornya, suara Zai kembali menghentikan.
"Ayah, love you."
"Iya ... Love you, nak," Setelah mengatakan itu, Alvan langsung menjalankan motornya. Kalau tidak, maka seteruskan akan seperti itu.
Diperjalanan Alvan menggelengkan kepalanya. Entah mengapa sejak kemarin Zai selalu menjadi anak yang manis, ucapannya selalu membuatnya tersenyum dan terharu.
Disisi Zai, anak itu tidak langsung menuruti perintah Alvan. Seperti biasa, Zai akan ke pos Fadil terlebih dahulu.
Namun lagi-lagi Zai merasa kecewa saat menemukan Rio lah yang berada disana. Bukan Fadil.
"Bapak Fadil beneran udah nggak kesini lagi ya, om?"
"Kamu anak yang waktu itu?"
Menunjuk dirinya sendiri. "Ini Zai."
"Oalah, namanya Zai."
"Iya. Nama om siapa?"
"Nama saya Rio."
"Om Rio," Panggilnya. "Om Rio disini terus? Kalo om Rio disini terus berarti bapak Fadil nggak kesini lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...