ZFD | CH-14

11.6K 1.4K 131
                                    

Zairo terus mengayuh sepeda miliknya, mengelilingi halaman luas Gustiwana entah keberapa kali.

Terik matahari tak menghalangi Zai untuk terus mengayuh sepedanya, bahkan keringat sebiji jagung terus menetes dari pelipisnya.

Untuk kesekian kalinya. "Adek, dibilangin jangan main sepeda terus. Ini panas, pusing nanti kepalanya," Alvan berteriak dari depan pos.

Zai menambah kecepatan sepedanya, seolah mengejek Alvan.

Suara klakson mobil mengalihkan perhatian Alvan, begitupun Zai. Anak itu langsung menghentikan sepedanya.

Setelah Alvan membuka gerbang, sebuah mobil mewah yang selalu dikendarai Julian pun mulai memasuki pelataran rumah.

Seperti biasanya, mulut Zai menganga lebar dengan tatapan penuh kagum kearah mobil yang ditumpangi sang ayah.

Zai ingin merasakan betapa nyamannya kursi mobil itu ketika diduduki.

Tak lama terlihat Gasta dan Karla turun dari mobil.

Namun bukan itu yang mencuri perhatian Zai, tapi sebuah kotak besar dipelukan Gasta. Dari luar saja tampak keren, terlihat gambar mobil-mobilan terpampang nyata disana.

"Kak Zai, liat. Mobil-mobilan aku baru, tadi Daddy yang beliin," Kata Gasta setelah berhenti disamping Zai. "Keren kan, kak?"

Zai mengangguk semangat. "Keren."

"Ini Daddy yang pilihin."

"Keren banget," Gumam Zai. Kedua matanya tak beralih dari kotak besar digendongan Gasta.

"Adek, masuk yuk. Kita buka mainannya didalem," Karla merangkul Gasta dan menggiringnya memasuki rumah.

Saat punggung Karla dan juga Gasta tidak lagi terlihat, Zai langsung mengayuh sepedanya kearah Alvan yang berdiri mengawasinya sejak tadi.

Menghentikan sepedanya didepan Alvan, lalu mendongak. "Ayah."

Seolah mengerti, Alvan berjongkok menyamakan dirinya dengan Zai. Pria itu tampak tersenyum lembut sembari mengusap kepala Zai.

"Adek mau, ya?"

"Kok ayah tau?"

Terkekeh. "Kalo ayah beliin mobil-mobilan yang biasa aja, adek mau nggak?"

"Emang beda?"

"Beda, nak. Kalo punya Gasta, pake remot. Tinggal duduk aja mobilnya udah bisa jalan sendiri. Tapi kalo yang biasa aja, nggak ada remotnya."

"Terus, nggak bisa jalan sendiri?"

"Enggak. Tapi tetep keren kok kalo anak ayah yang mainin. Nanti, kalo ayah punya uang lebih, ayah beliin mobil remot kayak tadi."

"Mahal ya, ayah?"

Alvan mengangguk sembari tersenyum tipis.

"Gapapa deh. Adek mau, ayah ... Ayo beli sekarang," Menarik-narik tangan Alvan.

"Adek dengerin ayah," Zai menghentikan gerakannya. "Ayah sekarang lagi dijam kerja, dek. Ayah nggak bisa seenaknya aja keluar masuk dari sini, ayah harus tanggung jawab sama pekerjaan ayah dulu, oke?"

"Terus, kapan?"

"Hey ... Jangan sedih dong. Mana gantengnya ayah?"

Zai hanya diam, perlahan turun dari sepedanya dan berjalan pelan mendekati Alvan. Dari mimik wajahnya Zai terlihat sedih karena jawaban dari Alvan tadi. Anak itu langsung memeluk leher Alvan dan menyembunyikan wajahnya disana.

Mengusap punggung sempit Zairo. "Stt ... Adek nggak boleh sedih, nggak boleh."

"Mau mainan juga, ayah."

Zai and the final destiny [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang