ZFD | CH-17

11.4K 1.6K 125
                                    

Zai menjatuhkan sepedanya, anak itu langsung berjalan mendekati gerbang tanpa memperdulikan sepedanya yang tergeletak dibelakang.

"Ayah."

Begitu mendengar panggilan itu, Alvan yang memang menunggu Zai didepan pos pun langsung bergegas membukakan Zai gerbang.

"Adek darimana aja? Ayah khawatir nungguin kamu," Alvan memeriksa seluruh badan Zai.

Menyengir lebar kearah Alvan. "Tadi adek kerumah bapak, bapak lagi sakit, yah."

"Kenapa nggak pulang dulu sih, nak. Kan ayah bisa anterin," Mengusap dahi Zai. "Gimana kalo ada orang jahat?"

"Bukan orang yang jahat, tapi sepedanya nakal," Menunjukkan telapak tangannya. "Liat, tadi adek jatuh."

Alvan langsung meraih tangan Zai, mengusapnya perlahan agar membersihkan debu menempel. "Adek nggak hati-hati, ya?"

"Udah kok."

"Gapapa, anak ayah udah hebat. Kan, kalo jatuh adek bisa jadi lebih kuat lagi, besok-besok juga lebih hati-hati, oke?"

"Oke."

"Sekarang ayah bantuin lap badannya, ya? Terus ayah temenin bobok."

Zai mengangguk semangat. Membiarkan Alvan mengambil sepedanya dan mengunci gerbang terlebih dahulu.

"Ayo," Zai menerima uluran tangan Alvan.

Diperjalanan, Zai mengatakan. "Padahal adek mau main pistol-pistol itu, ayah."

"Besok."

***

Alvan memeluk tubuh Zai, sesekali mencium kepala Zai sedikit lama dengan mata terpejam.

Keduanya diatas kasur milik Zai.

Zai mendongak. "Ayah."

"Hm?"

"Tadi kan Zai adek dirumah bapak, disana adek seneeeng banget. Soalnya disana ada ibu, ada bapak, terus adek dimakasin ayam, pas makan adek juga ada temennya. Terus terus, adek cerita banyaaak banget sama bapak sama ibu."

Alvan tersenyum tipis, semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Zai, lalu menepuk pantat Zai pelan.

"Ayah."

"Apa, nak."

Seperti ingin mengungkapkan sesuatu, tapi Zai terlihat tak bisa menjabarkannya. Pada akhirnya Zai hanya menggeleng pelan dan mengeratkan pelukannya pada Alvan.

Kemudian kedua mata Zai perlahan memejam.

Alvan masih menepuk pantat Zairo, lantas ia menundukkan kepalanya. Menatap wajah damai Zai kala tertidur lelap.

Tangan yang tadi Alvan gunakan untuk menepuk pantat Zai, kini beralih mengusap pipi anak itu.

"Zai udah jadi anak hebat, ayah sayang banget sama kamu," Setetes air mata mengalir begitu saja. Alvan mengecup wajah Zai berulang kali.

Karena Alvan masih mengingat pekerjaan, ia bangkit dari tidurnya. Sejenak Alvan memandangi wajah damai itu lagi.

Sebelum benar-benar pergi, Alvan mencium pelipis Zai, lalu menaikkan selimut hingga dada.

Zai and the final destiny [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang