Zai menghentikan sepedanya diluar gerbang, ia tersenyum saat melihat ada Alfan yang berdiri diluar pos.
"Om Alvan," Panggilnya mendayu.
Alvan langsung berjalan menuju gerbang dan membukanya agar Zai bisa masuk.
Zai langsung mengayuh sepedanya cepat tanpa mengucapkan terimakasih kepada Alvan yang sudah membukakannya pintu.
Menggeleng menatap Zai. "Dasar, anak nakal."
Zai masih terus tertawa sembari mengayuh sepedanya, merasa puas telah mengerjai Alvan. Zai tidak langsung pulang kerumahnya, ia masih bermain-main dihalaman luas kediaman Gustiwana, terus memutari halaman rumah itu dengan sepedanya.
Setelah beberapa putaran, Zai mengayuh sepedanya kearah Alvan yang masih berdiri dan mengawasi dirinya sejak tadi.
"Om, nanti temen Zai mau main kesini."
"Oh ya? Si Evin?"
"Iya. Sama Aqil juga."
"Sekarang ganti baju, besok masih sekolah, kan?"
"Kalo Zai nggak ganti baju?"
Berjalan mendekat. "Nanti om gigit kamu," Mengangkat Zai gedendongannya. "Ayo, om bantu ganti baju."
Kedua kaki Zai menendang udara. "Sepeda Zai."
"Kita ganti baju dulu."
"Om Alvan nakal, nggak mauuu."
***
Setelah membantu Zai untuk berganti baju, Alvan langsung kembali ke pos. Bagaimanapun tugasnya disana, bukan mengurusi Zai dua puluh empat jam penuh.
Disisi Zai, anak itu masih merasa kesal dengan Alvan. Zai paling tidak suka dengan yang namanya pemaksaan. Om Alvan menyakiti hati Zai.
Karena lapar, Zai mengambil piring dan berjalan keluar.
Melompat-lompat kecil dan mengangkat piring plastiknya keudara.
Sebelum masuk pintu belakang, Zai melemas sandal yang dipakainya lebih dulu. Perlahan kaki Zai menyentuh lantai.
Zai berjalan menuju dapur.
Saat melihat sosok Prayuni tengah mencuci piring, Zai tersenyum lebar sembari berlari mendekati wanita itu dan memeluknya, membuat Prayuni sedikit terkejut. Namun Prayuni langsung tersenyum begitu menemukan tuan kecilnya.
"Mau makan siang?" Tanya Prayuni.
"Iya," Melepas pelukannya, lalu menyengir. "Ada sosis goreng kayak kemarin nggak Bu?"
"Zai mau sosis?"
"Mau ... Kalo ada."
"Ibu gorengin sebentar."
Menggeleng cepat. "Kalo nggak ada sisa nggak usah Bu, yang ada aja."
"Loh? Kenapa? Gapapa kok."
Zai memeluk erat piring yang ia bawa. "Zai malu."
Yuni menyamakan tingginya dengan Zai, dirapihkannya poni yang mulai menutupi dahi anak itu. "Malu kenapa? Kalo Zai mau, gapapa. Nggak ada yang mau marahin Zai kok."
"Tapi kan itu punya Gasta, Zai malu kalo minta-minta."
Yuni langsung memeluk Zai, mengusap punggung sempit itu. Hidup enak, makan enak, keluarga harmonis hanyalah cerita masalalu untuk Zai. Sebagian perjalanan manis yang pernah Zai rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zai and the final destiny [Completed]
RandomZai, laki-laki kecil pemilik jiwa kuat untuk tetap bertahan. Jika anak balita memukul saudarinya, apa yang akan dilakukan? Menyalahkan balita yang memukul, atau membela yang dipukul? Haha, sama saja. Zai itu anak kuat, anak hebat dan mandiri. Apa it...