ZFD | CH-22

14K 1.8K 111
                                    

Yuni berlari tergesa-gesa menuju sumber suara. Saat menyapu lantai ruang makan, tiba-tiba mendengar suara jeritan tuan kecilnya yang tak biasa.

Yuni melihat Zai yang menangis. Namun heran karena Karla juga turut menangis meski tak seperti Zai.

Zai yang melihat Yuni pun langsung berlari, dengan sigap pula Yuni menggendong Zai.

"Ibu adek takut, adek mau pulang," Katanya sambil menangis. Tubuh Zai bergerak heboh digendongan Yuni meminta keluar dari rumah ini.

Rumah yang selalu Zai puji karena kemewahannya, tapi ternyata didalam sini tidak enak. Zai lebih suka dirumah kecilnya yang sederhana.

Yuni berusaha menahan tubuh Zai yang terus bergerak, membuat ia sedikit kualahan.

"Adek adek, diem dulu, nak."

"Enggak mau ... Mau ayah," Tangisan Zai semakin keras.

Karena kualahan menahan Zai, Yuni melirik Karla sejenak sebelum membawa langkahnya keluar bersama Zai. Dalam langkahnya Yuni terus berpikir kenapa Zai bisa sampai menangis seperti ini saat bersama Karla.

"Ayah."

Yuni mengusap air mata dipipi Zai.

"Ibu ... Zai ... Ayah."

"Iya, kita ke ayah. Tapi adek jangan nangis."

Begitu melihat Alvan didalam pos, Zai sengaja mengeraskan suara tangisannya. Lebih keras dari sebelumnya. Seolah memberitahu kalau ia menangis.

Terbukti Alvan langsung menoleh dan beranjak.

Dari kejauhan Zai sudah merentangkan kedua tangannya. "A-yah ... Mau ayah."

Sampai dihadapan Yuni, Alvan langsung mengambil alih Zai dan menepuk punggung tuan kecilnya.

"Kenapa, bi?"

Yuni menggeleng. "Saya juga nggak tau. Pas lagi nyapu tiba-tiba dek Zai udah nangis kejer, tapi ada nyonya Karla juga. Nyonya nangis."

"Loh?" Dahi Alvan mengkerut tak mengerti. Ia masih terus menepuk punggung Zai agar tenang. Tangisannya memang tidak sekeras tadi, tapi Zai juga belum berhenti. Entah sesedih apa yang Zai rasakan.

"Alasannya apa juga nggak tau. Yaudah, nitip Zai ya ... Saya mau lanjutin kerja. Nanti saya kesini lagi sambil bawa makanan."

Alvan mengangguk. Membalikkan badan dan melangkahkan kakinya memasuki pos, bersama Zai digendongannya.

Setelah Alvan mendudukkan diri, Alvan menjauhkan wajah Zai dari pundaknya. Ia tangkup kedua pipi Zai dan mengusap jejak air mata dipipi anak itu juga.

"Coba liat," Tersenyum. "Anak ayah sedih?"

Dengan bibir mengerucut menahan tangis, Zai mengangguk.

Melihat anggukan kepala Zai, Alvan langsung menarik Zai kepelukannya lagi. Sontak tangisan yang Zai tahan kini berubah menjadi tangisan lirih bak orang dewasa.

"Oke oke ... Anak ayah udah hebat, gapapa."

Meski Alvan tidak tahu menahu mengenai alasan Zai menangis, Alvan tetap memberikan Zai kata-kata penenang.

"Anak hebat ayah lagi nangis nih," Mengusap punggung Zai. "Cup cup ... Eh, adek mau beli cilok nggak? Nanti kayaknya penjual yang biasanya lewat deh. Adek mau nungguin? Sama ayah?"

Zai mengangguk tanpa bersuara. Ia masih menangis lirih.

"Kalo es pisang coklatnya? Apa mau es gabus? Yang warna warni ya? Adek suka yang berapa warna? Banyak apa sedikit?"

Zai and the final destiny [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang