Kemarahan Sang Penguasa

27 7 2
                                    

Randu tersungkur saat kaki jenjang pria bertopeng menendangnya. Tubuh tua randu gemetar, pelipisnya terluka, dan disepanjang pipi kirinya terdapat goresan panjang hasil dari mahakarya sang tuan. Darah merembes keluar dari luka dan memenuhi  hampir seluruh wajah randu, kekejaman yang selama ini ia perlihatkan kini menghilang, menyisakan ketakutan yang begitu jelas tergambar di wajahnya tuanya.

“Bukankah aku memintamu melatih gadis itu? Apa kau sudah tidak ingin menjadi orangku, jika iya katakan saja. Aku bisa menggantimu dengan yang lain, yang lebih layak dan lebih baik. Yang patuh dan berpikir ribuan kali sebelum bertindak bodoh,” pria bertopeng itu mengetukkan tongkatnya, bunyi berdetak memenuhi ruangan penyiksaan. Sepatu mengkilapnya kini lenyap, berganti dengan sepatu hitam berselimut darah randu.

Terkapar tak berdaya, nafas randu tersengal. Ia merayap layaknya cicak di dinding, memegang kaki sang tuan dengan penuh perjuangan. Randu mengabaikan rasa sakitnya dan bersimpuh dibawah kaki pria dengan usia yang jauh lebih muda darinya.

“Maaf tuan, saya lancang. Tapi mohon ampuni kelalaian saya," randu berusaha mati-matian untuk duduk, membungkuk hormat di depan tuannya. Kepala randu menyentuh ujung sepatu sang tuan, nyaris mencium. Harga diri yang selama ini ia agung-agungkan didepan anak asuhnya, tidak berarti disini. Ia hanya budak kotor didepan pria besar ini. Pecundang yang terlanjur angkuh karna berada disamping sang penguasa. Pemilik segalanya, pria muda tampan yang memungut kotoran sepertinya. 

“Apa kau sekarang sudah mulai bersikap seperti manusia suci? Aku memintamu melatih gadis itu dengan keras. Apa kau tuli!” Suara berat khas pria dewasa menggelegar, memenuhi setiap sudut ruangan gelap yang lembab itu. Kemarahan yang tersembunyi dibalik topeng emas itu mampu membuat sekujur tubuh randu gemetar. Bau besi berkarat serta temaramnya lampu, membuat siapapun akan gemetar ketakutan.

“Saya hanya takut dia terluka tuan, mengingat anda sangat menginginkan gadis itu ada di pihak anda,” randu menelan saliva nya, bergetar ditempat ketika ketukan sepatu mahal milik tuannya menjauh, dengan cahaya remang-remang randu dapat melihat tubuh tinggi menjulang milik sang tuan membelakanginya. Bahu lebar yang kokoh dengan guratan indah tak tertandingi.

“aku sudah katakan padamu, siksa dia bila perlu. Aku tidak peduli! Lakukan apapun pada gadis itu, lahir kan dendam dan rasa benci di dalam dirinya, aku memang menginginkan dia, tapi bukan dia yang lemah dan baik hati. Kau pikir aku sudi bersanding dengan gadis suci baik hati."

Sang tuan menarik kerah baju randu, memaksa tubuh itu berdiri didepan nya. Mengarahkan pisau putih dengan gagang berukir singa yang begitu indah.

Randu mendongkak ketika pisau putih mengkilap itu menyentuh batang lehernya, “akan saya lakukan.” Gemetar ketakutan, randu hanya bisa pasrah dan mematuhi tuannya.  

“Jika kau mencoba bersikap manis lagi padanya, maka kepalamu akan terpaku di aula utama. Sudah lama tempat itu kosong, jika beruntung mungkin kau akan mendapatkan kehormatan untuk membusuk disana.” Dibalik topeng kuasanya, ia memandang hina randu, "lakukan apapun yang tidak membuat nyawanya lenyap, jika hanya sekedar luka atau lebam itu masih bisa aku terima." 

Dentuman pintu berhasil membuat randu bernafas lega, ia jatuh lunglai di atas lantai marmer dingin. Mengepalkan erat tangannya, ia menyentuh luka di pipinya. Kekejaman muncul lagi di wajah tuanya.

Puri tersedak saat randu tanpa perasaan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air. Ia terduduk, melotot melihat randu yang tengah memandangnya marah. Ada beberapa luka dan memar di wajah randu, bibir pria itu juga terlihat pucat. Tubuhnya gemetar seakan ia bisa jatuh kapan saja. Dalam hati, puri bertanya-tanya apa yang sudah terjadi pada pria tua itu. Siapa yang sudah menyiksanya? Dan apa motifnya.

“Kau tidak ada di sini untuk bermalas-malasan nona!” Randu menekan setiap ucapannya, memadamkan setiap amarah dan rasa penasaran puri yang baru saja akan meledak.

“Kau tidak perlu melakukan itu, cukup teriaki saja namaku,” disisa keberaniannya puri menatap randu, seakan mengatakan bahwa ia tidak takut.

“Aku akan memenggal kepala mu jika dalam satu menit kau tidak keluar dari dalam kandang babi ini,” randu membanting ember hitam yang ia gunakan untuk menyiram puri, meninggalkan gadis itu dengan keangkuhan yang coba ia pertahankan. Meskipun puri yakin, pria itu bisa tumbang kapan saja.

“Lihat saja randu, suatu saat nanti akan ku buat kau memohon untuk tidak membunuhmu.”

Jiwa tersungkur saat randu memukul perutnya dengan tongkat pemukul. Pemuda itu memegang perutnya, merasakan perih yang amat sangat di bagian dalam kaus hitam lusuhnya.

“Jangan sentuh adikku, bajingan!” lava baru saja ingin melayangkan tinjunya, tapi randu memukul pemuda itu dengan kencang.

Lava terbatuk, mundur beberapa langkah akibat pukulan randu. Semua orang terdiam, puri menatap perkelahian itu dari kejauhan dengan ngeri. Ternyata randu begitu mengerikan saat sedang marah, ingatkan padanya untuk tidak membuat randu kesal. Barangkali suatu saat nanti dia tidak sengaja melakukan kecerobohan hingga membuat randu terbakar amarah.

“Mulai sekarang aku tidak akan berbaik hati lagi pada kalian. Jika kalian menyentuhku maka aku tidak akan segan-segan membunuh kalian!” Kilatan kekejaman di mata randu membuat mereka bergidik. Tidak ada kebohongan di mata tua itu, randu sungguh-sungguh ketika mengatakannya. Mereka sadar saat ini perasaan randu sedang buruk, pria itu memang sering marah tapi kali ini entah kenapa hawanya terasa berbeda. Randu seperti singa kelaparan yang siap memangsa siapapun di depan matanya. Dan mereka adalah mangsa yang bagus untuk diterkam. Tidak ada yang akan peduli dengan kematian mereka, setidaknya tidak di tempat ini. Mereka bukan apa-apa, membunuh salah satu dari mereka tidak akan berefek apapun.

Puri membungkus gagang pisau buatannya menggunakan baju yang ia temukan di dalam lemari. Melilit kain itu menggunakan ilalang yang ia temukan di sekitar pondok.
Dia menghela nafas lega ketika pisau buatannya telah selesai ia tempa. Menatap telapak tangan yang mulai terasa kasar, luka bakar beberapa hari lalu juga masih belum terlalu sembuh. Mungkin butuh sehari lagi untuk luka bakarnya benar-benar lenyap.

Randu sudah menghilang sejak tadi, hujan kembali turun dengan deras. Puri duduk termenung di dalam kamar seorang diri. Memilih menjauh dari para anak laki-laki yang sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu di meja makan. Ia menatap wajahnya di cermin, mengambil pisau buatannya dan menatap benda itu lama. Bentuknya jelas tidak bagus, benda itu juga tidak terlalu tajam tapi melihat usaha yang sudah ia lakukan untuk pisau itu, membuat puri sadar jika randu melatihnya dengan cara yang benar. Puri yang dulu mungkin tidak akan pernah bisa membuat pisau ini, puri yang dulu bahkan tidak akan mau memegang palu dan membuang waktunya untuk hal yang tidak menyenangkan. Randu mungkin kejam tapi pria itu membuat puri untuk pertama kalinya melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan berhasil. Ia dan pisau mungkin memang tidak akan pernah terpisahkan, dibalik kaus lengan panjangnya, diatas kulit lengannya terdapat beberapa goresan yang ia buat saat dunianya sedang tidak baik-baik saja. Ketika kepalanya terlalu penuh dan mulutnya terlalu letih hanya untuk mengatakan "aku tidak baik-baik saja."  

Puri bingung, haruskah ia berterimakasih pada randu ataukah tetap membencinya seperti biasa. Puri kembali memandang pantulan wajahnya di cermin, menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Puri menyentuh wajahnya dan merasakan jika wajahnya mulai terasa kering dan bertekstur. Dia tidak pernah seburuk ini, meski memiliki hidup yang cukup berantakan setidaknya ia akan selalu merawat dirinya yang dapat dijangkau oleh mata manusia. Dia yang dulu tidak akan mungkin membiarkan matahari membakar kulitnya.

"Aku benci tempat ini."

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang