Berburu

17 3 0
                                    

"Niko saat ini pasti sedang kesal, dia pasti ingin membunuhmu. Puri kau dalam bahaya," Nala mengunyah daging kodok bakar di tangannya, dengan mulut setengah penuh ia berbicara dengan begitu antusias.

"Tidak hanya Niko, semua yang tersisa dan punya sedikit lebih banyak nyali serta tenaga pastilah mengincar kepalanya." Benua sudah tampak lebih tenang, tiga jam setelah menyumpahi puri dengan sangat amat buruk, pria itu akhirnya menyadari kesalahannya. Ia mulai mengingat dan sadar tentang betapa ia sangat menyebalkan selama ini, pengeluh handal dan terlalu banyak bicara omong kosong. Ia bahkan malu karena terlalu sering mengeluh tentang pakaian dalam, dimana hal tersebut tidak pernah dikeluhkan oleh anak lain termasuk puri, satu-satunya gadis di kamp. Masing-masing dari mereka mulai mengerti betapa sulitnya posisi gadis itu, beban dan rasa sakit yang sialnya tidak bisa puri bagi pada siapapun. Keegoisan membuat ia lupa jika satu-satunya orang yang menanggung terlalu banyak beban adalah puri, gadis yang begitu sering ia curigai tapi ternyata berperan sangat besar dalam keberlangsungan hidupnya selama ini.

"Angka-angka itu juga bisa menakuti mereka, aku yakin setelah melihat jumlah korbanku mereka pasti mengira aku sangat berbahaya." Puri menarik botol minumnya, melempar sisa tulang diatas bara api yang telah padam. Meneguk hingga air di dalamnya tandas seketika, ia menarik nafas sejenak kemudian kembali menatap wajah teman-temannya. "Walaupun faktanya tidaklah seperti itu." Wajah puri tampak muram, meski keadaan sudah membaik dan ia telah berhasil menyakinkan teman-temannya, tapi dia tahu jika dia bukanlah apa-apa. Hanya gadis ceroboh yang secara kebetulan beruntung berhasil membunuh begitu banyak orang-orang lemah, sampah yang tidak pernah diharapkan.

"Tidak seperti itu bagaimana, kau membunuh hampir dua ratus kepala orang dewasa, dengan tubuh sekecil ini siapa yang bisa menyangka kau dapat melakukannya. Anak-anak yang berada diarena pastilah tidak ada apa-apanya." Kata lava dengan cepat, dengan sedikit perasaan bangga ia tersenyum tipis memandang puri. 

"Mereka tidak punya tenaga untuk melawan, tidak sulit menikam jantung orang yang bahkan tidak mampu mengangkat wajahnya. Lagipula aku yang tahu kondisinya, kalian terlalu berlebihan." Semua orang tidak terlalu mendengarkan puri, bagi mereka untuk saat ini puri adalah senjata pelindung yang luar biasa. Saat ini pastilah yang lain mengira bahwa mereka akan sangat sulit dikalahkan karena kehadiran puri ditengah-tengah mereka. Gadis vampir kegemaran seluruh warga kota, dengan gaun merah yang telah berhasil memikat banyak sponsor dan membuat mereka kebanjiran begitu banyak berkah. Lava sendiri sangat amat mensyukuri kehadiran puri, jika tidak ada gadis itu mungkin saja ia telah mati dengan hampir seluruh wajah membusuk akibat bola-bola aneh yang sempat menyerang kelompok mereka beberapa waktu yang lalu.

Mereka semua mengelilingi Nala yang saat ini tengah berjongkok dibawah sana, ia sibuk menggambar peta kotor area desa. Memberi beberapa tanda silang untuk daerah-daerah yang mungkin telah dikuasi Niko dan teman-temannya. Ia juga menarik beberapa tanda sebagai petunjuk tentang keberadaan gadis yang ingin sekali puri rekrut ke dalam kelompok mereka. "Mungkin kita bisa mulai dari taman kota, diseberang-nya ada sebuah bangunan tua bekas pabrik gula. Aku rasa ada anak yang bersembunyi di sana." Nala memberi tanda bulat besar pada gambar yang dimaksudkan sebagai pabrik gula.

"Apa kau yakin ada anak yang bersembunyi di sana? Bukankah kebanyakan bangunan bekas pabrik itu." Riuh terdiam sesaat setelah nala dengan cepat memotong ucapannya.

"Berhantu, tepat sekali. Beberapa anak seusia kita percaya dengan semua bualan itu, tempat tua yang telah lama ditinggalkan mungkin akan memiliki penghuni dari dimensi lain. Tapi pada saat-saat seperti ini aku yakin ada segelintir anak yang tidak peduli dengan hantu, bangunan itu luar biasa luasnya. Aku yakin ada beberapa anak di sana, jika kita bisa mendapatkan mereka itu akan bagus sekali." Puri melirik riuh, ia menyadari dengan mudah ketakutan pria itu kepada hantu setelah mendengar Nala menjelaskan sedikit cerita lama tentang bangunan tak berpenghuni. Sudah bukan rahasia lagi jika semua anak kecil memiliki kisah seram mereka tersendiri. Entah itu bangunan sekolah bekas kuburan, atau rumah sakit yang dulunya adalah tempat penyiksaan bekas perang di masa lampau. Riuh mungkin menjadi salah satu dari mereka yang percaya cerita dari mulut ke mulut itu, meraka juga menyadari bagaiman alis pria itu berkerut dan tangannya gemetar kecil. Reaksi alami yang muncul saat seseorang merasa takut.

"Tapi bagaimana jika Niko menjadikan tempat itu sebagai markasnya, kita akan menjadi santapan lezat bagi mereka setelah tiba di sana," Selama beberapa saat semua orang terdiam, memandang benua dengan tangan saling bertaut.

Benua menatap puri sedikit, ia berharap gadis itu mau berada di pihaknya. Namun, tampaknya harapan benua sia-sia, ia menemukan jika puri tidak peduli dengan keberadaan niko. Gadis itu seperti tidak memiliki ketakutan sedikitpun di matanya, pancaran tegas dengan aura siap berperang yang begitu kuat. Membuat benua menyadari satu hal, jika randu telah berhasil. Ia telah membentuk puri seperti tentara dari dunia bawah, yang siap melawan apa saja yang menghalangi jalannya.

"Itu tidak akan terjadi," kata Nala sedikit ragu.

"Bagaimana bisa kau berpikir begitu?" Tanya virgo penasaran.

"Sebenarnya, Niko amat takut dengan hal-hal mistis. Itu adalah salah satu kelemahan anak itu, dia tidak mungkin mau bersembunyi ditempat seperti itu. Selama mengamati mereka aku menyadari sesuatu, kelompok itu tidak pernah menjadikan bangunan sebagai tempat berlindung mereka. Niko lebih suka tertidur di alam terbuka, dengan cahaya bulan dan api unggun besar. Lagipula mereka tidak mungkin jauh dari sumber air. Saat hujan turun, mereka akan menepi dan setelah itu kembali ke alam terbuka." Keringat membanjiri wajah Nala, dengan beberapa kemerahan dan kulit terbakar. Gadis itu menatap jauh ke dalam hutan, ia selama ini telah mengamati hampir separuh peserta yang telah bertahan. Mengingat dengan baik semua kebiasaan orang-orang yang ia temui, karena memang hanya itulah yang bisa ia lakukan. Dia tidak terlalu pandai berkelahi, tidak lihai menggunakan senjata dan agak lamban. Satu-satunya kemampuan yang patut yang banggakan dari dirinya adalah kemampuan mengingat dan mengamati. Sudah bukan rahasia umum lagi jika Nala lemah dalam kegiatan fisik, puri tersenyum kecil saat memandang Nala. Temannya itu memang jenius sejak dulu, kemampuan mengingatnya selalu membuat puri terpesona. Dia beruntung bisa bertemu dengan Nala, gadis itu banyak membantu mereka. Tentang tumbuhan yang dapat dimakan serta peta wilayah desa dimana mereka akan bertempur.

"Jadi kita berangkat sekarang?" Jiwa bertanya dengan penuh semangat, yang lain tampak setuju dan mulai mengemas beberapa barang bawaan mereka.

"Kita akan sampai dalam tiga jam, dan dalam waktu selama itu sebaiknya kita menghindari tempat terbuka." Kata Nala setelah bangkit dari aktivitas mengencangkan ikatan tali sepatunya.

"Kau ditengah, itu akan lebih aman untukmu. Virgo akan berjalan memimpin dan aku akan berjaga dibelakang." Semua mengangguk tanpa protes, lava menuggu yang lain berjalan kemudian menyusul dibelakang.

Mereka berjalan dalam kesunyian, matahari menyengat begitu terik. Puri dapat merasakan wajahnya terbakar oleh matahari, rasa pedih terasa begitu pekat saat cairan keringat mengaliri wajahnya. Wajah puri merah padam, begitupun yang lainnya, tapi meminta waktu untuk sekedar beristirahat akan membuang-buang waktu mereka. Jika tidak cepat maka mereka baru akan tiba esok hari, dan saat itu terjadi mungkin saja mereka sudah keduluan yang lain. Mereka begitu menghindari hal-hal semacam itu, kesempatan tidak datang dua kali. Seperti yang telah Nala katakan, saat ini kelompok karier tengah mengeledah pusat desa. Beruntung mereka telah meninggalkan tempat itu sebelum kedatangan kawanan karier, jika terlambat sedikit saja mungkin saat ini mereka telah kalah. Jumlah orang dalam kelompok dan persediaan senjata akan begitu menghambat, lagipula hanya ada enam orang yang dapat bertarung. Nala lemah dalam hal ini dan jika benar mereka ditemukan, maka kematian mungkin akan berada tepat diujung lidah mereka. Semua orang kelelahan, tapi tidak ada satupun yang berani membuka pembicaraan untuk meminta waktu istirahat, bahkan benua tampak berpura-pura kuat dengan kaki-kakinya.

Lalu sekali lagi, setelah menatap punggung lelah teman-temannya puri menemukan satu lagi alasan paling masuk akal untuk membenci thanatos. Mereka tidak seharusnya hidup di dunia yang seperti ini, meskipun tetap saja sulit tapi setidaknya kesulitan itu berasal dari mimpi-mimpi yang coba untuk diraih, kebebasan, serta keinginan mendapatkan gelar. Dan jika ada yang mendamba kematian, setidaknya itu terjadi atas dasar kesadaran masing-masing jiwa yang telah lelah. Bukannya berperang satu sama lain seperti ini, dengan kemampuan yang terpaksa dilatih. Thanatos jelas telah merenggut hak-hak mereka.

"kau akan membalas segalanya!"

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang