Dimulai

21 2 0
                                    

"Pakaian ini di rancang mampu melindungi mu dari panas dan dingin tapi hanya mampu bertahan selama dua puluh empat jam setelah kau masuk ke arena. Setelah itu dia hanya pakaian biasa, dengar puri semua anak disana ingin menang. Lawanmu bukan hanya gadis yang fotonya ku berikan padamu, kau punya ratusan lawan bahkan disaat seperti ini teman adalah musuh. Berhati-hatilah." Randu tengah mengencangkan ikatan tali sepatu puri, ia sudah mengoceh sejak dari dalam mobil yang membawa mereka keluar dari hutan.

"Randu," puri menarik bahu randu, pria itu berdiri dengan wajah lelah di depannya, cekungan hitam menghiasi lingkar mata tuanya, "bukan salahmu dia pergi. Terlahir sebagai orang miskin bukanlah dosa dan menjadi ayah yang miskin juga bukan kesalahan. Kau tidak harus selalu hidup dalam rasa bersalah dan dendam. Dia sudah bahagia sekarang dan tengah melihat perbuatanmu dari atas sana, jadilah orang baik randu. Jika ini pertemuan terakhir kita, aku ingin mengucapkan terima kasih. Kau guru yang hebat." Nafas randu tercekat, ia perlahan mundur dan menatap puri takut. Wajah tenang dan perkataan puri mampu menyentil sedikit hati kecilnya, bayangan masa lalu yang kelam hadir kembali menghiasi otaknya. Randu terkesiap, matanya merenung kosong dan tangannya dingin.

Rahasia itu. Aib miliknya yang ia sembunyikan dengan rapi, bagaimana mungkin gadis di depannya tahu segalanya, tentang rasa sakit dan amarahnya. Bunyi dentang jam memenuhi ruangan kecil tempat puri akan di kirim. Gadis itu merengkuhnya sejenak dan berbalik pergi memasuki lift yang akan menuntunnya pada kematian. Puri melambai, memandang randu dengan senyum kecil untuk yang terakhir kalinya. Wajah menyebalkan yang sudah menemani randu selama hampir setahun ini menghilang dari balik besi putih pemisah antara hidup dan mati. Puri sudah pergi, gadis itu tidak pergi dengan tangan kosong ia pergi bersama dengan kenangan masa lalunya yang entah dari mana sudah puri ketahui.

Lift tertutup dan turun secara perlahan ke bawah, sinar matahari menyengat menyambut puri. Ada beberapa suara tak asing di dekatnya, puri memandang beberapa gedung-gedung setengah rubuh di sekitarnya. Ada banyak lumut dan lumpur di bawah kakinya. Tempat itu seperti kota mati yang sudah di tinggalkan selama puluhan tahun. Jalanan kota yang dulu indah kini berubah menjadi rawa panjang dengan bau tanah yang begitu mengerikan. Sinar matahari terang benderang di atas langit, pakaian yang ia kenakan secara perlahan menyalurkan uap dingin sejak kakinya menapaki arena.

"Puri!" Teriakan lava mengejutkan puri, di ujung sana tepat di samping mobil tentara yang setengah hangus berdiri empat anak laki-laki yang begitu ia kenali. Dengan pakaian merah menyala persis seperti miliknya, mereka tampak berkilau di bawah sinar matahari. Rambut-rambut hitam terpangkas rapi, dengan kaki separuh penuh lumpur mereka berlari mendekati puri. Tas-tas kosong melekat di punggung mereka, benua sampai lebih dulu di depan puri, wajah pria itu kotor oleh lumpur yang puri yakini benua telah terjatuh saat tiba di arena. Mereka berdiri mengelilingi puri, tepat di samping rambu lalu lintas, mereka berkumpul dengan wajah ngeri. Tempat itu tidak seperti yang mereka bayangkan, tidak ada alat tempur, tanpa halang rintang, dan tanpa musuh. Mereka seakan berdiri di atas ambang kemusnahan bumi, hanya ada mereka tanpa ada yang lainnya. Bunyi sirine nyaring memekakkan telinga, sebuah cahaya kekuningan menyala di ujung gedung pencakar langit. Ada sebuah tulisan muncul tepat di atas gedung itu, mata puri menyipit untuk berusaha membaca tulisan yang tergantung di atas sana.

"Selamat bersenang-senang." Jiwa membaca tulisan itu dengan suara kecil, ia memandang wajah saudara lali-lakinya.

Setelah tulisan itu menghilang dari langit turun hujan bunga sakura yang begitu banyak, jumlahnya bisa ribuan jika puri berniat untuk mengumpulkannya. Kelopak-kelopak pink berjatuhan di atas segala benda yang ada di tanah, tangan puri menengadah ia menggenggam satu kelopak bunga sakura. Jika di perhatikan dengan seksama di atas permukaan kelopak bunga itu terdapat ukiran kecil berbentuk topeng. Mereka saling pandang satu sama lain, bunyi meriam berdentum keras hingga berhasil menggetarkan tanah. Lava menutup kedua telinganya dan memandang asal suara itu.

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang