Puri, Virgo, dan Jiwa

30 6 1
                                    

Setelah melalui badai panjang yang mencengkam, akhirnya hari ini puri dapat menikmati hangatnya sinar matahari. Ia berjalan melintasi padang rumput dengan kaki telanjang, merasakan gelitikan kasar dari rumput dan lumpur di tanah. Puri menghirup aroma tanah dengan rakus, merentangkan kedua tangannya dengan mata terpejam. Menikmati kesunyian seorang diri di tepi hutan, membuat perasaan puri sedikit lebih tenang. Ketidakhadiran randu selama beberapa hari belakangan, mampu membuat puri merasa sedikit lebih hidup. Ia merasa bebas dan nyaman, meski ia tahu kesenangan ini hanya sementara. Cepat atau lambat randu akan datang dan kembali menghancurkan hidupnya. Dengan tidak berperasaan, mengorek semua hal baik yang ada pada dirinya, hingga tidak ada yang tersisa.

Bunyi gedebuk seperti buah kelapa jatuh dibelakang tubuhnya, membuat puri spontan membuka mata. Ia berbalik dengan cepat dan melihat jiwa jatuh tersungkur dengan lumpur menggenang dibawah tubuhnya. Wajah pemuda itu kotor oleh lumpur, ia nyengir memandang puri yang tampak tidak peduli. Bangkit dengan canggung, jiwa membersihkan wajahnya dengan baju dan berjalan mendekati puri.

"Licin sekali ya," jiwa menepuk pelan bagian depan bajunya, mencoba membersihkan noda yang tidak mungkin pernah bersih jika hanya ditepuk dengan tangan kosong.

"Kau tersandung kakimu sendiri, dan terdengar sangat konyol saat kau menyalahkan kubangan itu."

Jiwa menggaruk tengkuknya, berjalan mengikuti puri dibelakang dan ikut duduk saat gadis itu menjatuhkan bokongnya diatas kayu tumbang akibat badai. Jiwa mengamati wajah puri dari samping, bagaimana keadaan merenggut lemak pipinya dan menciptakan cekungan hitam dibawah mata mantan kekasihnya itu.

"Tempat ini banyak merubah kita, benar kan?" Tersentak, jiwa menatap mata coklat milik puri saat gadis itu berbalik menghadapnya.

Tatapan lelah puri mampu membuat lidah jiwa kelu. Semakin dalam ia memandang puri, semakin jelas sekali jika tempat ini benar-benar telah membunuh gadis itu. Kekosongan yang tidak pernah jiwa lihat dulu, kini menguasai netra coklat milik puri, bagaimana binar itu menghilang menjadi sorot menyedihkan. Binar kecil menggemaskan yang dulu amat ia senangi, bagaimana pupil mata itu membesar ketika rasa bahagia membuncah. Dimana mata yang dulu mampu membuat jiwa jatuh cinta. Kemana kah perginya kenyamanan yang tercipta hanya karna ia menatap mata gadis itu, kenapa orang-orang begitu kejam. Menyiksa gadis sebaik puri, menghancurkan, bahkan membunuh keceriaan yang dulu selalu mampu membuat semua orang terpukau. Puri jauh terlihat lebih menyedihkan dari benua, yang terus saja mengomel tentang jeleknya kualitas pakaian dalam yang mereka dapat. Puri jauh lebih kesepian daripada riuh. Dan jauh terlihat lebih lelah dari mereka semua. Sebenarnya apa yang terjadi dengan gadis disamping nya ini, apa yang telah mereka renggut darinya. Hingga rasanya ia mereka begitu jauh.

"Kau baik-baik saja?"

Terkekeh pelan, puri mengalihkan pandangannya. Menatap langit biru cerah diatas sana dengan air mata berlinang. "Masih bisakah kita semua baik-baik saja setelah hal buruk ini." Puri mengusap air matanya yang hampir menetes, memalingkan wajahnya saat jiwa mulai menatap wajah menyedihkannya.

"Apa randu melakukan hal buruk padamu?" Kata jiwa cepat, ia menarik kedua bahu puri. Menatap gadis itu untuk mendapatkan penjelasan.

"Dia melakukan banyak hal buruk pada kita semua," jiwa tertegun saat melihat puri menangis lagi setelah sekian lama. Tangannya terulur menghapus jejak air mata gadis itu. "Dia sudah berbuat banyak tanpa kita minta, benar kan?" Puri memegang tangan jiwa yang masih menangkup wajahnya, mata puri terpejam menikmati setiap momen itu tanpa berniat untuk berhenti. Merenggut kehangatan dari tangan jiwa, kehangatan yang begitu ia damba setelah sekian lama. Kehangatan yang mampu mengingatkan dia tentang rumah.

Puri membuka matanya mendekatkan wajahnya, menatap dalam mata jiwa. Semakin dekat dan dekat, jantung jiwa bergemuruh saat wajahnya dan puri hanya berjarak beberapa senti lagi. Apa puri akan menciumnya? Mencium bibirnya! Tangan jiwa gemetar saat puri kembali mendekat dan "aku berjanji akan mengakhiri semua lelucon ini."
Puri menarik wajahnya, mengamati kemerahan yang timbul di kedua pipi jiwa. "Kau kenapa?" Puri mengernyit bingung.

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang