Obat Untuk Lava

19 2 0
                                    

Mereka mengunyah satu-satunya daging yang bisa mereka makan, burung tanah kurus kering itu terpanggang di atas api yang mereka buat di bawah jembatan tol yang membentang di tengah-tengah kota. Hujan tengah melanda arena, kilatan petir beradu selaras tumpahan bulir-bulir putih kecil dari langit. Angin berhembus kencang, dengan dentuman dan kabut tipis menyelimuti, mereka memangku senjata seakan itu adalah bayi yang akan menangis kapan saja. Insting dan telinga harus berkerja lebih ekstra, musuh berkeliaran dimana-mana dengan kekuatan dan rencana yang tidak mereka ketahui.

Wajah lava masih terlihat buruk, lukanya terlihat memerah. Puri melumuri lukanya dengan daun binahong yang ia temukan tak jauh dari tempat mereka di serang dengan bola-bola lem. Pria malang itu berbaring meringkuk di samping mobil sedan tua, beralaskan kain-kain apek yang berhasil mereka temukan dari salah satu toko pakaian. Puri membuang tulang burung dari tangannya, mencucinya dengan air hujan yang mengalir deras di beberapa sisi jalan. Ia berjalan mendekati lava, tangannya terulur menyentuh kening pria itu dan merasakan suhu tubuh lava meningkat drastis. Dia juga terlihat gemetar dalam tidurnya, puri melirik jiwa dan dapat ia lihat pria itu tampak muram dan sedih. Ia jelas khawatir dengan kondisi kakaknya, jika tidak segera diobati mungkin lava akan segera tewas.

"Pergilah ke rumah sakit dan dapatkan penawarnya. Lantai 2 rak 8 kiri." Suara misterius terdengar mengalun di kepala mereka, saling pandang mereka menyadari jika obat itu pasti dikirim oleh sponsor untuk menyelamatkan lava.

"Aku akan pergi," virgo menahan tangan puri, dia menggeleng dan dengan cepat menarik gadis itu untuk duduk kembali.

"Aku, lava dan, riuh akan pergi. Kau dan benua akan disini menjaga lava hingga kami kembali." Puri melihat ekspresi tidak suka dari wajah riuh, adik kelasnya itu tampak ingin tinggal daripada harus berkeliaran di tengah badai dengan sekumpulan senjata mengarah ke kepalanya.

"Biarkan riuh dan benua yang tinggal," jiwa menghela nafas, ia memandang virgo dan menggeleng lemah.

"Lava akan jauh lebih aman bersama mu, kau mengerti bagaimana cara mengatasi luka bakarnya saat pertama kali bola itu mengenai dia." Virgo meraih tasnya, memikul benda itu di pundaknya dan memasang beberapa bilah pisau di ujung ikat pinggang yang ia buat dari akar pohon.

"Tapi aku tidak mau tinggal dengan pria yang suka mengeluh seperti dia," puri menunjuk benua yang terlihat masih asik mengunyah potongan kecil daging burungnya. Ia hanya melirik sedikit kemudian mengangkat bahunya. "Dia bahkan lebih peduli dengan tulang itu daripada kakak temannya."

Puri kalah, saat ini ia tengah mengamati hujan dengan tangan memegang busur panah miliknya. Virgo dan yang lain telah berangkat tiga jam yang lalu, melintasi hujan untuk mendapatkan obat menyambung nyawa untuk lava. Benua sendiri sudah memindahkan lava ke tempat yang lebih tersembunyi, di antara cekungan jembatan tepat di balik mobil es krim yang terbalik. Tubuh gemetar lava penuh oleh tumpukan kain, pakaian mereka sudah tidak bisa melindungi tubuh mereka dari panas dan dingin sebab sudah lebih dari dua puluh empat jam mereka ada di arena. Puri menggosok kedua tangannya, asap tipis mengepul saat ia menghembuskan nafas. Rambut yang semula tertata rapi kini sudah terlihat tidak berbentuk, beberapa helai tampak kotor oleh tanah dan yang lain basah terkena air. Untungnya sepatu mereka tidak tembus apapun, kondisi kaki puri masih kering dan bersih meski beberapa kali kakinya terperosok masuk ke dalam genangan air atau lumpur.

"Aku kembali teringat dengan yang terjadi di kamp, sejak pembicaraan kita di kamarmu beberapa waktu yang lalu, aku mulai menghilangkan pikiran buruk tentangmu dan hutan. Namun setelah hari itu, aku yakin kau memang sudah pernah membunuh sebelumnya. Noda merah itu, kau membual soal getah pohon." Puri terpanjat kaget saat benua tiba-tiba muncul di sampingnya dan berkata seperti itu.

"Apapun yang aku lakukan semua itu memiliki alasan dan yang terjadi di hutan apapun yang kau pikirkan aku anggap itu benar." Puri menunduk, menatap kaus kaki putih yang setengah kotor. "Lagipula kenapa kau bertingkah seperti manusia suci dan aku amat kotor bagimu. Bukankah cepat atau lambat kau pun akan menjadi pembunuh sepertiku, kau tidak mungkin akan terus begini kan?" Kening benua mengerut, ia menatap mata puri.

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang