Badai

24 6 0
                                    

Randu tidak datang menemui mereka selama hampir seminggu lamanya, keadaan diluar juga tidak baik, sejak malam dimana virgo dan puri berbincang. Badai masih terus mengguncang kemah mereka. Dan selama dua hari, sudah ada tiga pohon tumbang disisi hutan dan satu pohon tersambar petir. Atap pondok mungkin akan segera roboh jika badai masih berlanjut. Kegelisahan mulai membunuh keberanian enam anak manusia itu. Keberanian yang terbentuk atas dasar tekanan, keberanian yang muncul karena suatu keterpaksaan hilang begitu saja hanya karena badai.

Mereka mulai putus asa, persediaan makanan sudah hampir habis. Di lemari penyimpanan hanya tinggal tersisa dua bungkus mie instan, satu kaleng ikan, dan sepotong roti yang sudah ditumbuhi lumut di semua sisinya, dengan bau tengik yang sudah dapat dipastikan roti itu sudah tidak layak untuk dimakan. Jika tidak segera bertindak, maka pada kedatangan yang berikutnya mungkin randu akan menemukan mereka mati dalam keadaan kelaparan. Dan jika itu terjadi, maka randu akan segera kehilangan mukanya didepan semua orang yang ia sebut partner kerja, orang-orang yang sama sepertinya.

"Kita akan mati kelaparan jika randu tidak juga datang," riuh berjalan dengan gelisah didalam kamar puri.

Mereka semua duduk berkelompok didalam kamar kecil itu, semua ruangan didalam pondok basah oleh air hujan yang masuk akibat atap yang bocor. Dan hanya kamar puri yang aman dari air, mereka mau tidak mau harus berkumpul dalam satu ruangan sempit itu. Tidur berdesak-desakan satu sama lain, mencoba menghangati diri masing-masing dalam gulungan kemarahan semesta. Udara dingin mencekik serta keputusasaan yang mulai mengawasi, membuat suasana disekitar semakin mencekam.

Semua orang mulai putus asa, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi pada randu. Apakah dia sudah mati diluar sana? Atau kah sengaja membuat mereka mati kelaparan didalam badai. Tidak ada yang mengelak pikiran semacam itu, sejak awal randu jelas membenci mereka. Walau ia tampak begitu menyukai puri tapi semua orang jelas tahu pria tua itu menyiksanya tanpa para anak laki-laki ketahui. Puri diam saja saat yang lain gelisah dan merasa putus asa. Dia mencoba memikirkan jalan keluar daripada meringis atau mengeluh sepanjang hari seperti yang dilakukan benua selama beberapa hari ini. Ia muak, dengan segala yang terjadi. Ketidakberdayaan di wajah mereka membuat puri marah, ia sadar mungkin saat ini randu tengah asik menikmati penderitaan mereka. Dengan segelas anggur, sebatang rokok, atau mungkin sepiring besar daging panggang kualitas premium.

"Aku akan ke hutan, mungkin ada tumbuhan yang bisa kita makan dan simpan untuk persediaan," Puri bangkit dan menarik tas coklat tua yang biasa ia bawa latihan ke dalam hutan.

"Kau gila! Kau bisa mati tersambar petir," jiwa berteriak marah, wajah ringkihnya memerah karena kedinginan dan marah.

"Dan setelah itu kita akan mati membusuk karena kelaparan disini," puri meraih jaket hitam lusuh yang ia gantung di samping kaca. Menyampirkan beberapa anak panah dibelakang tubuhnya. Panah yang ia dapatkan dengan susah payah dan tentunya tidak dengan gratis. Randu tidak pernah mau memberikan mereka apapun secara cuma-cuma, ada harga mahal yang harus puri bayar hanya untuk busur dan anak panah itu.

"Kau tidak boleh pergi, aku melarang mu," lava berkata dengan lantang, tubuhnya menghalangi jalan keluar dari kamar itu.

"Aku tidak perlu izinmu untuk keluar dari tempat ini, lagipula hanya aku yang bebas keluar dan masuk hutan," Katanya malas. "Menyingkir atau kau akan melihat bagaimana gadis kecil mempermalukan mu," Puri menggulung lengan jaketnya yang kepanjangan, menatap tajam lava.

Lava meneguk salivanya, keberanian yang ia kira mampu membuat nyali puri runtuh malah berbalik padanya. Tatapan tajam dari puri mampu membuat ia menyingkir dengan cepat, tak mau membuat puri lebih kesal dari ini lagi.

"Segera kembali jika tidak ada yang bisa kau temukan," Kata virgo nyaris berteriak.

Kaki puri melangkah meninggalkan kamar, melintas melewati ruangan kecil yang biasa digunakan para anak laki-laki untuk tidur. Lantai kayu itu berderik saat puri berjalan diatas nya. Beberapa bercak air tampak membasahi lantai disertai dengan jejak kaki kotor sepatu mereka.

Puri menarik kenop pintu yang memisahkan antara dirinya dan dunia luar, membuka lebar pintu itu dan menatap sejauh yang ia bisa. Hujan masih turun dengan deras disertai angin kencang dan kilatan petir. Genangan air hampir memenuhi padang rumput di setiap cekungan halaman, tempat dimana biasa para anak laki-laki berlatih. Puri membungkus separuh tubuhnya dengan jaket kulit lusuh, kemudian berjalan menembus hujan.

Tubuh puri langsung basah ketika ia melewati atap pondok, berjalan dengan hati-hati dibawah badai. Ia menyipitkan kedua matanya, berjalan dibawah hujan deras berhasil membuat ia kesulitan melihat situasi disekitar nya. Saat puri mulai melewati pohon besar yang biasa dia pakai untuk menyendiri, gadis itu mengusap hidungnya yang mulai gatal. Ia berlari kencang ketika berhasil masuk ke dalam hutan, kakinya melangkah melewati pepohonan rindang. Didalam sini hujan tidak sebegitu mengerikan daripada ketika ia berada di tempat terbuka. Rindangnya pepohonan yang tumbuh saling berdekatan, mampu sedikit menghambat derasnya air hujan. Semakin jauh puri memasuki hutan semakin gelap keadaannya.

Puri mulai melambatkan langkahnya, memanjat pohon tua yang tumbang dan melompat pada sisi seberang. Ia berbelok ke timur dan masuk lebih jauh lagi dalam hutan, melewati anak sungai yang mulai tumpah ruah akibat hujan, kemudian berhenti dan mulai menggali di tanah tak jauh dari pohon tumbang. Ayahnya pernah mengatakan ada beberapa umbi-umbian yang bisa didapat jika kita terlalu beruntung, jauh didalam hatinya puri berharap jika ia seberuntung ayahnya dulu saat mereka menelusuri hutan dan berhasil menemukan umbi-umbian itu.

Ia menggali dengan tangan kosong, mencari umbi-umbian yang mungkin saja tumbuh jauh didalam tanah. Kukunya kotor oleh tanah kuning dan tergores batu-batu kecil ketika ia menggali. Tidak ada apapun, sudah hampir setengah jam ia mencari. Semua yang tumbuh di hutan ini hanyalah pohon keras yang tidak bisa ia jadikan makanan. Tubuhnya mulai gemetar, tulang nya mulai linu dan matanya kian lelah. Tidak mau menyerah, puri kembali melintasi hutan. Berjalan ke arah sungai yang biasa ia pakai untuk mandi dan mulai menangkap ikan kecil yang bisa ia temukan. Derasnya hujan membuat sungai tersebut keruh dan terlalu sulit untuk menyelam di dalamnya. Meski hampir mustahil, bersyukur ia punya kemampuan berenang yang baik, walau tidak seberapa puri tetap berhasil menangkap beberapa ikan kecil. Gemetar kedinginan, puri memasukkan beberapa ikan tangkapannya ke dalam tas dan pergi mencari tempat berlindung dari hujan.

Saat kakinya sedang melompati batu besar, matanya tidak sengaja menangkap gundukan besar plastik hitam diatas batang pohon yang tadi ia lewati. Puri berlari mendekati gundukan itu, membukanya dengan cepat dan menemukan beberapa buah dan bahan makanan. Ada secarik kertas diatas tumpukan ikan kaleng.

"Ambilah dan bertahan." Puri membaca tulisan itu berkali-kali, meskipun beberapa huruf sudah hampir hilang akibat air hujan. Tapi puri yakin makanan ini dikirim oleh randu.

Pertanyaannya sudah berapa lama makanan ini dikirim, dan kenapa randu tidak langsung menampakan wajah menyebalkannya seperti biasa.

Kembalinya puri dari hutan disambut dengan suka cita oleh semua orang. Mereka langsung menyimpan semua makanan yang puri dapat dan memasak dengan cara berhemat agar makanan itu bisa tahan hingga beberapa minggu ke depan. Lagipula siapa yang tahu berapa lama lagi semua kegaduhan ini berlangsung.

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang