Korban Pertama

18 2 0
                                    

Pohon-pohon besar tumbuh berdekatan, hutan ini jauh lebih mengerikan daripada hutan yang sering ia kunjungi di kamp. Tanahnya landai dengan akar pohon seukuran betis orang dewasa, menjalar hampir di sepanjang jalan yang mereka lewati. Puri menggendong tasnya dengan nafas tersengal-sengal, ukuran tas yang terlalu besar dan beban di dalam yang terlalu berat membuat punggungnya terasa sakit. Mereka berhenti di samping anak sungai dan mengambil air untuk persediaan, tidak banyak yang membuka suara, mereka terlalu lelah untuk sekedar berbincang santai. Selama perjalanan menuju hutan mereka belum bertemu dengan satupun kelompok musuh. Tempat itu bersih, hanya ada mereka. Untuk saat ini.

Puri meneguk airnya dengan rakus, mengambil pucuk daun jambu dan memakannya untuk menahan rasa laparnya. Virgo berdiri tiba-tiba dari duduknya saat ia merasakan pergerakan di tanah, pria itu berdiri dengan satu kaki bertumpu di atas akar kayu. Ia meletakkan telunjuknya di atas bibir dan melirik lava yang tampak kebingungan di tepi anak sungai. Puri menggenggam pisau yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya, gadis itu mengambil ancang-ancang siap menyerang jika apapun yang datang pada mereka itu sebuah ancaman. Tubuh benua luruh saat sebuah kayu menghantam punggungnya, pria itu terjatuh dengan kencang dalam posisi terbalik. Semua orang sontak menoleh, mereka melihat seorang laki-laki dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh berdiri dengan satu balok kayu besar di tangannya. Dia hanya sendirian tanpa ada satupun teman kelompoknya, di wajah pria asing itu terdapat beberapa luka gores kecil dan bercak kemerahan dari darah kering.

Riuh menerjang tubuh anak itu, mereka bergumul di tanah dengan tangan saling memukul. Jiwa menarik tubuh riuh memisahkan dua laki-laki itu dari perkelahian. Benua perlahan bangkit, ia merangkak dan keluar dari air. Teriakan dan makian terucap dari mulut laki-laki asing dengan pakaian biru itu. Ia tampak begitu kalut dan takut, tangannya tak henti mengarahkan balok kayu ke arah mereka. Puri menutup matanya, suara-suara kecil di kepalanya membuat sensasi pening yang begitu mengganggu. Ia mulai kesulitan bernafas, tangannya mencengkam erat batang kayu besar di sisi tubuhnya. Matanya terpejam,  bayangan kekejian yang ia lakukan di gua saat masih di kamp kembali merasuki pikirannya. Dengan cepat puri mengambil pisau dan melemparkannya tepat ke arah jantung anak laki-laki asing itu. Mata sang anak melotot, ia memandang puri dengan wajah kesakitan. Tongkat di tangannya terlepas dan ia mencabut pisau di dadanya dengan wajah penuh keringat. Waktu seakan berhenti bergerak, pepohonan berayun dengan lamban dan angin seperti berputar disitu-situ saja.

Puri memandang hamparan kota mati dalam diam, matahari sudah menghilang dua jam lalu. Saat ini mereka tengah berkumpul di atas gedung penyiaran di tepi kota, setelah insiden mengerikan sore tadi, mereka semua memutuskan untuk kembali ke kota. Mencari tempat yang aman untuk berlindung dan tidur malam ini, puri dapat melihat beberapa titik api dari atas sini. Ia bertanya-tanya kelompok bodoh manakah yang menghidupkan api di luar sana dan memancing kelompok yang lebih unggul untuk membunuh mereka.

Jiwa menatap punggung puri, ingatannya kembali pada kejadian beberapa saat yang lalu. Dimana ia melihat puri membunuh dan pergi berlalu tanpa melihat anak yang ia bunuh. Tubuh kaku itu tergelatak tak jauh dari kakinya dengan mata kosong terbuka, kengerian dan rasa sakit terasa begitu nyata dalam ingatannya. Benua bangkit berjalan mendekati puri, dia menarik tangan gadis itu dengan kasar, matanya menatap nyalang wajah lelah puri. "Apa yang kau lakukan!" Benua berseru nyaring, tangannya bertumpu pada leher puri.

"Lepas," bergumam pelan, puri menyentak tangan benua dan mendorong dada pria itu dengan pisau berlumur darah kering. Tatapan puri berubah tajam, rahangnya mengetat, dan dadanya naik turun. Lava berdiri di antara puri dan benua, anak laki-laki paling dewasa itu secara perlahan merebut pisau dari tangan puri.

"Kau pembunuh!" Puri berdecak kesal, ia melirik benua dan meludah tepat di kakinya.

"Menyelamatkanmu," koreksi puri, ia meraih botol minumnya dan meneguk cairan bening itu hingga tandas, "pembunuh ya? Kau juga akan menjadi pembunuh cepat atau lambat. Ah maksudku kalian semua." Jiwa menahan tangan benua saat pria itu hendak kembali menyerang puri.

"Kita bisa berbicara baik-baik padanya dan mengajak dia untuk ikut bersama kita. Apa kau tidak lihat dia sendirian dan mungkin saja kelompoknya meninggalkan dia." Puri tertawa kencang sekali hingga urat-urat wajahnya timbul. Kesunyian malam mampu memperjelas tawa kering milik puri, beberapa burung besi dengan lensa berkelip merah terbang di atas kepala mereka, menyorot setiap kejadian untuk di tampilkan di layar tv para penghuni kota yang saat ini tengah menonton setiap perkelahian dan kematian yang terjadi di arena.

"Kau pikir kita sedang dimana, apa kau pikir ini badan amal. Kenapa tidak kau temui saja anak-anak tolol di bawah sana, ajak mereka naik ke sini. Siapkan susu dan roti lalu nyanyikan lagu penghantar tidur yang indah." Sekali lagi tawa getir meluncur dengan indah dari mulut puri, benua terdiam ia mengamati api unggun kecil di bawah sana.

"Kita sedang berperang, mereka adalah musuh. Jika kau ingin berbuat baik, sebaiknya kau pergi dari sini." Puri berbalik membelakangi benua yang mulai tenang, dia kembali duduk di atas pembatas gedung dan menatap hamparan malam yang dingin.

"Mereka membohongi kita," riuh menutup matanya, berbicara sendiri pada kegelapan di atas sana dengan tangan memeluk erat besi tajam dengan pegangan perak berukir ular, "mereka bohong soal tidak akan membiarkan kita mati di arena. Randu bilang kita hanya akan dibuat sekarat lalu di angkut kembali sebelum di adili pada akhir pertandingan. Tapi tadi seorang anak mati terpenggal dan yang lainnya mati tertusuk oleh salah satu gadis di sini. Sejak awal mereka memang ingin kita saling memburu, kita dilatih untuk menjadi buas dan liar. Mereka ingin kita mati disini, aku tidak yakin keluarga ku masih hidup."

Sejak kejadian di hari pertama, riuh mulai menjauhi puri. Dia yang biasanya menempel pada puri sekarang mengambil jarak terjauh yang bisa ia lakukan. Pria itu bahkan tidak berani menatap wajah puri saat gadis itu memberi jatah makan mereka pagi tadi, riuh sudah tidak dapat melihat puri sebagai gadis anggun seperti dulu lagi. Saat ini di mata riuh, puri adalah monster. Riuh tahu jika puri tidak punya pilihan, tapi melihat bagaimana gadis itu melakukannya membuat riuh kembali teringat akan kejadian di kamp. Menjadi satu-satunya yang bebas keluar masuk hutan dan baju penuh bercak merah setiap kembali dari sana membuat riuh yakin jika anak laki-laki kemarin bukanlah yang pertama.

Virgo berhenti secara mendadak, ia menatap tanah di bawah dan menemukan beberapa jejak kaki baru. Beberapa waktu yang lalu mungkin ada kelompok lain yang berjalan ke arah yang mereka tuju, "tidak perlu mengganti rute, kita akan tetap menuju selatan." Virgo mengangguk dan mereka berlari menyusul puri yang sudah jauh di depan.

Angin berhembus cukup kencang saat suara tembakan melesat mendekati mereka, sebuah bola lembek tepat mengenai pohon di samping puri. Secara perlahan pohon itu melebur seakan ada sesuatu yang membakarnya, beberapa tembakan kembali terdengar kali ini lebih dari satu. 

"Berlindung!" Puri berteriak, ia berlari dengan kencang diantara rumah-rumah setengah hancur.

Mereka berlari seperti anak ayam, menjauh dari bola-bola lem yang menghantam seperti hujan. Satu demi satu bola-bola itu mengenai objek apapun di sekitar mereka, beberapa percikan mengenai setelan puri mengakibatkan koyak-koyakan kecil muncul disana. Rasa panas menjalar saat pecahan dari bola itu mengenai sisi wajah lava, pria itu meringis hingga hampir tersandung bebatuan. Riuh meraih tangan lava membantunya berlari menjauh, mereka mendekati sebongkah batu besar di sisi jala, bersembunyi di baliknya dengan nafas putus-putus. Ledakan terus terdengar dan bola-bola lem menghancurkan hampir semua rumah di desa, tempat itu hancur berantakan saat akhirnya mereka dapat keluar dari persembunyian.

"Apa itu tadi," wajah jiwa pias, pakaiannya rusak di beberapa bagian. Ia memapah lava yang terlihat hampir pingsan, separuh wajah pria itu seperti terbakar. Efek dari bola-bola lem sungguh luar biasa mengerikan, setiap kejadian mengingatkan puri pada salah satu novel yang cukup terkenal. Mereka seakan berada pada situasi yang sama, perbedaan status sosial membuat mereka seperti bidak catur sang penguasa. Boneka orang-orang kaya yang haus hiburan.

"Selamat datang dalam permainan."

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang