Nala dan Kelompok Karier

17 2 0
                                    

Virgo mengangkat tubuh puri menuju tempat yang lebih aman, menjauh dari retakan dan reruntuhan bebatuan, terseok-seok langkah mereka dalam ketakutan dan keterkejutan yang menyerang beberapa menit yang lalu. Dengan beberapa luka kecil serta syok ringan akibat guncangan, wajah pias mereka terekam dengan jelas dari setiap sisi kamera pengintai. Virgo meletakkan tubuh puri di atas hamparan rerumputan hijau, salah satu tangannya menahan darah yang keluar dari kepala bagian belakang gadis itu. Keadaan kian mengkhawatirkan saat wajah puri terdiam kaku, seakan gadis itu sudah tenggelam jauh dalam kegelapan. Ditelan kesunyian dan merenggut setiap otot-otot di dalam tubuhnya. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda kehidupan di matanya, gadis itu seperti larut dalam keheningan. Tenggelam jauh meninggalkan kehidupan, seakan pergi dan tidak ada harapan untuk kembali.

Virgo melepas setelannya dengan susah payah, kemudian membuka kaus singlet putih yang mulai menguning akibat keringat dan debu yang masuk melalu pori-pori setelan utamanya. "Cuci kain ini, kita perlu membalut lukanya," ia melempar kaus dalamnya ke arah jiwa dan langsung di terima laki-laki itu dengan cepat. Dia berlari mendekati aliran sungai dan mencuci potongan kaus itu dengan segera. Menggosok dan memerasnya dengan sekuat tenaga hingga setengah kering.

"Riuh mana obatnya?" Riuh merogoh tasnya dengan cepat, mencari botol salep yang sempat mereka gunakan untuk mengobati luka bakar lava beberapa saat yang lalu, memberikan botol itu saat ia sudah berhasil menemukannya. "Isinya tinggal sedikit, ku harap setelah ini tidak ada satupun dari kita yang terluka lagi." Virgo menatap satu persatu wajah teman laki-lakinya, kemudian dengan lembut dan hati-hati meraih kepala puri. Ia membasuh luka puri dengan air, mengusap dan menyingkirkan rambut-rambut yang menghalangi lukanya. Puri belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadar, mata gadis itu tertutup rapat dan bibirnya sedikit pucat. Semua orang tampak cemas, bahkan benua yang terkenal amat sering beradu mulut dengan puri terlihat gelisah. Mereka semua terdiam, mengelilingi tubuh puri tak lupa dengan senjata di tangan, virgo memangku kepala puri dalam posisi miring, lukanya sudah sembuh dan hanya menyisakan garis kemerahan di kulit kepalanya.

Setelah menunggu hampir satu jam di bawah terik matahari, puri akhirnya bergerak pelan, secara perlahan ia membuka matanya dan menemukan wajah virgo begitu dekat dengannya, "aku masih hidupkan." Gadis itu tersenyum lebar, ia bangkit dari tidurnya dan menemukan ke-lima teman laki-lakinya tengah memandang ke arahnya. Setelah menunggu beberapa lama akhirnya mereka dapat bernafas lega, puri sudah sadar dan tampak baik-baik saja meski mereka tahu kepala gadis itu pastilah amat pening.

Tanda palang selamat datang menyambut kedatangan mereka, sekitar satu kilometer dari jarak mereka berdiri, dengan beberapa tulisan yang mulai pudar serta tanaman merambat di atasnya, tempat itu layaknya sebuah kota mati. Desa oxycare sudah di depan mata, dengan ilalang hampir di setiap sisi jalan dan beberapa dahan pohon tumbang. Mereka berjalan dalam diam, ada satu bangunan besar berdiri di sisi jalan menyambut mereka. Bangunan tua yang dulunya difungsikan sebagai gereja, dengan satu menara kerucut tinggi dan tanda salip patah di atasnya. Desa oxycare pastilah tempat yang dulunya indah, dengan bentuk bangunan tua lama khas belanda dan jalan lebar penuh rumput liar setinggi mata kaki. Beberapa rumah warga terlihat usang, jendela-jendelanya di biarkan terbuka dengan kaca-kaca hancur lembur jatuh ke tanah.

Mereka menyusuri daerah pertokoan dan menemukan genangan darah yang mulai mengering, tepat di depan sebuah kedai permen. Puri berjalan mendekat, ia berjongkok tangannya menyapu darah itu dan merasakan beberapa pasir di atasnya. Seseorang pastilah mati di sini, beberapa jam yang lalu perkelahian terjadi dan mengakibatkan salah satu dari mereka tumbang.

"Kita harus berhati-hati, siapapun yang membunuh dia pastilah masih berkeliaran di kota ini." Benua muncul dengan wajah lelahnya.

"Masih! Oh yang benar saja, kota ini dipenuhi pembunuh. Tentu saja, kenapa sih kita harus mendatangi ladang ranjau ini." Benua melirik kesana kemari, dengan waspada ia memegang erat satu-satunya alat yang mampu melindungi kepalanya dari siapapun yang hendak menebasnya.

Puri menepuk kedua tangannya, kembali melirik dengan kesal kepada benua, "kau pikir untuk apa randu menyiksa kita di kamp jika bukan untuk semua ini. Dasar tolol tukang ngeluh." Dengan hentakan kecil, puri berlalu meninggalkan mereka.

"Jika semua ini berakhir," kalimat virgo terhenti ketika sebilah pisau melesat hampir mengenai kepalanya, pria itu memucat dengan kaki gemetar. Menancap tepat pada batang pohon pinus setengah tumbang, berjarak sekitar dua puluh sentimeter dari tempatnya berdiri.

Semua siaga ditempat, melindungi diri dengan senjata masing-masing. Benua berlindung dengan cepat sesaat setelah kejadian itu terjadi, ia menjatuhkan tubuhnya ke tanah dengan tangan melindungi kepalanya. Dengan tubuh gemetar, pria itu melirik teman-temannya dan bangkit dengan cepat setelah menyadari tentang betapa konyol dan pengecutnya apa yang tengah ia lakukan. Dia ini pria dewasa, dengan permainan kematian yang begitu nyata, ia sudah menghabisi hampir setengah lusin anak seusianya. Sudah puluhan liter darah tumpah, hal yang tidak pernah ia sangka terjadi begitu saja. Saat ajal di depan mata dan kematian rasanya begitu dekat dengan nyawa.

Sesosok tubuh ringkih jatuh terjerembap ketika lava menjerat  kakinya dengan tali tambang persediaan mereka, tubuh yang begitu puri kenali. Punggung kecil gemetar dengan beberapa luka terbuka yang hampir membusuk.

“Nala?” Bergumam pelan, puri berjalan dengan cepat, meraih tubuh itu dengan satu kali tarikan. Seakan tidak percaya dan berharap apa yang ia lihat tidaklah nyata, sedikit bagian dari hatinya berharap jika gadis itu bukanlah Nala dan ia bersiap kapan saja untuk menggorok leher sang tersangka. Tapi lagi-lagi manusia hanya bisa berharap, gadis itu jelas Nala. Dengan keadaan syok berat dan nyaris mati kelaparan dan dehidrasi ringan.

Hancur, semua bentuk rasa sakit seketika berkecamuk menjadi satu. Tatapan mata Nala kosong, ia seperti mayat yang dipaksa untuk terus bernafas. Kantung mata menghitam dengan beberapa luka dan lebam, puri merengkuh tubuh gemetar itu. Menangis dengan pilu, rasa sakit yang teramat dalam menyayat perlahan hati yang ia kira telah mati. Nala nya, gadis paling ceria yang pernah ia kenal. Dengan rambut indah menjuntai dalam ingatannya, senyum menawan dengan gigi kelinci yang begitu menggemaskan. Kini yang tersisa hanyalah kenangan, Nala yang dulu sudah pergi amat jauh. Menyisakan sosok asing yang lekang dalam ingatan. 

“Jangan bunuh aku,” nada memohon penuh rasa takut, gemetar dalam isakan rasa putus asa yang begitu nyata.

Demi tuhan, dunia begitu kejam pada gadis ini. Semesta dan orang-orang dibelakang layar begitu tega menyakitinya. “hei, sayang ini aku. Kau aman sekarang.” Semua terdiam, Nala mengeratkan pelukannya pada puri, mencari kenyamanan dan sedikit rasa aman yang begitu ia damba. Puri mengabaikan segala bau busuk yang berasal dari tubuh temannya itu.

“Mereka membuat perkumpulan, dengan banyak anak-anak kuat di dalamnya. Bermula dari Niko, anak laki-laki dari kelompok 15 dialah kepalanya. Bosnya.” Saat ini mereka tengah berkumpul ditepi hutan, bercahaya kan rembulan. Nala membabat habis semua persediaan makanan mereka, keadaan gadis itu sudah lebih baik. Luka dan lebamnya sudah sembuh total, mereka berkumpul dalam lingkaran kecil. Mendengar setiap informasi yang dapat mereka terima dari Nala.

"Apa boleh seperti itu?"

"Sudah lama terbentuk, Niko mengumpulkan antek-anteknya sejak awal. Aku sendiri dibuang kelompokku," Nala menunduk malu, menatap sepatu usang nya, "seperti yang kalian lihat. Aku lemah."

"Niko ya, jika dia saja bisa mengumpulkan anak-anak kuat maka kita juga bisa." Meski agak ragu, tapi ada sedikit bagian dalam dirinya jika ia bisa. Mengumpulkan anak-anak yang tersisa dan tidak bergabung dengan anggota karier, walaupun puri yakin yang tersisa dari mereka tidaklah sekuat anak-anak yang bersekutu dengan Niko.

"Puri, kau pasti sudah gila. Gadis ini sudah gila."

"Kita harus jadi gila untuk melawan orang gila." Puri tersenyum kecil memandang satu kamera pengintai, bermaksud untuk memperingati seorang pria di ibu kota. Dengan setelan mahal dan tahta yang sempat ia tawarkan.

"Manis sekali. Mari kita lihat sayang, seperti apa gila yang kau maksud."




Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang