Jeritan Kematian

29 7 1
                                    


Bunyi sirine menggema memenuhi seluruh penjuru kamp, semua orang terdiam. Menutup telinga mereka dari pekikkan menyakitkan dari suara yang entah dari mana asalnya, riuh jatuh terlentang dari atas pohon saat pertama kali bunyi sirine itu terdengar. Hampir satu menit lamanya dari waktu yang puri perkirakan, bunyi siulan panjang nyaring itu memenuhi kamp mereka. Setelah suara itu menghilang semua orang berlarian menuju padang rumput di depan pondok. Arah pandang mereka tertuju pada sinar kemerahan di atas langit, lama kelamaan sinar itu berubah menjadi angka. Angka 3 tercetak jelas di atas sana, menggantung seperti ada sihir yang membuatnya. Semua orang terpana, bertanya-tanya teknologi apa yang mungkin bisa membuat angka itu muncul di sana. Seperti ada layar transparan yang memunculkannya.

“Apa artinya itu?” lava memandang adiknya, kebingungan dan ketakutan.

Jiwa hanya bisa menggeleng, ia memandang ke-lima temannya dengan perasaan campur aduk. Angka itu jelas dibuat sebagai peringatan untuk mereka, meski paham maksudnya. Semua orang memilih pura-pura tidak tahu, mereka memilih bungkam dan menolak mentah-mentah opini yang muncul di kepala mereka. Puri menekan dadanya, ia tahu hari itu pasti akan datang. Ia ketakutan hingga sulit bernafas, pegangannya pada ranting kayu itu semakin erat. Matanya memandang ke dalam hutan dan memutuskan untuk kembali ke tempat itu. Meminta penjelasannya yang mungkin saja bisa ia dapatkan.

“Puri, kau mau kemana?” puri mengabaikan panggilan virgo, kakinya mantap berjalan menyusuri padang rumput dan melangkah masuk ke dalam hutan lebat.

“Ada yang tidak beres dengan gadis itu, aku yakin kalian juga menyadarinya,  tapi kalian begitu baik hati dengan membantah semua ucapanku bahkan membohongi diri kalian sendiri” benua melirik ke arah teman-temannya dengan perasaan kesal.

“Jika itu tentang bercak merah di bajunya,” benua muak, ia berteriak memandang marah pada virgo.

“Ini bukan hanya tentang darah itu, kalian tidak lihat sikapnya. Dia jadi arogan dan sombong,” dada benua naik turun, genggaman tangannya mengetat dan urat lehernya menonjol. “Tidakkah kalian penasaran, kenapa hanya gadis itu yang boleh masuk hutan. Tidakkah kalian heran, mengapa randu begitu dekat dengannya.” Benua beralih menatap jiwa, berharap temannya itu bisa percaya padanya. Tapi jiwa hanya diam, ia tidak berani memandang mata benua. “Aku yakin gadis itu tidak bisa selamanya menyembunyikan sisi iblisnya dan saat itu terkuak ku harap kalian tidak memeluknya sambil mengatakan tidak apa-apa kami percaya padamu."

Pekikkan demi pekikkan mengudara, darah membanjiri lantai dingin gua. Puri melayangkan cambukkan demi cambukkan ke tubuh lemah seorang pria. Setelah puas menghajar pria asing itu, puri kembali menyiksanya dengan kayu seukuran lengan orang dewasa. Dengan lunglai tak berdaya pria itu memohon pada puri, memohon demi nyawanya, memohon demi hidupnya.

“Kumohon ampuni aku.” Suara pria itu gemetar nyaris tak terdengar. Dadanya naik turun dan bibirnya pucat pasi. Jemari bengkoknya mencoba memegang sepatu puri, kembali memohon pada gadis itu. 

Randu berdiri dengan tenang di sudut gua, bersedekap dada dengan cerutu di tangannya. Memandang aksi puri puas, nyatanya ia sudah berhasil mengubah puri. Tatapan gadis itu saat membunuh para korbannya, berhasil menciptakan kesenangan di dalam diri randu. Karna puri randu kembali menjadi orang kepercayaan tuannya, karna puri, randu berhasil menjadi sorotan utama dalam beberapa pertemuan dan pesta para pelatih. Dan karna puri, randu berhasil mendapat banyak uang atas usahanya menjadikan puri boneka tuannya.
Randu melempar cerutunya, menginjak benda itu dengan sepatu putih miliknya. Berjalan dengan sedikit melompat sambil bersenandung kecil kearah puri. Ia menyentuh tangan gadis itu, membuat puri berhenti dari aksinya. Puri menaikan alisnya, memandang randu heran.

“Sudah cukup, mari kita selesaikan,” randu menarik sebilah pisau dari balik jaket kulit putihnya. Menyerahkan benda itu kepada puri dan mengisyaratkan untuk segera menyelesaikan tugasnya.

Puri menerima pisau itu tanpa ragu, berbalik dan berjongkok memandang korbannya. Tangan puri menyapu sisa-sisa darah segar di wajah pria malang itu, mencengkam kuat rahangnya. Pria itu membuka matanya, suara ratapan penuh kesakitan dan keputusasaan tidak membuat puri bersimpati. Dengan satu gerakan cepat, puri menikam jantung pria itu, berkali-kali hingga darah membasahi tangan, celana, dan bajunya. Puri bernafas cepat, bangkit dengan cepat dan menjatuhkan pisau ditangannya.

“Tidak perlu merasa kasihan padanya nak, dia sama kotornya sepertimu.”

Ucapan randu membuat dada puri bergetar, kotor. Apakah puri memang sudah sekotor itu sekarang. Sudah banyak nyawa yang ia lenyapkan, sudah ribuan jeritan ia dengar, dan sudah banyak permohonan ia abaikan. Sudah seberapa jauh keadaan membunuh rasa kemanusiaannya, merenggut jati dirinya, dan membakar habis hari nuraninya.

“Aku akan menemui kalian dua hari lagi, akan ada pesta besar. Kalian semua pasti akan suka,” mata randu berbinar, ia seakan lupa dengan seonggok tubuh kaku di depannya.

“Baiklah sudah waktunya,” randu melirik jam di tangan kirinya, “aku harus pergi, dan kau sebaiknya kembali.” Randu lagi-lagi menghilang dari balik asap putih seperti seorang pengecut. Meninggalkan puri sendiri dengan hasil mahakaryanya yang begitu mengerikan. Melirik sejenak di bawah sana, puri berlari meninggalkan gua. Menelusuri pepohonan dan berjalan di atas berbatuan. Langkah kakinya semakin cepat tak kala jeritan demi jeritan pilu penuh kesakitan kembali memenuhi kepalanya. Tatapan-tatapan putus asa dari korbannya membuat nafas puri tak beraturan. Batin puri menjerit dan ketika matanya berhasil melihat kilauan air sungai saat diterpa sinar matahari, dengan cepat ia berlari dan menghempaskan tubuh penuh darahnya ke dalam riak air jernih.

Air sebening kristal itu berubah menjadi lautan darah saat puri memasukinya. Tubuhnya tenggelam ke dasar sungai, ia membuka matanya menatap lurus dan memeluk lututnya. Telinganya penuh oleh air dan dadanya penuh oleh rasa sesak, ia baru muncul ke permukaan saat tubuhnya memerlukan oksigen. Memandang ke langit cerah, puri kembali hidup dalam kenangan masa lalu. Ia berbaring di atas berbatuan kecil di tepi sungai, memejamkan matanya. Mencoba untuk fokus pada suara tawa ibu dan ayahnya, mengenang kembali setiap momen ia bersama dengan orang tuanya. Puri bersusah payah melupakan bau anyir darah dan menggantinya dengan harum nikmat kopi buatan ibunya. Hanya demi itu semua dan hanya karna itulah puri bertahan. Ia ingin mencoba hidup lebih lama demi kembali bersama keluarganya. Dirumah kecilnya, dengan aliran sungai kecil di pekarangan belakang tempat dimana ia sering menghabiskan waktu dengan berbagai bahan bacaan ringan. Sudut bibir puri tertarik saat wajah kedua orang tuanya berhasil ia tangkap, dengan daster hijau kesukaan ibunya dan sarung catur milik ayahnya. Puri seakan berhasil menghadirkan dua malaikat di depan matanya tepat  diantara kekacauan hidupnya. Jemari puri terangkat, hendak meraih gambar semu yang ia ciptakan. Air mata perlahan tumpah saat ia lagi-lagi tidak bisa meraih figur itu, seberapa jauh jarak mereka sehingga sepi begitu mencekik.

“Aku rindu ma, aku rindu pa,” puri menutup wajahnya, berteriak kencang menumpahkan amarahnya.

Amarah yang hanya bisa ia lampiaskan saat ia tengah sendiri. Rasanya begitu lelah, semua perlakukan randu dan ancamannya membuat puri rasanya ingin mati bunuh diri. Ia lelah dan untungnya masih ada dua hari tanpa randu. Mungkinkah itu cukup? Hanya dua hari dan setelah itu semua mimpi buruk mereka akan segera tiba.

“Oh sayang, ratapan mu merdu sekali,” seorang pria tersenyum manis dibalik topeng kebesarannya. Menatap layar besar di depannya dengan senang, ia memainkan tongkatnya dengan jemari panjangnya. Menarik figur berbingkai coklat di atas nakas disamping kursi kebesarannya. Jemari panjangnya membelai wajah puri yang tengah berpose cantik di atas bukit, ia mencium foto itu lama dan kembali tertawa senang atas keberhasilannya.

“Tidak sabar bertemu denganmu sayangku.”   

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang