Hadiah Terakhir

19 2 0
                                    

Puri merintih memegang perutnya yang terluka, tepat pada saat matahari baru akan terbit, sekitar lima orang menyergap tempat persembunyian mereka. Mati-matian puri dan benua mencoba melindungi lava dari para musuh yang mencoba untuk membunuh pria itu, akibatnya baik puri dan benua sama-sama mendapat luka yang cukup serius. Ia menekan perutnya yang mengeluarkan darah, dengan tertatih puri meraih kain di dekat kaki lava dan mengikatkan kain itu mengelilingi perutnya, memberikan sedikit tekanan pada lukanya untuk menghentikan pendarahan. Tak jauh dari puri, benua tampak hampir setengah pingsan setelah berkelahi dengan dua pria yang lebih besar darinya. Mata benua tampak menghitam dengan luka hampir di sekujur tubuhnya. Lava merangkak mendekati puri, tubuhnya gemetar dengan bibir hampir hancur. Dia duduk tepat di depan puri, memberikan botol minum dan membantu puri meneguknya. Puri memaksakan senyumnya, wajah lava tampak mengerikan dengan gumpalan nanah hijau dan bau busuk, pria itu seakan kehilangan ketampanan yang beberapa waktu lalu mampu menarik beberapa sponsor. Dia seperti tidak dapat dikenali lagi sebagai lava, malang pria itu harus terluka begitu patah pada hari kedua setelah mereka memulai.

"Sebaiknya aku menyerah saja, aku hanya akan jadi beban untuk kalian," lava menunduk lesu, bicaranya sedikit tidak jelas. Puri menangkup tangan lava dengan tangannya yang berlumur darah, gadis itu menggeleng  tersenyum kecil seakan mengatakan jika ia bukanlah beban.

"Sudahlah lav, semua akan baik-baik saja. Kita akan dapatkan obat untukmu."

Waktu berlalu begitu cepat tidak terasa matahari sudah bergulir menyisakan kegelapan yang memekakkan. Belum ada tanda-tanda kembalinya ke-tiga teman mereka dari misi menemukan obat untuk lava, kekhawatiran tergambar jelas di wajah benua. Ia duduk termenung memandang ke arah dimana teman-temannya pergi. Dua mayat tergelatak tak jauh dari mereka, dengan beberapa lalat mulai datang mengerubungi tubuh-tubuh tak bernyawa itu.

"Sebaiknya kita pindah, tempat ini sudah tidak aman. Sisa dari kelompok yang selamat mungkin akan kembali memburu kita," benua terdiam, meski tidak mengiyakan perkataan puri tapi ia tahu jika itu benar. Tiga orang tersisa dari kelompok yang menyerang mereka pagi tadi pastilah akan datang kembali untuk membalaskan dendam atas kematian dua orang anggotanya.

"Virgo akan tahu alasan kita pergi saat melihat mayat-mayat itu," lava menunduk dalam, menyembunyikan wajah busuknya dari pandangan semua orang. "Tidak apa-apa, mereka pasti baik-baik saja. Ada alasan kenapa mereka masih belum juga kembali." Puri menghela nafas, ia berhenti memikirkan kemungkinan terburuk di kepalanya, tentang apa yang mungkin saja telah ketiga temannya alami di luar sana.

"Kita pasti akan bertemu adikmu lagi, ayo ku bantu kau berjalan," benua meraih tangan lava, memapah pria itu berjalan meninggalkan tempat persembunyian mereka. "Semoga kita menemukan sesuatu yang dapat di makan malam ini, aku lapar sekali." Puri memandang punggung benua dan lava, berharap jika mereka akan baik-baik saja.

Di sepanjang jalan, puri tak henti-hentinya memandang sekitar, udara yang dingin dan lembab serta gelapnya malam membuat pandangannya terbatas, tidak ada bintang atau bulan. Langit di atas sana bersih sekali tanpa ada tanda-tanda cahaya sedikitpun, beberapa kali lava tersungkur yang mengakibatkan bajunya basah. Benua juga sudah tampak kelelahan memapah lava. Puri meraih beberapa dedaunan dan memakannya, perutnya sudah kosong sejak pagi tadi, tidak ada makanan dan persediaan air pun sudah menipis. Tanpa makan dan minum mereka mungkin tidak bisa bertahan lebih dari tiga hari, cepat atau lambat mereka akan mati karena kelaparan, di tambah kondisi lava yang semakin buruk.

"Kita sebaiknya istirahat disini, rumah sakit mungkin ada di depan sana. Jika beruntung mereka akan menemukan kita." Mereka berhenti tepat di belakang gudang tua besar, berlindung di balik tumpukan box kayu besar. Puri menarik satu selimut dari dalam tasnya, berbaring memandang langit gelap dengan perut keroncongan.

"Aku akan berjaga, jika ada yang tidak beres aku akan membangunkan kalian," benua mengangguk, ia berbaring tak jauh dari lava, menutup matanya dengan tangan memeluk tombak yang berhasil ia rebut dari pria hitam yang menyerang mereka.

Waktu berjalan begitu lambat, mata puri terbuka lebar. Ia melirik lava yang tengah duduk dengan tangan memeluk kakinya, sesekali puri mendengar pria itu meringis memegang wajahnya. Bau amis sedikit tercium saat angin berhembus, ia bangkit dari tidurnya dan merangkak mendekati lava. Puri merogoh saku tasnya, mengeluarkan beberapa lembar pucuk daun jambu biji, "makanlah, ini akan sedikit menghilangkan rasa lapar mu," lava meraih daun-daun muda itu, mengunyahnya dengan air mata berlinang.

"Aku tidak pernah menyangka jika kehidupanku akan seburuk ini," dengan susah payah lava menelan daun-daun jambu itu, berharap hal-hal kecil seperti itu dapat membuat ia tetap hidup.

"Kehidupan selalu mengerikan, jika bukan kita yang mengalaminya maka orang lain yang akan menghadapinya. Ini semua memang terlalu tiba-tiba tapi menyerah bukanlah solusinya, kau akan sembuh aku yakin. Wajahmu akan kembali seperti semula, karena jika tidak aku bersumpah akan menghancurkan semua orang yang membuat kita mengalami ini semua. Aku janji." Puri meraih tangan lava, menatap wajah hancur pria itu tanpa rasa jijik sedikitpun.

Lava menggeleng lemah, dalam keadaan gelap ia mampu menemukan kilauan dari netra puri, "jangan buat mereka semakin marah puri." Puri terkekeh, ia berbaring dengan tangan sebagai bantal matanya memandang jauh ke atas. Angin berhembus kecil menggoyangkan rambut keritingnya yang mulai kusut. Nyeri di perutnya kian menjadi, ia jelas kesakitan namun berusaha menutupinya.

"Aku tidak takut, jika sesuatu terjadi pada salah satu dari temanku maka aku bersumpah," puri melihat ada cahaya kecil merah di atas wajahnya tepat di balik box kayu, mengintai mereka seperti kunang-kunang haus darah, "kemanapun thanatos bersembunyi aku akan memburunya. Kepalanya akan ada di bawah kakiku dan orang-orangnya akan lenyap di tanganku." Puri tersenyum kecil setelah mengatakan itu, ia yakin semua yang ia katakan dapat di dengar jelas oleh seluruh penyelenggara dan warga kota. Dia menantang thanatos dan orang-orangnya.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul tiga, lava tidur meringkuk di bawah kaki benua. Puri masih terjaga, ia sedang membersihkan pisau dengan ukiran singa yang thanatos berikan pada pertemuan terakhir mereka. Pisau yang katanya hadiah ulang tahun terakhir untuk puri, ukiran singanya sendiri adalah pengingat tentang makhluk pertama yang puri bunuh. Thanatos bajingan itu ingin puri selalu mengingat dosanya seumur hidup. Beberapa langkah kaki terdengar mendekat, puri menyenggol ujung sepatu benua. Pria itu langsung bangun dan memegang tombaknya dengan kencang, lava meraih senjata miliknya. Dengan jantung bergemuruh mereka saling pandang satu sama lain, dalam kegelapan yang remang-remang mereka memasang ancang-ancang menyerang. Sepasang sepatu melompat dari atas jendela gudang yang terbuka, puri baru saja akan menusuk kaki itu saat sebuah suara yang begitu familiar di tangkap indra pendengarannya.

"Benua itu kalian kan?" Pegangan benua pada tombaknya mengendur, mereka bernafas dengan lega saat dua kaki lainnya muncul.

"Kami baru akan kembali ke bawah jembatan saat jiwa melihat potongan kain ini," virgo mengangkat potongan kain yang lava gunakan untuk menutupi lukanya.

"Ada apa dengan kalian, puri kenapa baju mu berlumur darah?" Riuh menunjuk tepat pada bagian perut puri yang terluka.

"Satu kelompok musuh menyerang kami pagi tadi, dua tewas dan tiga lainnya berhasil melarikan diri. Kalian dapat obatnya?" Jiwa merogoh sesuatu dari tasnya, satu kotak pipih putih polos berukuran cukup besar berhasil ia tarik keluar.

"Lava ini obatnya, cuci dulu wajahmu dengan ini," satu botol cairan kuning pekat dengan bau seperti air kencing jiwa berikan pada lava. Pria itu tanpa basa-basi langsung membasuh wajahnya, ia tampak gelisah menahan sakit.

"Jangan berteriak!" Dalam cahaya putih kecil dari senter yang riuh nyalakan, wajah lava tampak semerah darah. Luka-lukanya seperti mendidih dan nanah serta darahnya tersapu menghilang dengan cepat. Jiwa membuka tutup obat dengan tangan gemetar, ia mengolesi luka itu dengan perlahan. Wajah lava yang tadi memerah perlahan kembali seperti semula. Lukanya tertutup secara tiba-tiba, daging baru tumbuh kembali, jaringan kulitnya seakan muncul dari permukaan. Butuh waktu hampir setengah jam sampai semua lukanya hilang, ajaib wajah lava sudah kembali seperti semula. Tanpa bekas sedikitpun, seakan tidak pernah terjadi apa-apa disana.

"Sekarang sembuhkan luka kalian berdua dan kami akan menceritakan apa yang telah kami lihat dan kami alami." 

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang