Penyesalan Thanatos

27 2 0
                                    





Di bagian bumi yang lain, thanatos duduk dengan tenang di dalam ruangan kerjanya. Hujan tengah mengguyur kota dengan deras, petir menyambar menara penyiaran sebanyak dua kali dalam waktu satu jam. Keadaan kota sunyi sepi, setiap toko dan gedung perkantoran tengah beristirahat dari kesibukan yang selalu menelan. Suara ketukan jam dinding seirama dengan ketukan telunjuk thanatos pada meja kerjanya. Sudah hampir satu minggu ia mengirim sang pujangga berkelana di medan perang, medan pertempuran miliknya dan dia sebagai pengaturnya. Matanya menatap pada satu titik dimana layar tengah menayangkan kondisi di arena permainan, sudah puluhan darah dan kepala jatuh disana. Setiap detik, menit, dan jam darah tumpah tanpa bisa ia cegah. Harusnya ia senang bahkan mungkin juga gembira melakukan perayaan atas jatuhnya nyawa, tapi apa ini. Perasaan sedih macam apa yang saat ini tengah melanda hatinya, kegelisahan seperti apa yang telah menganggu kemurnian jiwanya. Thanatos mulai gemetar, ia menangkup penuh wajahnya, menutup kedua telinganya saat teriakan demi teriakan puri mengudara dari layar televisi. Gadis itu tampak kesakitan dan kesulitan ketika dua orang gadis bertubuh tambun menyerangnya. Puri jatuh menghantam tanah dengan luka sayatan di pipi dan lengannya. Thanatos gelisah, ia ingin berlari dan menarik puri secara paksa dari arena tapi ia tidak bisa. Permainan yang ia kira akan menyenangkan kini berhasil membuat ia jantungan. Puri akan mati dan itu karenanya, ia akan kehilangan puri dan itu karena dendamnya. Seharusnya ia seret saja gadis itu dan mengurungnya di penjara bawah tanah, seharusnya.

Thanatos mengelilingi tubuh kaku puri, ia menarik lembut beberapa helai anak rambut yang mencuat dari kepangan puri. Gadis di depannya berbau seperti gula-gula kapas dan susu mentega, dengan manis yang pas. Tidak ada yang sesempurna puri, tuhan seakan sedang berbahagia saat ia menciptakan puri. Gadis itu begitu sempurna, begitu pas dalam dekapan dan genggamannya.

”aku punya dua pilihan untukmu dan jika kau setuju menerima yang pertama maka kau akan hidup dalam roda kehidupan dimana kau akan selalu berada di puncak." Puri bergeming, selama beberapa saat ia terdiam kaku dengan jantung berpacu.

"Apa kau sudah selesai?" Thanatos terkekeh, ia mengambil jarak selangkah lebih jauh dari puri. Meneliti setiap garis wajah gadis di depannya, dengan pipi merah ranum sinar puri tampak begitu senada dengan ruangan tempat mereka bicara. Dibawah atap lapuk dan ruangan setengah roboh di luar sana puri begitu kuat bagai pasak sebuah gedung.

"Tidak kah kau penasaran apa tawaranku," thanatos terbius oleh netra coklat puri, "pilihan mu jadilah pendampingku atau pergi ke arena permainan dan membusuk disana." Dengan suara kering besar, thanatos membusungkan dadanya dengan sombong.

Tersenyum masam puri membuang pandangannya dengan hina, perlakuan puri menyentil harga diri thanatos secara cepat. "Kau sudah selesai, aku tidak punya banyak waktu. Teman-temanku mungkin sudah menunggu." Puri berbalik memunggungi thanatos, tangannya melayang meraih kenop pintu.

"Aku menawarkan perlindungan, uang, kuasa, bahkan rakyatku padamu. Apa sedikit saja semua kemewahan itu tidak menyentil sifat meterial dalam dirimu." Dengan suara sedikit meninggi, thanatos merasa sedikit menang ketika puri akhirnya mengurungkan niatnya untuk pergi.

"Uang, rakyat, kekuasaan milikmu bahkan sedikit saja dari semua itu tidak menggoyahkan sesuatu di dalam diriku," puri menghela nafas dan kembali memandang thanatos dengan malas, "aku tidak tahu apa niatmu dan tujuan terselubung apa yang tengah kau rencana kan di dalam kepala kotor mu itu, tapi satu hal yang harus kau pahami tentang aku. Uang tidak dapat mengubahku jadi sesuatu seperti yang kau mau. Dan lagi sepertinya kematian bukan pilihan yang buruk, lagipula aku memang sudah lama mati."

Wajah thanatos berubah garang, ia membanting tongkat di tangannya hingga benda itu terpental dan pecah sedikit di bagian pegangannya, namun puri masih tidak bergeming ia menatap thanatos lebih malas lagi dari sebelumnya, "baiklah, kalau begitu mati dan membusuk lah kau disana, kau jalang kotor sialan! Aku mengutuk mu dan aku bersumpah demi apapun tempat itu akan menjadi mimpi terburuk mu." Puri menarik sudut bibirnya, ia memandang thanatos hina.

"Selamat pagi dan terima kasih. Ah satu lagi, jika kau berani menyakiti satu saja, bahkan ujung kuku orang tuaku maka aku jalang kotor ini akan memburu dan memenggal kepalamu berserta orang-orang mu. Ingat kata-kataku, jangan pernah lupakan itu." Thanatos tertawa kencang ia maju selangkah mendekati puri, kepalanya miring ke samping dengan wajah terkejut yang di buat-buat.

"Oh kau membuat ku takut, apakah itu benar." Thanatos terdiam saat puri hanya menatap matanya, ia begitu paham dengan jelas arti tatapan itu. Sebelum puri pergi ia melemparkan sebilah pisau dan di tangkap dengan baik oleh gadis itu.

Tangan puri menyusuri ukiran naga pada pegangan pisau itu dengan lembut, "singa itu akan selalu mengingatkan mu pada dosa dan korban pertamamu, jalang "

Thanatos melempar gelas kopi di atas meja kerjanya, ia mulai menyesali semua perbuatan dan perkataan yang telah ia lakukan pada puri pagi itu. Amarah dan keegoisan yang tidak dapat ia kendalikan membuat semuanya lebih hancur dari sebelumnya. Ia mungkin akan kehilangan puri sebentar lagi, thanatos menggeleng dengan cepat. Ia meraih tombol merah dari dalam laci meja kerjanya, menekan tombol itu dah mengumpulkan semua staf untuk membicarakan sesuatu, untuk menyelamatkan puri dan melindungi gadis itu.





Nafas puri putus-putus, ia memegang lututnya yang mulai lemas. Saat ini kelima anak muda itu tengah menyusuri kaki bukit untuk pergi ke desa oxycare, desa kecil di ujung kota vape tempat dimana mereka memulai permainan. Riuh mengatakan pada mereka jika ke sanalah semua orang pergi, berburu satu sama lain di desa mati yang penuh dengan hal-hal tidak terduga. Sudah tidak ada lagi yang tersisa di kota, tempat itu cepat atau lambat akan terendam banjir besar dan mereka tidak mau bersusah payah berenang dalam kolam kota mati yang penuh dengan misteri.

"Seberapa jauh lagi?" Benua jatuh terlentang di atas padang rumput hijau, matanya yang menghitam akibat perkelahian sudah sembuh karena obat yang dibawa virgo dan yang lainnya.

"Tidak tahu, berhenti bertanya kau berisik sekali," baju mereka basah oleh keringat, dengan perut keroncongan puri ikut menjatuhkan tubuhnya dengan berbaring dengan kaki terbuka lebar.

"Aku rasanya mau mati, kenapa panas sekali," virgo melepas separuh resleting setelannya, dengan wajah penuh keringat pria itu meraih botol airnya dan meneguk dua tetes terakhir yang ia punya.

"Apa ada yang punya air," semua orang menggeleng. Tanpa air dan makanan, mereka putus asa dibawah teriknya matahari siang.

"Kalian pergilah cari apapun untuk dimakan, aku bisa mati jika begini terus." Puri menunjuk keempat temannya dengan wajah pucat serta bibir pecah-pecah.

"Kau saja sana!" Benua menendang kaki puri dengan kesal.

"Aku akan membunuhmu sialan!"

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang