Malam Perayaan

15 2 0
                                    

Matahari bergulir dengan cepat, bersembunyi pada bagian lain dari bumi. Seberkas sinar jingga menyilaukan mata, burung dan binatang malam mulai muncul dari tempat persembunyian mereka, siap menyanyikan lagu penghantar tidur bagi jiwa-jiwa yang lelah. Dalam kekosongan serta kesunyian malam, beberapa jiwa bersembunyi di balik tembok-tembok retak desa. Dengan luka serta perut-perut keroncongan, bibir kecil pucat dan kantung mata menghitam. Beberapa dari mereka bahkan hampir kehilangan nyawa akibat kelaparan serta dehidrasi berat. Pertarungan tidak lagi menjadi alasan utama dari kematian, ketidaksanggupan bertahan dari kerasnya hukum alam membuat beberapa anak terkulai lemah, menunggu jiwa-jiwa bugar datang untuk menebas kepala mereka.

"Jam berapa pestanya?" Virgo menggulung lengan bajunya, memijat bagian yang membiru akibat pertarungan beberapa hari yang lalu.

"Pukul sepuluh malam, tidak kurang tidak lebih." Nala menarik kembali catatan kecil miliknya, menulis beberapa nama yang sempat ia lupakan beberapa saat yang lalu.

"Aku mau buang air sebentar,"

"Aku temani," kepala-kepala kecil tegap menatap virgo, bagaimana bocah laki-laki itu bersiap memanggul senjatanya untuk mengekori puri.

"Maaf, kau barusan bicara apa? aku temani? kau ingin mati ya." rona merah menyala menghiasi sisi pipi virgo, pria itu kembali duduk dengan wajah tertunduk tak kala mendapati puri memandangnya dengan tatapan penuh permusuhan.

"Maksudku kau pergilah, aku akan disini menemani yang lain." Benua terkikik pelan, ia sembunyikan tawanya dari virgo.




Puri berkeliling seorang diri ditengah sunyinya desa. Berbekal pisau hadiah dari thanatos dan keberanian yang sebelumnya tidak pernah ia mimpikan akan ia miliki, langkahnya membawa ia pada satu bangunan tua. Tempat paling mencolok dari semua bangunan di desa ini. Pintu kayu besar menjulang tinggi, beberapa lubang tampak menghiasi permukaan bangunan itu. Catnya yang telah luntur termakan usia membuat tempat itu seperti sarang hantu, tapi apa mungkin ada hantu di gereja. Bukankah semua tempat ibadah sama sucinya, tempat tuhan berada, dimana umatnya menengadah meminta segala jenis hajat yang nyata. Apapun agamanya dan siapapun pemeluknya, bukankah Tuhan setiap umat sama saja. Satu tujuannya meski berbeda cara memujanya, semua keindahan dari cara setiap umat memuja membuat keindahan terpancar dari segala penjuru dunia. Puri sendiri masih berdiri diambang pintu rumah ibadah itu, tak kala desiran angin meniup pelan rambut belakangnya. Semilir angin menerbangkan beberapa anak rambutnya, tidak ada satupun kamera pengawas ditempat ini. Puri sudah mencari dan mengawasi dibeberapa titik, tapi tidak ada satupun tanda kerlap-kerlip merah kecil seperti biasa. Tempat ini bersih dari kamera pengintai, puri tidak yakin itu sebagai pertanda baik atau malah sebaliknya.

"Aneh, tidak biasanya arena setenang ini." Matahari perlahan menghilang, bersembunyi dibalik bukit dan cahaya hilang bersamanya. Ada desir hebat dalam dada puri, ketakutan dan rasa penasaran. Di dalam tempat sebesar ini, dirumah tuhan, apakah ada sosok yang berani mengotorinya dengan darah manusia. Mengangkat senjata lalu menikam satu sama lain, mengolok-olok seonggok kepala yang telah tak bernyawa karena berhasil menebasnya. Ketakutan perlahan mendekap dengan erat, bagaimana jika ada yang menyerang dan ia mati tanpa ada satu orang pun yang tau. Bagaimana dengan ibu, ayah, dan adiknya. Apa yang akan terjadi dengan mereka jika setelah pintu ini terbuka dan seseorang menusuk jantungnya.

Namun, ada sesuatu. Sesuatu di dalam sana yang ia rasa tengah menunggunya, ada bisikan kecil tepat di dalam hatinya. Meminta ia untuk datang, memanggil namanya dengan lembut dan menenangkan.  Awalnya ia ragu, sangat sulit lepas dari jerat teman-temannya, namun ketika ia mengatakan akan buang air besar. Mereka membiarkan puri pergi, pesta perayaan masih beberapa jam lagi. Ia masih punya banyak waktu. Tangannya menggapai gagang pintu, mendorong dengan agak susah payah sampai pintu kayu besar itu terbuka. Puri masuk perlahan, dalam remang cahaya bulan, ia ragu apakah harus segera kembali atau melanjutkan langkah kakinya. Tapi saat ini tubuhnya sudah seratus persen berada di dalam gereja. Saat langkahnya semakin jauh masuk ke dalam, cahaya terang dari lampu gantung diatas mengejutkannya.

Game Over Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang