Bab 57 Anakku Yang Hypers3x

6.4K 13 0
                                    

"Oke, terima kasih, Bi," ucapku pada ART di rumah ini.

Dengan meninggalkan ruang kamar sang suami, aku bergerak menuju ke lantai satu. Meskipun terasa sesak akibat pilihan sang suami, ini adalah konsekwensinya sebagai laki-laki yang tidak bisa menafkahi dari segi batin.

Aku tidak meminta apa pun darinya, hanya kepuasan saja yang aku inginkan. Ini perkara sepele, akan tetapi berdampak luar biasa kalau sampai tahunan. Dengan tidak merasakan enaknya berumah tangga, ladang ini terasa kering bagai musim kemarau.

Pepohonan dan rumput pun keriting bagai berada di padang pasir, akan tetapi kembali sejuk sejak di aliri oleh Raymon yang merupakan pejantan tangguh yang aku kenali saat ini. Hati sudah merasa sangat nyaman padanya, bahkan aku ingin menikahinya secara bersembunyi.

Namun, sejak peryantaan suami perihal perizinan untuk menikah kembali. Kali ini aku tidak akan menolak tawaran emas itu, aku pun berniat menikah dengan Reymon di rumah ini dan di saksikan langsung oleh suamiku.

Mungkin sejak saat itu tiba, barulah aku akan mengerti satu hal, kalau Reymon sudah punya hak lebih di dalam rumah ini dan dapat tinggal bersamaku. Zaman sekarang harus berbeda dari biasanya, tidak hanya laki-laki yang bisa poligami, wanita pun bisa.

Aku akan membuka kacamata dunia lebih jelas, kalau laki-laki kedudukannya sudah sama dengan wanita dalam memutuskan rumah tangga. Dengan langkah laju, tibalah aku di depan meja makan dan mendudukan badan seraya meneguk susu hangat.

Beberapa menit bergeming, sebuah pesan singkat pun datang dari aplikasi berwarna hijau. Secara saksama, aku menatap sembari membaca pesan yang datang dari Reymon. Entah kenapa, sejak aku mengenali dirinya, bibir ini tak mampu untuk mengerut ketika membaca bahkan menatap matanya.

Aku bagai wanita tidak berdaya apabila sudah berada di depannya, seperti ada hipnotis yang dimiliki oleh Reymon dalam memuluh lantakkan hati ini. Sembari membaca dan tersenyum manja, seseorang pun hadir dengan berjalan laju.

Secara saksama, aku menoleh orang tersebut yang merupakan anak kandungku, Mario. Dia menadahkan tatapan tanpa memberikan salam, aku membangkitkan badan sembari bergeming di samping kursi.

"Mario!" teriakku sangat keras, suara ini menggema memenuhi ruang tamu.

Sang putra pun tidak beranjak menemuiku, dia hanya menarik napas panjang dan enggan untuk datang. Kali ini, aku yang sangat emosi semakin klimaks melihat perubahan sikapnya beberapa hari ini.

"Mario! Apa kamu tuli! Kalau dipanggil itu datang, bukan diam seperti patung," kataku ngegas.

Tanpa mengatakan apa pun, Mario datang menghampiriku yang saat ini berkacak pinggang. Lalu, dia pun segera berdiri di samping kemudian menjadi di hadapan. Tatapannya menadah menuju lantai, entah apa yang dia lakukan.

"Dari mana saja kamu, udah jam berapa ini?" tanyaku bertubi-tubi.

Dengan menggaruk rambut, Mario pun menjawab, "ak-aku ... aku ... lagi nginap di rumah teman, Ma."

"Oh, nginap di rumah teman, ya? Coba berikan nomor teman kamu, biar mama hubungi sekarang juga," pintaku.

"Mama mau ngapain minta nomor teman aku, Ma. Dia anak orang kaya, sekarang lagi bersama keluarganya tidak bisa diganggu. Kenapa, sih, Mama kepo banget jadi orang."

"Oh, kepo, ya. Iya-iya ... sejak kapan kamu berani melawan mama, Mario!" kataku lagi.

"Udahlah, Ma, pagi-pagi enggak baik membahas itu. Marah-marah lagi, yang biasa-biasa aja kenapa. Anak laki-laki sudah peserti anak cewek," jawabnya lagi.

"Ini bukan perkara kamu cowok atau cewek, Mario. Tapi mama udah tebak, kalau kamu pasti boking hotel, kan? Kamu bawak perempuan ke hotel, kan?" tanyaku lagi.

Pemuas Tante-TanteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang