BAB 2 GADIS DAN EARPHONENYA

14 3 0
                                    


Jam pelajaran pertama dimulai, Bahasa Indonesia. Dikarenakan masih suasana tahun ajaran baru, masih banyak jam kosong dan hanya diisi perkenalan siswa. Tak kerkecuali dengan kelas gadis itu. Meja dan kursi kelas sudah terisi para siswa yang masih asik dengan candaan dan gurauan.

Suara riuh para siswa mulai redam seiring masuknya seorang guru ke ruang kelas. Wanita berhijab paruh baya dengan setelan blouse biru dan celana hitam, diikuti suara langkah kaki yang ditegaskan oleh sepatu pantofel. Diletakkannya beberapa buku di meja guru yang terletak paling depan. Menghadap meja para siswa.

Guru itu meminta maaf sebab pada minggu pertama tahun ajaran baru kemarin tidak dapat hadir dikarenakan ada urusan keluarga. Oleh karenanya pada hari ini beliau meminta para siswa untuk membuat perkenalan singkat dan membacakannya di depan kelas. Boleh dalam bentuk kalimat sederhana ataupun bentuk pantun sekalipun.

Suasana kelas mulai hening karena para siswa sedang berkonsentrasi membuat teks perkenalan sebaik mungkin. Waktu seperempat jam yang sudah terlewat, tanda bahwa waktu pengerjaan tugas sudah habis. Gadis itu mulai agak sedikit gusar, kalimat yang baru dia tulis hanyalah perkenalan standar dari nama, hoby dan alamat rumahnya. Mulai terdengar samar-samar suara para siswa yang bertukar pendapat dengan teman di sampingnya. Suara dari guru mulai mengalihkan perhatian para siswa, dan dimulailah sesi perkenalan.

" Saya akan mulai perkenalan dari diri saya terlebih dahulu, nama saya Putri Ambarwati dan biasa dipanggil Bu Ambar. Saya sudah mengajar di sekolah ini kurang lebih tujuh tahun. Saya sudah berkeluarga, dan rumah saya berada di Perumahan Flamboyan dekat pasar barang antik. Jadi kalau kalian ada yang mau berkunjung saya persilahkan, tetapi jangan lupa bawa buah tangan." Ucap Bu Ambar dengan pembawaan santai.

Perkenalan singkat itu direspon dengan baik oleh para siswa. Terlalu baik malah, sehingga sedikit timbul keriuhan di dalam kelas dan mulai banyak siswa mengajukan pertanyaan.

" Saya boleh mampir di hari minggu tidak?"

" Rumahnya yang nomor berapa Bu Ambar?"

" Jumlah anak berapa Bu Ambar kalau boleh tahu?"

" Suami Bu Ambar kerja dimana?"

" Saya mau main ke tempat Bu Ambar tapi tidak usah bawa buah tangan."

Begitu banyak pertanyaan yang disampaikan para siswa dari yang ukuran normal sampai yang agak tidak wajar. Beliau sampai harus memberikan penjelasan satu-satu dan akhirnya berhasil menguasai situasi dengan segera menunjuk para siswanya untuk mulai memperkenalkan diri di depan kelas.

Dimulai dari tempat duduk paling belakang dimana mayoritasnya adalah siswa laki-laki. Bisa dibilang golongan siswa yang mana lebih mementingkan pergi ke kantin saat jam pelajaran kosong dibandingkan duduk diam di dalam kelas dan membaca buku pelajaran. Dan tentu bisa diduga, hanya perkenalan singkat yang formal yang didapat. Tetapi Bu Ambar tidak kehabisan akal untuk memancing dan menggali informasi dari mereka, para siswa bangku belakang.

Dari pertanyaan usia, golongan darah, hoby, pelajaran yang disuka dan dibenci yang mulai berlanjut ke alasan mereka kenapa memilih melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di sekolah ini. Bisa dibilang Bu Ambar adalah guru yang aktif dan suka berinteraksi dengan para anak didiknya. Bukan model guru yang kaku dan ingin dihormati dengan ditempatkan di posisi yang lebih tinggi dari para siswanya, beliau lebih ingin bisa akrab dan membuat para siswa dapat terbuka kepadanya.

Bukan menempatkan diri di atas para siswa, tetapi ingin sejajar dan bisa berinteraksi dengan leluasa tanpa menghilangkan rasa sopan santun yang ditanamkan kepada para siswanya. Dan alhasil para siswa laki-laki barisan belakang dapat lebih terbuka dalam memperkenalkan diri mereka masing-masing.

Namun suara kebisingan dan keriuhan dari celotehan para siswa pagi itu membuat seseorang merasa tidak nyaman. Gadis itu mulai gusar dan merasa terganggu. Earphone yang dia genggam erat di kantongnya untuk saat ini tidak dapat menyelamatkannya, karena peraturan sekolah yang melarang para siswa memakai perangkat elektronik selama jam pelajaran.

Gadis itu berusaha mengalihkan perhatiannya dengan fokus untuk menyusun kalimat perkenalan, namu hal itu terasa sulit baginya. Dia selalu tidak terbiasa dengan kebisingan terutama dari suara celotehan ataupun percakapan. Hal itu membuat dirinya merasa tidak nyaman dan ingin segera bersembunyi ke tempat yang sunyi, berdua dengan earphonenya mendengarkan alunan musik jazz yang lembut.

Namun gadis itu hanya bisa pasrah dan mencoba untuk bertahan selama yang dia bisa. Sembari mengalihkan perhatiannya dengan mencoba menulis kembali kalimat perkenalan di buku secara berulang-ulang. Dan kemudian sesi perkenalan sampai pada barisan tengah tempat duduk, barisan gadis itu. Yang diawali oleh perkenalan seorang gadis dengan tempat duduk di samping jendela, persis di samping gadis itu.

" Perkenalkan nama saya Clarissa Rin, teman-teman saya biasa memanggil dengan sebutan Clarissa. Hoby saya traveling dan berenang, meski teman-teman bisa lihat bahwa hal tersebut tidak berdampak pada tinggi badan saya." Diikuti oleh suara tawa beberapa siswa di kelas. Memang bisa dilihat bahwa postur tubuh Clarissa bisa disebut postur tubuh yang mungil. Segera Bu Ambar meminta Clarissa untuk melanjutkan perkenalannya.

" Alasan saya bersekolah di sini tidak jauh beda dari kebanyakan teman-teman lainnya, selain kualitasnya yang bagus dalam akademik, sekolah ini juga mendukung pengembangan potensi para siswanya di bidang non akademik. Saya anak kedua dari dua bersaudara, kakak perempuan saya tengah menempuh pendidikan kuliah di Australia. Dan saya tinggal di Sunrise Hill Village." Seketika para siswa di kelas itu terdiam. Karena tidak sembarang orang dapat tinggal di komplek perumahan elit tersebut.

Segera untuk mencairkan suasana kembali, Bu Ambar menunjuk siswa selanjutnya untuk melanjutkan sesi perkenalan. Gadis itu.

" Perkenalkan nama saya Nura Reana, biasa dipanggil Nura. Saya tinggal bersama kedua orang tua saya di Komplek Melati ujung gang pertama. Dan hoby saya mendengarkan musik." Ucap Nura perlahan, berharap tidak ada pertanyaan yang muncul.

" Komplek Melati? Berarti kamu berangkat sekolah lewat taman kota kan? Kenapa aku tidak pernah lihat ya?" tanya seorang siswa.

" Iya, aku juga tinggal di perumahan samping komplekmu tetapi tidak pernah melihatmu berangkat ke sekolah." Imbuh seorang siswa lainnya.

" Iya, saya memang jarang sekali lewat taman kota untuk berangkat sekolah." Jawab Nura sedikit gugup.

" Mau lewat mana lagi kalau bukan lewat taman kota? Jangan bilang kamu lewat jalan protokol antar kota yang jaraknya tiga kali jauhnya." Tanya Clarissa mulai penasaran.

Seisi kelas mulai memandang Nura, menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulut gadis tersebut. Terdengar pula suara bisikan-bisikan dari beberapa siswa perempuan yang mungkin mulai membicarakan keanehan Nura. Dia sudah tahu konsekuensi yang akan dia dapat jika menjawab pertanyaan itu dengan jujur, dan memang tidak ada opsi lain yang lebih masuk akal untuk menjawabnya.

" Saya lewat jalan yang memotong pemakaman kota untuk berangkat sekolah." Seketika suara riuh memenuhi ruang kelas. Perkataan kagum, heran, tidak percaya yang diikuti suara tawa mulai pecah. Hal itu kemudian diredam oleh Bu Ambar, dan dilanjutkan dengan pertanyaan.

" Kenapa kamu lebih memilih lewat jalan Pemakaman?" Tanya Bu Ambar penasaran.

" Karena saya tidak suka suara bising." Jawab Nura.

DUNIA NURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang