26

4.3K 177 8
                                    

"Belinda, ini saya Bima, kamu bisa Belinda, tolong bertahan untuk adek".

Belinda merasakan tangannya digenggam erat, ia melihat Bima yang berdiri disamping bankar dengan wajah panik dan khawatir yang amat ketara. Belum lagi, peluh terlihat bercucuran di wajahnya.

"Saya tahu dari Noni, dia menghubungi saya, saya akan berada disini, menemani kamu,"

Belinda hanya tersenyum, mengangguk. Operasi sudah dimulai, Bima tidak pernah melepaskan genggaman tangannya. Berkali-kali pula ia membisikkan sholawat ditellinga Belinda.

Hingga saat suara tangisan bayi menggema, Bima mengusap wajah Belinda, terharu akan pengorbanan wanita di depananya, "Kamu hebat Belinda".

Dokter meletakkan bayi mungil itu dipelukan Belinda, untuk pertama kalinya, bayi itu membuka mata, melihat wajah ibunya yang menangis bahagia juga bersedih. Bayi mungil itu menangis kencang, ikut merasakan kesedihan ibunya.

"Saya boleh mengadzankan anak kamu???" Bisik Bima.

Belinda mengerjap, mengangguk dengan air mata semakin deras. Bima mengusapnya, "Jangan nangis Belinda, adek akan sedih, semua akan baik-baik saja, percaya sama saya". Ujarnya sembari mengambil bayi mungil itu dipelukan Belinda, dibantu oleh suster.

Suara Bima yang mengadzani anaknya membuat Belinda terharu, tidak menyangka  laki-laki itu berbesar hati melakukan ini untuknya. Ia pikir, tidak akan ada orang yang mengadzani anaknya, atau ia akan meminta bantuan dokter laki-laki atau siapapun itu untuk mengadzani anaknya. Tapi ia salah, Bima datang menemaninya dan menawarkan diri mengadzani anaknya.

Bima tersenyum saat mata bayi kecil dalam gendongannya terbuka, menatapnya lalu tersenyum. Senyumannya mirip sekali dengan Belinda, meski secara keseluruhan wajahnya tidak mewarisi ibunya, mungkin mewarisi ayahnya.

Ya, bayi mungil itu mirip sekali dengan Fauzan. Hanya bibir dan senyumnya yang mirip dengan Belinda. Selebihnya, Fauzan lebih mendominasi.

_______________

"Aduh, cucu oma ini ganteng sekali," Ani menimang bayi mungil Belinda gemas.

"Namanya siapa sayang??" Tanya Ani melihat Belinda.

"Daffa Daffario, panggilannya Daffa Bunda". Nama itu adalah nama yang sudah Belinda persiapkan untuk anaknya.

Atensi kedua wanita itu beralih saat melihat Bima yang datang membawa popok bayi, baju bayi dan beberapa perlengkapan bayi. Ani hanya tersenyum geli melihat putra satu-satunya seperhatian ini dengan wanita.

Belinda mengernyit heran saat melihat semua belanjaan Bima yang berbeda dengan apa yang ia beli. Jangan-jangan Bima tidak mengambil dirumahnya, melainkan membelinya. Astaga!

Bima yang melihat Belinda bergerak, menahan Belinda dengan menyentuh lengannya. "Jangan banyak gerak Belinda, kalau butuh sesuatu kamu bisa panggil saya". Ujarnya.

Ani mesem-mesem, oh astaga, sepertinya ia akan segera kembali memiliki menantu. Melihat adegan didepannya, ia merasa melihat adegan suami istri.

"Kamu butuh sesuatu?"

Belinda menggeleng, "Mas beli ini semua??" Tanyanya sembari melihat barang-barang yang Bima letakkan di sofa.

Bima mengangguk, "Maaf, kunci rumah kamu ketinggalan disini, saya lupa membawanya, jangan dipikirkan, saya ikhlas"

Belinda mengembungkan pipinya, "Tapi Mas, nggak sebanyak itu juga, bajunya kebanyakan, itu juga bedak bayi, minyak telon juga stoknya kebanyakan, astaga Mas. Mas kayak mau jualan produk bayi".

Bima menggaruk kepalanya, dia terlalu bersemangat tadi. Jadi, ia membeli semua hal yang dianggapnya perlu dan agar ada persediaan juga.

"Nggak papa, adek pasti butuh semuanya". Ujar Bima singkat sembari mendekati Daffa yang berada digendongan ibunya.

Suara tangisan Daffa menggema, Bima segera mengambil Daffa dari gendongan ibunya, tangisan Daffa langsung berhenti membuat Ani takjub. Bima yang gemmas mengecupi pipi Daffa.

"Sengaja ya, pengen digendong hemm??"

Ani yang melihatnya jadi terharu, Bima memang sangat menyukai anak kecil. Bima memang sudah sangat cocok menjadi seorang ayah. Meski anaknya dingin dan kaku, tapi ia tahu, Bima adalah sosok yang sangat penyayang.

"Nempel banget sama Om Bima, aduh gemmesnya". Ujar Ani.

Belinda diam, harusnya yang menggendong Daffa adalah Fauzan, papanya. Tapi, itu tidak mungkin terjadi. "Maafin Mama nak, Mama nggak bisa memberikan seorang Papa untuk kamu. Tapi, Mama akan berusaha menjadi sosok Papa dan Mama untuk kamu". Batin Belinda.

"Fauzan, anak kita sudah lahir namanya Daffa, dia ganteng, wajahnya sama seperti kamu, saya senang Daffa mirip dengan kamu, setidaknya, Daffa akan menjadi obat. Obat rindu saat saya merindukan kamu. Meski kadang, saat melihatnya saya sedih, sedih karena Daffa tidak akan pernah merasakan bagaimana memiliki seorang Papa. Saya juga sedih karena saya pun tidak bisa melihat kamu lagi. Fauzan, saya berdoa, semoga kamu selalu bahagia tanpa saya". Kata Belinda dalam hati sembari memejamkan matanya.

Katanya, cinta tidak harus memiliki. Itu benar, tapi rasanya menyakitkan. Apalagi merelakan orang yang kita cintai bersama dengan orang lain, rasanya sakit. Tapi, Belinda tidak punya pilihan, anaknya jauh lebih penting dari apapun. Termasuk nyawa dirinya sendiri.

___________
Jangan lupa vote dan komennya. Terimakasih❤. Maaf ya updatenya lama, karena author sedang sakit dari kemarin-kemarin.

Have Me (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang