23

3.9K 168 11
                                    

Belinda mengusap foto hasil USG ditangannya, lalu meletakkannya di album foto miliknya. Belinda tersenyum haru, ia bahagia. Sebentar lagi, ia tidak akan sendirian lagi. Akan ada malaikat kecil yang akan menemaninya.

Suara ketukan pintu membuat Belinda kaget, dan meletakkan almum miliknya, bergegas membuka pintu.

Belinda melihat Bima, yang menatapnya datar. "Martabak dan makanan dari Bunda".

Belinda menerima plastik berisi martabak dari tangan Bima.

"Suami kamu dimana???"

Belinda menunduk, bayangan Fauzan melintas begitu saja dikepalanya membuatnya ingin menangis, merindukan laki-laki itu.

"Nggak ada,".

Bima mengernyit, entah kenapa jawaban wanita di depannya terdengar ambigu. Nggak ada? Lalu kemana?

"Jangan bilang kamu MBA? dan laki-laki itu tidak mau bertanggungjawab?"

Belinda diam. Diamnya wanita di depannya sudah cukup menjawab pertanyaan Bima. Bima mengusap wajahnya kasar.

"Keluarga kamu???"

Bibir Belinda bergetar, lalu matanya berair begitu saja. Mungkin ini efek dari kehamilannya, ia menjadi cengeng.

"Saya sebatangkara,"

Bima terdiam, sedikit iba dengan wanita didepannya. Bagaiman bisa wanita ini bisa mengalami nasib menyedihkan seperti ini.

"Maaf,"

Belinda mengusap kasar air matanya, memaksakan senyumnya, "Nggak papa, terimakasih martabak dan makanannya. Saya nggak bermaksud mengusir Mas Bima, tapi, saya nggak mau Mas Bima mendapatkan gosip buruk jika berdekatan dengan orang seperti saya".

Bima mengangguk mengerti. Tapi, dia sama sekali tidak pernah peduli dan mendengarkan apa kata orang. "Saya mengerti, kalau begitu saya permisi".

Belinda mengangguk, menatap kepergian Bima. Ia mengusap perutnya, lalu menutup pintu. Tubuhnya merosot, tangisannya pecah. Ia mengelus perutnya, "Maafin Mama nak, maafin Mama yang membawa kamu kedalam kehidupan yang sulit".

____________

Waktu terasa begitu cepat, kehamilan Belinda sudah menginjak empat bulan. Gosip miring tentangnya juga sudah tersebar. Para tetangga menggosipinya sebagai wanita tidak benar, dan sejenisnya.

Belinda berusaha menutup telinga akan hal itu. Belinda juga sudah bekerja, ia bekerja sebagai pelayan restoran, lebih tepatnya, ia bekerja dibagian cuci piring. Tapi setidaknya, ia tidak menganggur.

Belinda mengelus perutnya yang sudah membuncit, "Maaf ya sayang, Mama bawa kamu kerja, Mama yakin kamu anak kuat, sehat terus ya nak".

"Belinda ada yang jemput tuh". Ujar Noni, teman kerja Belinda, selaku senior disini yang sangat baik padanya.

"Siapa???" Tanya Belinda heran.

"Nggak tahu, gih sana pulang, biar ini aku yang beresin, cuma tinggal mindahin piring bersih aja, gampang".

"Ta-tapi mbak??"

Noni mengibaskan tangannya, "Hus gapapa, sana pulang, bumil nggak boleh kecapean".

Belinda tersenyum, terharu, ia lekas mencuci tangannya, "Makasih mbak, maaf ngerepotin mbak".

"Gapapa, pulangnya hati-hati ya".

Belinda mengangguk, keluar dari dapur restoran menemui orang yang kata Noni menjemputnya.

"Belinda, Bunda sengaja jemput kamu sama Bima, soalnya Bunda kebetulan lewat disini, jadi sekalian nyamperin kamu. Pulang sama Bunda yuk nak".

Belinda mengangguk semangat. Dulu, ia pikir, setelah Bima tahu soal dirinya, Bima dan Bu Ani akan menjauhinya. Tapi, rupanya ia salah, Bu Ani sangat menyayanginya, begitupula Bima yang sangat baik padanya, meski sikap laki-laki itu masih dingin dan datar.

Bima memandang perut Belinda yang sudah terlihat membuncit, wanita didepannya sangat pekerja keras. Bekerja waktu hamil bukan perkara yang mudah, tapi Belinda benar-benar calon ibu yang kuat.

Bima membuka pintu mobil untuk Belinda dan juga bundanya. Lalu masuk kedalam mobil, mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.

"Gimana? Kamu nggak ngerasa capek kan kerja disana? Bunda kan sudah bilang, kamu bisa kerja di perusahaan tempat Bima bekerja".

Belinda hanya tersenyum tipis, "Belinda baik-baik aja Bunda".

Belinda diam sembari menatap keluar jendela, menyaksikan mobil berlalu lalang. Malam ini malam minggu, suasana jalan agak ramai. Kalau malam minggu begini, biasanya Fauzan akan merengek mengajaknya jalan, katanya biar sama dengan teman-temannya yang pamer malam mingguan.

Ia merindukan laki-laki itu, jujur, ia ingin tau bagaimana keadaan Fauzan. Tapi, ia urung melakukannya, hatinya juga tidak sesanggup itu melihat kenyataan jika Fauzan sudah bukan lagi miliknya.

Mendadak hatinya berdenyut nyeri, matanya terasa panas.

"Besok kamu libur kan? Besok jadwal kamu periksa kandungan kan sayang? Gimana kalau Bima yang menemani kamu".

Belinda menggeleng, "Nggak perlu Bunda, Belinda bisa sendiri, Belinda nggak mau Mas Bima digosipin tetangga karena mengantar saya".

"Siapa yang berani gosipin anak-anak Bunda hem? Bunda lawan itu orang". Ujar Ani kessal.

Belinda terkekeh, "Belinda bisa sendiri Bunda, lagian, Mas Bima juga butuh istirahat".

Ani menghela nafas pasrah. Ani menatap iba  pada Belinda. Sejak kejadian dimana Bima mengatakan soal Belinda, ia merasa sedih akan nasib yang menimpa anak cantik dan sebaik Belinda.

"Yasudah, tapi kalau ada apa-apa tolong segera kabari Bunda ya nak, jangan sungkan sama bunda".

Belinda mengangguk. Dalam hati, ia berterima kasih kepada Tuhan sudah mempertemukan dirinya dengan orang baik seperti Bu Ani dan Bima.

___________
Jangan lupa Vote dan komennya. Terimakasih sudah membaca❤

Have Me (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang