suara derap langkah terdengar ribut, menggema disepanjang lorong rumah sakit yang lumayan sepi.
Jeongwoo merasa dejavu.
beberapa bulan lalu, ia pernah berlari menggendong Haruto ketika pemuda itu pingsan akibat kebodohannya sendiri. Persis seperti sekarang, dan lagi-lagi semua karena ulahnya.
Bodoh? tentu.
Jeongwoo tau, dan sangat mengakui bahwa dirinya memang bodoh. Ribuan janji yang sering dia ucapkan untuk tak menyakiti Haruto hanyalah ucapan tanpa bukti.
Kenyataannya—justru dialah yang selalu menjadi penyebab luka bagi sang istri.
Kini gelak tawa, binar polos serta senyuman manis Haruto yang selalu menyambutnya ketika pulang kerja seketika menyeruak memenuhi kepalanya hingga jeongwoo tak lagi dapat menahan tangis. Tidak terhitung berapa umpatan yang sudah ia keluarkan untuk dirinya sendiri.
Rasa takut dan khawatir bercampur jadi satu menimbulkan sesak teramat dalam didada. Jeongwoo tidak mempedulikan apapun dan hanya berlari secepat mungkin menuju ruangan tempat istrinya dirawat.
BRAKK!
Terlalu kalut dengan segala prasangka buruk membuat Jeongwoo tanpa sengaja membuka kasar pintu ruangan hingga berhasil menimbulkan lonjakan terkejut dari sosok manis didalam.
Haruto menoleh ke pintu dengan tatapan terkejut. Pria yang duduk didepannya juga turut menoleh.
Park Jihoon, sepupu sekaligus orang yang telah mengabarinya mengenai keadaan Haruto beberapa saat lalu.
"Woo—"
"Sayang!"
Jeongwoo mengabaikan perkataan yang hendak diucapkan Jihoon dan memilih berjalan tergesa menghampiri sang istri.
"Kamu kenapa—maaf mas udah ninggalin Haru—mana yang sakit? Kepalanya pusing? Udah diperiksa dokter belum?"
Perkataan tak beraturan itu sudah cukup menjelaskan bahwa Jeongwoo masih sangat kacau.
Tatapannya tak fokus, bahkan jika melihat dengan teliti jemari pria itu tampak gemetar.
Namun Haruto bergeming. Tidak menjawab bahkan tidak pula menatap ke arah sang suami.
"Sayang..hey?"
Bukan jawaban yang diterima, Haruto justru kini menoleh kearah berlawanan. Seolah menegaskan bahwa dirinya enggan bertatapan dengan yang lebih tua.
Sebenarnya memang benar, Haruto masih marah dan kecewa. Kepalanya mengingat dengan jelas bagaimana Jeongwoo pergi meninggalkannya dengan tergesa—pertama kalinya—untuk sesuatu selain pekerjaan.
Jeongwoo menghela napas dalam, mengerti jika pemuda manisnya tengah marah.
"Sayang, mas tau Haru lagi marah. Dan ga masalah juga kalo Haru gamau liat mas dulu, tapi please.. jawab mas, Haru udah ga sakit kan sayang? Apa kata dokternya tadi, hm?"
Haruto masih abai, betah dalam keterdiamannya. Selain karena masih kesal, ia juga tak ingin menjawab sebab takut jika membuka suara justru yang keluar hanya tangisan.
Ia sudah lelah sedari tadi menangis dipelukan Jihoon, pria yang Haruto lihat pertama kali saat membuka mata satu jam lalu.
"Haru.."
Jeongwoo mulai putus asa. Merasa jika Haruto tidak akan menjawabnya untuk saat ini.
Semua salahnya, ia akui.
Merasa tidak enak dengan situasi, Jihoon akhirnya bergerak menepuk bahu lebar sang sepupu,
"Biarin istri lo nenangin diri dulu. Nanti biar gue yang ngomong sama dia"

KAMU SEDANG MEMBACA
Manis; jeongharu
Teen Fiction"Mas kok tadi gigit-gigit bibir aku?" "Itu namanya olahraga bibir sayang, bagus buat kesehatan. Makanya kita harus lakuin tiap hari" Bagaimana jadinya jika pria dewasa seperti Jeongwoo harus menikahi seorang remaja polos yang bahkan tidak tau apa i...