sedih

15K 1.1K 123
                                    

"Sayang ayo turun, kita sarapan dulu"

Jeongwoo membuka pintu kamar dan menemukan gundukan selimut dengan sedikit kepala menyembul.

Pria itu mengernyit bingung lantaran tak mendapat jawaban, padahal jelas-jelas Haruto tak mungkin tertidur lagi. Keduanya baru beberapa menit lalu selesai mandi bersama. Dan lagi istrinya bukan tipe yang suka tidur dipagi hari.

"Bayii kenapa diem aja hey"

Jeongwoo menghampirinya segera lalu bergerak menyingkap selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh Haruto, sehingga wajah sembab sang istri kini terlihat jelas.

"Astaga sayang, kenapa?"

Jeongwoo tanpa aba-aba segera menggendong koala tubuh kecil itu. Meski sedikit terhalang oleh perut si manis yang mulai sedikit membuncit, itu tentu tak menjadi kesukitan berarti untuknya.

Haruto masih sesegukan, wajahnya yang memerah total disertai nafas putus-putus semakin meyakinkan Jeongwoo jika kesayangannya telah menangis terlalu lama.

Ntah sejak kapan karena dari selesai mandi tadi, Jeongwoo sibuk memasakkan sarapan. Supaya tetap nyaman Haruto ditinggalkan di kamar dan rencananya akan ia panggil ketika makanan sudah siap.

Namun dirinya lupa semenjak hamil, Haruto jadi begitu sensitif. Tingkat kecengengannya meningkat drastis sampai-sampai melihat semut mati saja istrinya bisa menangis tersedu-sedu.

"Hiks hiks-uhuk! Uhuk"

"Ssstt.. tenang ya. Nafasnya nanti makin sesak itu"

Jeongwoo merapihkan surai Haruto yang begitu berantakan, kemudian memberi banyak kecupan manis sembari tak henti mengucap kata-kata penenang.

"Apa yang Haru tangisin, hm? Coba ngomong pelan-pelan sama mas"

"M-mas Jewoo.."

Jeongwoo berdehem pelan. Pria dominan itu berjalan menuju meja rias dan mendudukkan Haruto disana, kemudian menempatkan dirinya berdiri tepat diantara kaki si manis.

Akibat terlalu sering menangis, Jeongwoo jadi bisa membedakan mana yang serius ataupun yang hanya sekedar karena masalah sepele.

Dan jelas tangisannya kali ini bukan disebabkan masalah sepele, Haruto terlihat begitu menyedihkan hingga rasanya Jeongwoo ikut larut dalam kesedihan itu.

"Ceritanya pelan-pelan ya? Jangan nangis lagi sayang, mas takut kamu demam"

Haruto mengangguk. Ia mendongak, menatap sayu wajah tampan Jeongwoo yang terlihat begitu khawatir.

"Har..u takut, mas Jewoo Haru gamau mati. Hiks Haru takut"

Nyatanya sekuat apapun Haruto menahan, tangisannya tetap keluar lagi seiring dengan perkataan dokter yang terus terngiang ditelinganya.

"Sejauh ini kandungannya sehat dan tidak ada masalah kok. Tapi tetap hati-hati ya, karena kehamilan diusia yang terlalu muda seperti ini resikonya cukup tinggi. Tak menutup kemungkinan bisa mengancam nyawa salah satu ataupun keduanya"

Jujur ia tak begitu memahami semua, yang Haruto tau ia hanya tengah dalam bahaya.

Jeongwoo diam-diam mengepalkan tangan, hatinya teriris melihat betapa kacau Haruto akibat dokter sialan yang kemarin sore memeriksa kandungannya.

Memang bukan sesuatu yang salah mengingatkan tentang kondisi pasien, tapi bisakah untuk tidak membuatnya terdengar begitu putus asa?

Haruto yang pemikirannya masih kekanakan tentu merasa tertekan. Jeongwoo sudah menduga istrinya akan berpikir yang tidak-tidak, sebab setelah keluar dari rumah sakit Haruto terus mengurung diri.

Manis; jeongharuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang