TWENTY: "BACK TO DECEMBER"

17.5K 383 8
                                    

TWENTY―BACK TO DECEMBER

"―I miss your tan skin, your sweet smile

So good to me, so right―"

SUDAH satu bulan semenjak perpisahan tahun. Belakangan ini, Lani disibukkan dengan pekerjaan barunya. Ia mendapatkan sebuah ruangan di bagian tim inti. Sesuai dengan jabatan yang baru dipegangnya. Itu membuatnya semakin menjauh dari Manda. Hampir semua teman-teman di tim lamanya sudah mengunjungi ruangan baru Lani itu. Tapi Manda belum juga kunjung datang. Ia hanya bertemu dengan Manda kalau briefing di pagi hari. Itu pun tanpa sepatah katapun dan dengan tatapan yang membuat Lani tidak tahan. Apa Steve akan membantunya seperti yang dikatakannya waktu itu? Entahlah.

Hari-hari yang dilaluinya belakangan ini sudah cukup berat. Banyak hal-hal yang ia sesali. Tapi toh penyesalan selalu datang belakangan. Apa yang bisa ia perbuat selain meratapinya?

Lani melangkahkan kakinya. Ia akan menemui Bob Suganda untuk menyerahkan rencana penyelenggaraan pusat kreatif tahun ini. Segala kegiatan kreatif dan ide-ide kreatif telah disusunnya. Saatnya membahas itu dengan Bob Suganda. Sebenarnya, ia punya trauma di ruangan itu. Tapi, ia berusaha untuk profesional dan mengesampingkan itu semua. Berkas yang ada di dalam map dipeluknya di dada. Pikirannya sedang melayang. Ia merasa asing dengan kehidupannya belakangan ini. Ternyata walaupun sudah punya tekad untuk mengubah hidupnya. Terasa sangat sulit. Lani hampir menyerah.

Langkah kaki Lani sangat pelan. Matanya kosong. Bahkan tidak memperhatikan orang yang lalu-lalang di sampingnya. Thya yang menegurnya pun tak digubrisnya. Thya hanya bisa mengangkat kedua pundaknya tanda tidak mengerti dengan sikap Lani. Seakan secara otomatis langkahnya diseret menuju ruangan Bob Suganda.

Pikirannya masih melayang saat ia telah tiba di depan pintu ruangan Bob Suganda. Ia belum kunjung juga mengetuk pintu. Lani masih tetap berdiri menatap pintu yang ada di hadapannya. Sampai-sampai ia tidak menyadari saat seseorang telah membuka pintu dan berdiri di hadapannya.

Lelaki dengan setelan pakaian formal berdiri di hadapannya. Lani menatapnya dari ujung kakinya sampai ke ujung rambut. Monk Strap terpasang rapi di kakinya. Celana panjang cokelat tua. Kemeja putih dengan potongan klasik. Blazer yang senada dengan warna celananya. Lehernya, dagunya, bibirnya, hidungnya, pipinya, matanya, alisnya, dahinya, rambutnya...

"Lani," suaranya.

Lani terpekik kaget. Kesadarannya segera pulih saat mendapati Raga berdiri di hadapannya. Jantungnya kembali berpacu dengan cepat darahnya ikut berdesir dengan hebat. Tak menyangka mereka bertemu kembali di depan ruangan itu lagi.

Raga... lirih Lani dalam hati.

"Siapa itu, Raga?" tanya Bob Suganda dari dalam ruangannya.

"Saya, Pak," Lani menyahut.

"Oh... kamu Lani, silakan masuk," katanya, "Oh ya, Raga, salam buat Ayahmu," lanjutnya.

Raga mengangguk. Lani cepat-cepat masuk ke dalam ruangan Bob Suganda. Seiring Raga menatapnya lalu berbalik dan pergi dari situ.

Lani mengembuskan napasnya lega saat ia sudah berada di hadapan Bob Suganda dan pintu telah terdengar ditutup. Lani segera menyerahkan berkas ke atas meja.

Bob Suganda masih memperhatikan ekspresi aneh Lani sebelum ia fokus ke arah berkas yang disodorkan Lani. Ia mulai membaca berkas tersebut. Lani menatapnya was-was. Setelah selesai membaca berkas tersebut. Mereka segera larut dalam perbincangan seputar pekerjaan mereka itu.

***

Sebuah SUV terparkir di depan kantor High Feels Magazine. Manda bergegas keluar dari kantor itu. Saatnya makan siang. Ia segera masuk ke dalam SUV itu. Steve menunggunya di dalam. SUV itu pun segera pergi meninggalkan kantor itu.

REDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang